-->

Kontroversi Pembebasan Napi Di Tengah Wabah

Oleh : Mega (Mahasiswi Semester 6 Universitas Haluoleo) 

Penamabda.com - Wacana pemberian remisi atau pembebasan bersyarat bagi para napi koruptor di tengah pandemi Covid-19 menuai polemik. Sejumlah pihak menyesalkan sikap pemerintah yang terkesan mencari kesempatan untuk meringankan hukuman para koruptor, sebagaimana yang dilansir dari (Merdeka.com, 02/04/2020), menurut Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenurrohman atau akrab disapa Zen menilai wacana yang dilontarkan Yasonna tidak tepat. Zen memaparkan beberapa alasannya. 

Pertama, dibandingkan kasus kriminal lainnya, narapidana kasus korupsi jumlahnya tidak banyak. Kedua, kasus korupsi bukanlah kejahatan biasa. Korupsi adalah kasus kejahatan serius. Sehingga langkah Kemenkumham membebaskan narapidana kasus korupsi dinilai tak tepat.
Hal ini di klaim telah menghemat anggaran negara untuk kebutuhan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) hingga Rp260 miliar. Penghematan itu terjadi setelah 30 ribu narapidana dan anak mendapatkan asimilasi dirumah serta mendapat hak integrasi berupa Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. (tirto.id, 1/04/2020)

Program asimilasi dan integrasi tersebut tidak berlaku bagi pelaku kejahatan tindak pidana luar biasa seperti teroris dan korupsi sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang mengatur pengetatan remisi. Dalam perkembangannya, Yasonna berencana merevisi PP tersebut. Ia merinci setidaknya terdapat empat kriteria narapidana yang bisa dibebaskan melalui proses asimilasi dan integrasi melalui mekanisme revisi PP tersebut.

Kebebasan Mengundang Polemik

Pemerintah membebaskan puluhan ribu napi, termasuk napi koruptor dengan dalih menyelamatkan napi dari wabah Corona dan penghematan anggaran. Kebijakan ini menuai kecaman publik pasalnya pemerintah dianggap mencari momen untuk memperbanyak cara melepas koruptor dari jerat hukuman.
Kebijakan ini hanya akan memunculkan masalah baru yakni peluang kriminalitas yang bisa dilakukan mantan napi di tengah kondisi ekonomi yang buruk. Bagaimana tidak, di lingkungan masyarakat banyak yang telah kehilangan pekerjaannya, sehingga tidak ada pendapatan yang diperoleh. Seluruh lapisan masyarakat dihimbau untuk tetap tinggal dirumah sehingga untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keseharian sulit untuk terpenuhi dengan baik.

Seharusnya wabah covid-19 tidak dijadikan alasan untuk membebaskan napi dan memanfaatkan situasi dengan membebaskan tahanan napi, terlebih lagi dalih membebaskan mereka dikarenakan alasan kemanusiaan tanpa dasar dengan mempermudah napi korupsi untuk terbebas dari masa hukumannya, ini akan menambah masalah baru keresahan yang dirasakan masyarakat malah akan bertambah yang tidak hanya memikirikan nasib ekonomi dan problem publik yang tidak dipenuhi dengan baik malah mereka harus diperhadakan dengan para napi yang belum diketahui apakah nantinya tidak membawa keresahan dalam lingkungan masyarakat ataukah tidak. 

Kasus korupsi merupakan tindak kejahatan yang telah merugikan keuangan negara, merampas hak yang bukan milik mereka, dengan ini mencerminkan rusaknya tatanan sisten demokrasi, yang melanggar HAM sama halnya sebagaimana tindak kejahatan seperti terorisme, narkoba, dan human trafficking. 

