Sepertinya pemerintah dalam kepemimpinan Joko Widodo tak mau dianggap “cuci tangan” atas kesulitan yang dihadapi rakyat karena pandemi corona. Ia pun mengeluarkan berbagai jurus dalam merespons hantaman Covid-19 lewat beberapa program jaring pengaman sosial. Hal itu dinilai dapat menekan dampak wabah Covid-19 di kalangan masyarakat.
Jika nanti ditanya oleh rakyat, di mana peran pemerintah mengatasi dampak pandemi Covid-19? Hal tersebut telah terjawab dari pidato Presiden Joko Widodo pada Selasa (31/3/2020) dalam keterangan pers secara virtual dari Istana Kepresidenan Bogor.
Jokowi mengumumkan akan menggelontorkan dana sebesar Rp405,1 triliun untuk penanganan wabah Covid-19. Dari total itu Presiden mengalokasikan jaring pengaman sosial sebesar Rp110 triliun untuk masyarakat lapisan bawah.
Ia juga mengumumkan enam program jaring pengaman sosial untuk menekan dampak Covid-19, di antaranya: Pertama, Program Keluarga Harapan (PKH). Misal, ibu hamil naik dari Rp2,4 juta menjadi Rp3 juta per tahun, komponen anak usia dini Rp3 juta per tahun, disabilitas Rp2,4 juta per tahun, dan kebijakan ini efektif April 2020.
Kedua, mengeluarkan kartu sembako, penerimanya 20 juta orang dengan dana bantuan Rp200 ribu per orang yang akan diberikan selama sembilan bulan.
Ketiga, kartu prakerja yang anggarannya dinaikkan menjadi Rp20 triliun. Sebelumnya hanya Rp10 triliun. Sementara untuk pekerja informal dan pelaku usaha mikro dan kecil akan mendapatkan bantuan Rp650 ribu sampai Rp1 juta per bulan selama 4 bulan ke depan.
Keempat, tarif listrik untuk pelanggan listrik 450 VA yang jumlahnya sekitar 24 juta pelanggan akan digratiskan selama tiga bulan ke depan, yaitu April, Mei, dan Juni 2020. Bagi tarif pelanggan 900 VA yang jumlahnya sekitar 7 juta pelanggan akan didiskon 50 persen atau membayar separuh saja untuk April, Mei, dan Juni 2020.
Menteri Keuangan Sri Mulyani juga membenarkan dengan mengatakan anggaran untuk diskon tarif listrik bagi pelanggan 450 VA dan 900 VA sebesar Rp3,5 triliun.
Sungguh mulia sekali hati penguasa negeri ini, menginformasikan berbagai program bantuan di tengah wabah corona. Tapi tunggu dulu, apakah semua program itu dapat berjalan dengan baik atau tidak? Nah, itu bukan urusan pemerintah pusat lagi. Karena akan dikembalikan kepada pejabat terkait guna menjalankannya.
Seperti janji-janji yang disampaikan pada kampanye sebelum terpilih jadi pemimpin negeri. Karena lemahnya daya ingat manusia sehingga lupa apa yang pernah dijanjikan.
Apakah publik mesti bersikap optimis karena pengumuman berbagai program tersebut? Atau sebaliknya, publik justru pesimis semua program dapat direalisasikan dengan baik. Karena telah lama menelan pahitnya janji palsu.
Kelima, pemerintah akan mencadangkan dana Rp25 triliun untuk operasi pasar dan logistik. Dan terakhir, adanya keringanan pembayaran kredit bagi para pekerja informal, baik ojek online, sopir taksi, UMKM, nelayan, dengan penghasilan harian dan kredit di bawah Rp10 miliar. (suarasurabaya.net, 31/3/2020)
Pemerintah berharap dengan berbagai program ini, mereka memastikan bahwa negara hadir untuk rakyat dan mengurangi beban rakyat yang terdampak. Tapi perlu dilihat kembali bahwa program tersebut tidak secara spesifik menopang aspek ketahanan pangan. Karena tanpa guncangan Covid-19 saja aspek ketahanan pangan di negeri ini cenderung fluktuatif.
