-->

PEREMPUAN MULIA DAN BERDAYA, NEGARA AKAN BERJAYA

Oleh : Zahida Arrosyida

Penamabda.com - Pada tahun 1995 dunia mengadopsi Beijing Declaration and Platform for action, agenda kebijakan paling komprehensif untuk kesetaraan gender, dengan visi mengakhiri diskriminasi terhadap wanita dan anak perempuan.

Konferensi Beijing 1995 dianggap memberi arti penting dalam melahirkan strategi yang bertujuan untuk menjunjung tinggi persamaan dan martabat kaum perempuan dan laki-laki serta menyatakan bahwa hak-hak perempuan adalah hak asasi manusia sebagaimana yang terkandung dalam piagam PBB, deklarasi umum hak asasi manusia, konvensi hak anak, konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan (CEDAW), deklarasi penghapusan tindak kekerasan perempuan dan deklarasi tentang hak atas pembangunan. 

BFFA 1995 berisi tentang 12 sasaran strategis yang harus menjadi pusat perhatian bagi pemerintah, masyarakat internasional dan masyarakat sipil termasuk NGO/LSM dan sektor swasta. Ke-12 bidang kritis tersebut adalah :
1) Perempuan dan kemiskinan
2) Pendidikan dan Pelatihan bagi perempuan
3) Perempuan dan kesehatan
4) Kekerasan terhadap perempuan
5) Perempuan dan konflik bersenjata
6) Perempuan dan ekonomi
7) Perempuan dalam kedudukan pemegang kekuasaan dan pengambil keputusan
8) Mekanisme institusional untuk kemajuan perempuan
9) Hak-hak asasi perempuan
10) Perempuan dan media massa
11) Perempuan dan lingkungan
12) Anak-anak perempuan.

Kini setelah 25 tahun kemudian platform ini dijalankan oleh hampir tiap negara ternyata diskriminasi dan stereotip yang membatasi masih lazim ditemukan.

Dilansir dari satu harapan.com, PBB memaparkan meskipun terdapat kemajuan dalam pendidikan selama 25 tahun terakhir, kekerasan terhadap wanita dan anak perempuan masih terjadi di banyak wilayah di seluruh dunia. Menurut sebuah laporan yang dirilis pada Rabu (4/3) dari UNICEF, Entitas PBB untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (UN Women), dan Plan International.

Laporan yang dirilis jelang sesi ke-64 Komisi Status Perempuan pekan depan itu memaparkan jumlah anak perempuan yang putus sekolah turun 79 juta orang dalam dua dekade terakhir, dan dalam satu dekade terakhir anak perempuan memiliki kemungkinan lebih besar untuk melanjutkan ke sekolah menengah dibanding anak laki-laki.
Mereka masih lebih tidak beruntung di tingkat sekolah dasar, dengan 5,5 juta lebih banyak anak perempuan dibandingkan anak laki-laki yang putus sekolah di seluruh dunia, menurut laporan tersebut. Kemajuan global dalam mengurangi jumlah anak putus sekolah di tingkat dasar mengalami stagnasi, baik untuk anak perempuan maupun laki-laki sejak tahun 2007.

Saat ini terdapat sekitar 1,1 miliar anak perempuan di dunia, papar laporan setebal 40 halaman berjudul “Era Baru untuk Anak Perempuan, Merangkum Kemajuan 25 Tahun”
(www.satuharapan.com 05/03/2020)

Di Indonesia, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meluncurkan catatan tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2020 di Mercure Hotel, Jakarta. Catatan tahunan merupakan dokumentasi berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani oleh berbagai lembaga negara, lembaga layanan, maupun yang dilaporkan ke Komnas Perempuan setiap tahunnya. Dokumentasi kasus mulai rutin dilakukan Komnas Perempuan sejak tahun 2001. Merujuk pada CATAHU 2020, sepanjang tahun 2019 tercatat ada 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terdiri dari 421.752 kasus yang ditangani Pengadilan Agama, 14.719 kasus yang ditangani lembaga mitra pengada layanan di Indonesia, dan 1.419 kasus dari Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan.

“Angka kekerasan terhadap perempuan terus meningkat dari tahun ke tahun. Dalam kurun waktu 12 tahun kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat 792 persen,” ungkap Mariana Amiruddin Komisioner Komnas Perempuan. Angka kasus kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena gunung es, artinya ada banyak kasus kekerasan seksual yang tidak terungkap dan tidak dilaporkan oleh korban.
(www.databoks.katadata.co.id 09/03/2020).

Perspektif kesetaraan dan keadilan gender serta pemberdayaan perempuan perspektif gender yang dalam kurun waktu duapuluh lima tahun terakhir ini kian mengglobal, telah diterima sebagai solusi untuk berbagai persoalan perempuan hampir di setiap negeri muslim, tidak terkecuali Indonesia. Diawali sejak pemerintahan Indonesia meratifikasi konvensi hasil konferensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW, 1979) yang dikeluarkan melalui UU no 7 tahun 1984, perspektif ini menjadi acuan bagi penyelesaian segala macam persoalan perempuan.

