-->

NAPI BERAKSI PEMERINTAH TAK INTROSPEKSI

Oleh : Rifdah Nisa (Ibu Rumah Tangga dari Yosowilangun, Kab. Lumajang) 

Penamabda.com - Ditengah wabah pandemi masyarakat disuguhi kebijakan menteri hukum dan HAM Yasonna Laoly. Soal pembebasan narapidana lewat program asimilasi rumah untuk mencegah penyebaran COVID-19. Alasan medis menjadi poin utama selain rumah tahanan yang overload serta mengurangi pengeluaran pemerintah. Sebanyak 36.767 narapidana yang dibebaskan. Ini bukan angka yang kecil jika dibandingkan jumlah total napi diseluruh lembaga pemasyarakatan di Indonesia. 

Alih-alih pemerintah memberi rasa aman ditengah masyarakat menjalani social distancing, justru rasa takut dan khawatir melanda masyarakat karena pasca pembebasan napi beraksi lagi, sebagai contoh; di Pontianak napi berulah dilaporkan karena mencuri ponsel, di Kalimantan barat napi ditangkap kerana maling motor, hal yang serupa terjadi di Lamongan napi ditangkap karena menjambret lagi (www.tirto.id).

Pembebasan besar-besaran napi tersebut menimbulkan kekhawatiran ditengah masyarakat sebab telah terbukti diberbagai daerah terdapat napi yang kembali ditangkap karena berbuat pidana. Padahal ditjen PAS mewajibkan napi yang dibebaskan agar menjalani asimilasi dirumah. Wajar hal ini terjadi saat perekonomian lesu akibat wabah. Kesempatan emas bagi napi untuk menjalankan aksinya pada masa sosial distancing. Apalagi pemerintah tidak menyiapkan regulasi untuk mengeliminasi dampak kebijakan pembebasan napi.

Ini membuktikan pembinaan napi di lembaga pemasyarakatan  yang dilakukan oleh pemerintah telah gagal, karena hukuman yang mereka jalani tidak memberi unsur jera bagi dirinya. Himpitan ekomoni jadi faktor utama kejahatan selain ada kesempatan dan aturan yang tidak memberi efek jera. Akibatnya pemerintah tak mampu memberi rasa aman terhadap masyarakat. Jelas kebijakan ini tidak tepat jika dengan alasan pencegahan penyebaran COVID-19, nyatanya mereka masih berkeliaran untuk menjalankan aksi kejahatan ditengah tengah masyarakat.

Gambaran sistem hukum demokrasi yang carut marut menunjukkan kegagalan penerapan sistem kapitalis. Berkebalikan dalam sistem hukum Islam kejahatan adalah perbuatan tercela (qabih) yaitu yang dicela oleh syara' (Allah ). Suatu perbuatan tidak diaggap kejahatan kecuali  syara' menetapkan bahwa perbuatan tersebut tercela. Syara' juga telah menetapkan setiap perbuatan tercela sebagai dosa dan harus dikenai sanksi. Sanksi dalam Islam ada 2 fungsi pertama sebagai zawajir (pencegah dari kejahatan), kedua jawabir (penebus dosa diakherat), ini tak pernah ada dalam sistem manapun kecuali Islam.

Sebagai contah dalam firman Allah SWT "lelaki yang mencuri dan wanita yang mencuri potonglah tangan keduanya sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka barang siapa bertaubat diantara pencuri itu sesudah melakukan kejahatan dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubat. Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang" (QS.al maidah: 38-39). 

Dalil ini adalah contoh sanksi bagi pencuri dipotong tangan ketika memenuhi syarat dan nishab jika tidak memenuhi nishab sebagaimana sabda Rosul "janganlah memotong tangan pencuri kecuali mencapai 1/4 dinar keatas" (HR.Muslim).

Jadi jika ada koruptor yang korupsi miliyaran sampai triliun rupiah maka dipotong tangan. Ketika sudah dipotong tangan sang koruptor akan berfikir ribuan kali (efek jera) jika mau mencuri lagi berbeda dengan sistem saat ini.

Waallahu a'lam bishowwab