Pemerintah harusnya lebih logis lagi dalam memberikan kebijakan untuk mengatasi problem ini, sehingga memberikan solusi yang benar-benar akan menjamin kelayakan publik yang terjamin dengan aman, bukannya mengambil kebijakan yang mementingkan sekelompok yang terselubung dibalik alasan wabah. Hal ini malah menunjukkan bukti ketidakseriusan pemerintah dalam memberikan kebijakan yang sistematis.

Syariah Islam Solusinya

Penanganan korupsi tidak dilakukan secara komprehensif, setengah hati, dan tidak sungguh-sungguh. Ini terlihat dari tak adanya keteladanan dari pemimpin dan lemahnya pengungkapan kejahatan korupsi sementara masyarakat tahu bahwa korupsi terjadi di mana-mana. Fenomena korupsi yang terus menggurita, hanya bisa diberantas tuntas dengan sistem Islam, ada beberapa upaya yang harus dilakukan. 

Pertama, dengan sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Dan itu sulit berjalan dengan baik bila gaji mereka tidak mencukupi. Karena para birokrat tetaplah manusia biasa. Negara khilafah Islamiyah juga sangat memperhatikan kesejahteraan para pegawainya dengan cara menerapkan sistem penggajian yang layak. Rasulullah SAW bersabda: 

“Siapapun yang menjadi pegawai kami hendaklah mengambil seorang istri, jika tidak memiliki pelayan , hendaklah mengambil seorang pelayan, jika tidak mempunyai tempat tinggal hendaknya mengambil rumah." (HR. Abu Dawud). 

Dengan terpenuhinya segala kebutuhan mereka, tentunya hal ini akan cukup menekan terjadinya tindakan korupsi.

Kedua, larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud tertentu, yakni bagaimana agar aparat itu bertindak menguntungkan pemberi hadiah. 

Ketiga, perhitungan kekayaan. Orang yang melakukan korupsi, tentu jumlah kekayaannya akan bertambah dengan cepat. Cara inilah yang sekarang dikenal dengan istilah pembuktian terbalik yang sebenarnya sangat efektif mencegah aparat berbuat curang.

Keempat, teladan pemimpin. Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila para pemimpin dalam sebuah negara bersih dari korupsi. Sebagaimana  khalifah Umar Bin abdul aziz pernah memberikan teladan yang sangat baik sekali bagi kita ketika beliau menutup hidungnya saat membagi-bagikan minyak wangi karena khawatir akan mencium sesuatu yang bukan haknya. Beliau juga pernah mematikan fasilitas lampu di ruang kerjanya pada saat menerima anaknya. Hal ini dilakukan karena pertemuan itu tidak ada sangkut pautnya dengan urusan Negara. Tampaknya hal ini bertolak belakang dengan apa yang terjadi di negri ini, ketika rakyatnya banyak yang lagi kesusahan, mereka malah enjoy dengan mobil mewah terbarunya, serta fasilitas-fasilitas yang lain.
Sehingga dengan takwa, seorang pemimpin mampu melaksanakan tugasnya dengan  amanah dan takut melakukan penyimpangan, karena meski ia bisa melakukan kolusi dengan pejabat lain untuk menutup kejahatannya, ia meyakini bahwa Allah SWT yang mengawasinya dan di akhirat pasti akan dimintai pertanggungjawaban.  

Kelima, hukuman setimpal. Agar orang takut menerima risiko yang akan mencelakakan dirinya, bila ditetapkan hukuman yang berfungsi sebagai pencegah (zawajir), hukuman setimpal atas koruptor diharapkan membuat orang jera dan kapok melakukan korupsi.
Syarat yang harus dimiliki oleh setiap wakil rakyat yakni, sifat adil terhadap siapa saja, senantiasa memelihara wibawa dan nama baik (muruah), pengetahuan yang memadai tentang seluk-beluk negara dan ketatanegaraan) sehingga mampu menentukan pilihan dengan membedakan siapa yang paling berhak untuk menerima amanah) dengan berbagai ketentuan,  wawasan luas dan kebijaksanaan. 

Wallahu a’lam bi as-showab [PM]