Menurut Peter Timmer dalam jurnalnya “Food Security in Indonesia: Current Challenges and the Long-Run Outlook”, ketahanan pangan Indonesia disebut sangat rentan sehingga bagai “bom waktu”. Menurutnya, hal itu terjadi karena pemerintah sangat mengandalkan impor dan sangat minim produksi.
Di samping itu, target penerima dana jaring pengaman sosial melalui PKH dan kartu-kartu “sakti” lainnya dinilai masih jauh dari sasaran secara menyeluruh. Sebab kalkulasi penerima bantuan tersebut luput menghitung dampak Covid-19 sendiri terhadap masyarakat yang jauh lebih luas.
Belum lagi pemerintah memberikan insentif gratis pungutan Pajak Penghasilan (PPh) kepada pekerja industri manufaktur dan perusahaan untuk menumbuhkan daya beli masyarakat.
Menurut ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, hal itu tidak tepat sasaran karena banyak kalangan yang kondisi keuangannya lebih rentan dan telah terdampak cukup signifikan seperti para pedagang kecil dan masyarakat berpenghasilan tidak tetap lainnya. (pinterpolitik.com, 1/4/2020)
Tampak sekali, bahwa pemerintah memang tak memikirkan dengan matang atas setiap kebijakan yang diputuskan untuk rakyatnya. Sistem kapitalis yang dianut dengan baik oleh pemerintah saat ini telah lama membuktikan pengurusan yang salah terhadap rakyatnya. Kini dibebani lagi dengan himpitan ekonomi efek Covid-19.
Lantas memberikan program pengaman sosial di tengah pandemi, aman untuk siapa? Publik tentu tahu jawabannya.
Makin jelas kelimpungannya para penguasa dan pejabatnya guna menutupi setiap sisi buruk pengurusan mereka terhadap rakyat. Lantas, di mana letak kebaikan program tersebut untuk rakyat?
Sebaiknya jangan hanya berpidato saja, tapi turun ke lapangan, lihat kondisi rakyatnya dengan cermat. Hingga tidak menghasilkan program basi-basi tak memberi solusi.
Program Setengah Hati Demi Pencitraan Diri
Terang saja kalau publik menilai program pengaman sosial yang diumumkan Jokowi sebagai program setengah hati. Bahkan bisa dikatakan bagian dari pencitraan diri agar dinilai bertanggung jawab pada rakyatnya.
Hal itu dapat dilihat jelas dari PKH yang disebut-sebut Jokowi naik 25 persen dengan total anggaran Rp37,4 triliun. Sebenarnya program ini tetap akan dijalankan tanpa ada wabah Covid-19. Merujuk pada Rancangan Pembangunan Nasional (RPJMN) 2019-2024 Kemensos memang sudah menaikkan anggaran untuk komponen ibu hamil dan anak usia dini.
Jumlah penerima manfaat juga telah dinaikkan menjadi 10 juta sesuai dengan Perpres Nomor 61 tahun 2019 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2020. Sekali lagi penulis sebutkan bahwa semua kenaikan itu sudah terjadi sebelum wabah Covid-19 melanda.
Berdasarkan laporan Kementerian Sosial 2018, Kemensos menganggarkan Rp17,5 triliun untuk 10 juta penerima manfaat. Pada 2019 nilainya naik sekitar 85 persen menjadi Rp32, 65 triliun. Wajar jika Bhima Yudhistira Adhinegara (ekonom INDEF) menyatakan bahwa program yang dipamerkan Jokowi itu hanya gimmick. Menurutnya, hal itu modifikasi kampanye dengan data yang masih berantakan. (tirto.id, 8/4/2020)
Selain data yang berantakan, program tidak bisa menyasar pekerja yang sebelum wabah Covid-19 masuk kelas menengah yang mungkin kini turun kelas menjadi miskin. Karena berdasarkan laporan Bank Dunia, 115 juta orang kelas menengah Indonesia yang masuk kelompok rentan miskin. Bahkan bisa jadi memang sudah miskin.