Banyak kalangan khususnya feminis menilai bahwa ragam problem yang dihadapi kaum perempuan bertumpu pada ketidakadilan gender dan diskriminasi perempuan.

Kesenjangan (diskriminasi) gender telah mengakibatkan perempuan mengalami berbagai macam bentuk ketidakadilan. Marjinalisasi (peminggiran) perempuan mengakibatkan kemiskinan pada perempuan dan akhirnya perempuan menjadi tereksploitasi. Bentuk lain diskriminasi adalah subordinasi; perempuan tidak dianggap lebih penting dari urusan laki-laki, akibatnya perempuan dijadikan warga negara kelas dua. Kepentingan perempuan cenderung tidak mendapat respon positif. Bentuknya adalah stereotip. Adanya pandangan dan pelabelan  perempuan sebagai ibu rumah tangga yang tidak banyak berkontribusi dalam lapangan publik mengakibatkan perempuan yang punya penghasilan, tetap saja disebut sebagai pencari nafkah utama namun dianggap sebagai kerja sambilan. Adanya "beban ganda" juga diakui sebagai bentuk ketidakadilan bagi perempuan. Bagi perempuan yang bekerja di luar rumah seharian ketika tiba di rumah masih juga dibebani dengan pekerjaan rumah tangganya. Tentu saja Ini dirasa berat oleh para perempuan yang berperan ganda. Kekerasan juga merupakan bentuk ketidakadilan yang dialami perempuan. Perempuan sering dijadikan objek kekerasan oleh laki-laki karena adanya kesenjangan posisi dan peran. Akibat ketidakadilan ini perempuan mengalami berbagai persoalan. Jangankan bisa mendapat posisi sejajar sebagai mitra kerja laki-laki dalam mengatasi masalah-masalah sosial, politik,  ekonomi dan berperan dalam penentuan kebijakan serta pengambilan keputusan untuk keluar dari masalah saja belum bisa mereka lakukan. Karena itu upaya untuk menghilangkan gender dan mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender menjadi fokus perhatian para aktivis pembela perempuan. Wajar karena anggapan mereka kesenjangan inilah yang mengakibatkan perempuan di dalam persoalan yang bertubi-tubi.

Benarkah kesenjangan gender atau diskriminasi menjadi sebab munculnya persoalan perempuan? Boleh jadi jawabannya benar. Fakta kesenjangan serta diskriminasi terhadap perempuan memang terjadi. Menurut pengamatan aktivis pembela perempuan kesenjangan ini disebabkan beberapa faktor. Yaitu adanya pengaruh tata nilai sosial budaya yang masih menganut paham patriarki, yaitu keberpihakan yang berlebihan kepada kaum laki-laki daripada perempuan. Adanya produk hukum dan peraturan yang belum responsif gender Serta adanya pemahaman ajaran agama yang menunjukkan posisi laki-laki lebih tinggi dari perempuan.

Fakta adanya masyarakat yang diskriminatif terhadap perempuan karena faktor-faktor di atas memang benar adanya. Hanya saja fakta ini pernah terjadi pada sejarah peradaban beberapa bangsa sebelum kedatangan Islam. Fakta diskriminatif masih berlangsung sampai sekarang, saat   kaum Muslimin tidak  lagi menerapkan Islam dalam kehidupan khususnya dalam mengatur pola relasi laki-laki dan perempuan. Jauh sebelum Islam datang, faktor kesenjangan dan ketidakadilan terhadap perempuan digelar dalam beberapa episode kehidupan manusia. Peradaban Yunani kuno, Romawi kuno India kuno, Yahudi (kitab Taurat yang telah terselewengkan) Nasrani (kitab Injil yang telah dimodifikasi), masyarakat Eropa sebelum atau sesudah masa renaissance,  masyarakat Arab pra- Islam setelah mengukir nasib perempuan yang tidak berdaya. Ketika itu semua peradaban tersebut memandang perempuan tidak lebih dari warga negara kelas dua atau sebagai barang pemuas hawa nafsu yang dapat diperjualbelikan. Dengan pandangan seperti itu terjadi diskriminasi terhadap perempuan. 

Islamlah yang pertama kali mengubah nasib buruk perempuan, saat masyarakat Arab mengubur hidup-hidup bayi perempuan yang baru dilahirkan. Kelahiran bayi perempuan adalah aib bagi ayahnya. Saat itu pula perempuan menjadi harta warisan suami bagi anak laki-lakinya. Sungguh tidak ada penghormatan terhadap perempuan kala itu. Kemudian Islam datang membawa perubahan pada nasib perempuan. Kemuliaan dan kehormatan perempuan tetap terpelihara sepanjang kaum muslimin meyakini dan menerapkan Islam dalam kehidupan.

Kaum feminis mengasumsikan bahwa perempuan berada dalam kenyataan buruk seperti lingkungan, keterkungkungan, ketertinggalan, kemiskinan, ketertindasan yang mengakibatkan kaum perempuan terhambat kemandiriannya. Beban berat antara lain perannya sebagai ibu, hamil, menyusui, mendidik anak, mengatur urusan rumah tangga. 

Kaum perempuan diarahkan untuk meninggalkan kodratnya mereka diprovokasi agar perlombaan sejajarkan diri dengan laki-laki yang tidak memiliki beban serupa. Dengan dalih peduli terhadap nasib perempuan dan kemajuan perempuan, Barat dengan  kesetaraan gender nya yang rusak dan asumtif menjadikan slogan-slogan itu sebagai patron ideal bagi kemajuan perempuan muslim.

Aturan Islam yang dianggap tidak mengukuhkan ketidakadilan terhadap perempuan seperti masalah perwalian, nasab, pakaian, waris, kepemimpinan juga nafkah menjadi sasaran proyek konstruksi gender.

Atas nama pemberdayaan perempuan, para aktivis gender menyuntikkan pemikiran beracun untuk membius kaum perempuan hingga lupa pada jati diri  sebagai muslimah, serta lupa pada komitmennya terhadap keluarga dan tugas mempersiapkan generasi.

Sesungguhnya persoalan kekerasan, kemiskinan, ketidakberdayaan dll yang menimpa kaum perempuan juga menimpa kaum lelaki. Hal ini terjadi karena penerapan sistem kapitalisme yang melahirkan pemimpin yang hanya mengedepankan kepentingan pribadi dan partai tanpa peduli kondisi rakyatnya. Pemimpin ini menjalankan sistem ekonomi dan politik kapitalis sekuler yang menghasilkan berbagai penindasan, kekerasan dan kemiskinan secara struktural.

Barat memiliki kepentingan besar untuk menyebarkan ideologi kapitalisme di berbagai bidang dan mengeksploitasi manfaat material dari SDA di dunia Islam. Ekspor ide dengan gerakan kesetaraan gender ke negeri-negeri muslim, barat menanamkan lebih kuat ide kebebasan yang menjadi pilar kapitalisme. Perempuan muslimah didorong untuk melepaskan diri dari berbagai hambatan agar terwujud kesetaraan peran dengan laki-laki. Salah satu hambatan tersebut adalah aturan agama (Islam). Karena itu dengan mengadopsi ide kesetaraan gender ini, perempuan akan membebaskan dirinya dari aturan Allah dan memberdayakan dirinya sedemikian rupa tanpa menjadikan syariah agamanya sebagai pijakan.  Muslimah diarahkan untuk melihat bahwa berbagai problematika yang menimpa umat khususnya perempuan dan anak adalah karena belum adanya kesetaraan gender pada struktur sosial masyarakat, juga pada pijakan pembangunan dalam wujud undang-undang yang dijiwai semangat setara gender. Pada gilirannya arah perjuangan kaum perempuan di negara miskin terfokus untuk mewujudkan kesetaraan gender di semua bidang. Mereka tidak menyadari bahwa aroma penjajahan di segala bidang sedang mengintai. Di sisi lain gerakan kesetaraan gender telah membawa perempuan muslimah mengabaikan peran keibuan dan pengelola rumah tangga. Padahal peran inilah yang pertama dan utama untuk melahirkan generasi berkualitas. Generasi berkualitas yang lahir dari rahim perempuan mulia yang terdidik dengan syariat Islamlah yang akan melepaskan umat ini dari penjajahan ideologi kapitalisme.

Islam dengan hukum-hukumnya yang sempurna telah mengatur hubungan laki-laki dan perempuan agar berjalan harmoni untuk meraih kemaslahatan dalam rangka meriah ridho Allah. Masing-masing dari mereka dibebankan hukum yang sama jika terkait dengan posisi mereka sebagai manusia. Misalnya kewajiban menuntut ilmu, sholat, berda'wah dsb. Adapun jika terkait dengan tabiat/kodrat mereka sebagai lelaki atau perempuan maka dalam hal ini Islam memberikan taklif hukum yang berbeda sesuai tabiatnya sebagai lelaki atau perempuan. Misalnya: kewajiban mencari nafkah untuk laki-laki, dan kewajiban mendidik dan menjadi ummu wa rabbatul bait bagi perempuan.

Firman Allah :

  وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا ۖ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ ۚ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

"Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."
(QS : Annisa: 32).

Dalam Islam seorang perempuan yang berdaya dan mulia bukanlah dilihat dari berapa penghasilan perbulannya, karirnya dalam dunia kerja, posisinya dalam pengambilan kebijakan negara dsb. 
Perempuan mulia dan berdaya adalah perempuan yang taat menjalankan aturan dari pencipta-Nya, menjalankan peran sebagai istri, ibu dan anggota masyarakat sesuai koridor yang telah ditetapkan syariat. Dengan optimal menjalani 3 peran tersebut sesuai aturan Islam; menjadi patner suami dalam membangun keluarga sakinah, menjadi ibu bagi anak-anaknya yang akan mencerdaskan generasi dengan tsaqofah Islam, turut serta berperan melakukan pembinaan ideologi terhadap masyarakat dan muhasabah kepada penguasa, maka negara akan meraih kejayaannya menuju peradaban gemilang.

Wallahu a'lam.