Ditambah lagi berbedanya penjelasan terkait semua data dari beberapa pejabat yang terkait. Itu semakin menambah keyakinan publik, bahwa negeri ini memang tidak beres dalam pengurusannya. Bahkan lebih cepat Covid-19 menyebar di masyarakat daripada “cepatnya” para penguasa dan pejabatnya menanggulanginya. Ironis.
Janganlah bermain-main dengan nyawa rakyat. Seharusnya pemimpin negeri segera berkaca diri. Negara lain yang tampak lebih sigap dengan peralatan medis yang mumpuni pun masih terus terang berkata pada rakyatnya bahwa mereka terlambat menanggulangi Covid-19 hingga menyebabkan angka kematian yang sangat tinggi. Itu pertanda selama sistem kapitalis yang digunakan untuk mengurusi rakyatnya, selama itu juga sulit mendapatkan solusi untuk atasi wabah Covid-19.
Tidak ada kata terlambat bagi mereka yang mau bertobat. Jika saja penguasa dan jajarannya mengumumkan akan menjadikan syariat Islam sebagai solusi atasi semua permasalahan kehidupan. Insya Allah jalan keluar akan segera ditemukan.
Tapi jika kesombongan atas diri telah merajai, menganggap manusia bisa menyelesaikan semua yang terjadi dengan mengabaikan aturan Illahi dan mengkriminalisasi para aktivis Islam, tentu saja, bukan rahmat yang akan menaungi negeri, namun mara bahaya siap kapan saja datang menghampiri. Innalillahi…
Program Jaring Pengaman Sosial Islam
Jangan samakan kepemimpinan kapitalis dengan Islam. Keduanya sangat berbeda dalam mengurusi rakyatnya. Banyak sudah sejarawan mengungkapkan kesejahteraan yang didapatkan rakyat dalam naungan Islam.
Maka tak perlu diragukan lagi, penguasa dalam Islam benar-benar memahami bahwa kekuasaan adalah amanah yang harus dijaga. Kepercayaan rakyat tak boleh dikhianati, bahkan takkan menipu dengan berbagai janji.
Program pengaman sosial dalam Islam merupakan perkara yang penting. Karena melalui program itu seluruh rakyat akan mendapatkan kesejahteraan sosial di tengah kondisi apa pun. Meliputi pemenuhan kebutuhan pokok tiap individu masyarakat, keamanan, kesehatan, juga pendidikan tanpa biaya.
Seperti yang dicontohkan Umar bin Khaththab ra, pernah membangun suatu rumah yang diberi nama “daar al-daaqiq” (rumah tepung) antara Makkah dan Syam. Tersedia berbagai macam jenis tepung, kurma, dan barang-barang kebutuhan lainnya. Ditujukan untuk menolong orang-orang yang singgah dalam perjalanan dan memenuhi kebutuhan orang-orang yang perlu sampai kebutuhannya terpenuhi.
Artinya sebelum terjadi wabah penyakit pun, kepala negara dalam Islam telah mempersiapkan dengan baik apa saja yang menjadi kebutuhan rakyatnya. Hingga tak perlu bolak-balik berpidato menyampaikan janji-janji dari setiap kebijakannya, tapi minus bukti.
Di tengah pandemi virus, negara tampil memenuhi kebutuhan rakyat yang tak mungkin bekerja. Dari mana dananya? Pertama dari harta zakat, sebab fakir atau miskin (orang tak mampu) berhak mendapat zakat.
Kedua, dari harta milik negara baik fai’, ghanimah, jizyah, ‘usyur, kharaj, khumus rikaz, harta ghulul pejabat dan aparat.
Ketiga, harta milik umum seperti hutan, kekayaan alam, dan barang tambang. Jika semua itu belum cukup barulah negara boleh memungut pajak kepada laki-laki muslim dewasa yang kaya.
Dengan semua itu, sistem Islam memiliki program pengaman sosial yang jitu dan terbukti ampuh memenuhi kebutuhan rakyatnya di tengah kondisi apa pun. Hal itu menjadi riil dan bukan mimpi. Bukankah itu menjadi harapan kita semua? Saatnya kita wujudkan dengan menerapkan sistem Islam dalam bingkai Khilafah.
Sumber : MuslimahNews.com
Posting Komentar