-->

MENJERAT AKTIVIS ISLAM ALIMUDIN BAHARSYAH DENGAN PASAL "PUKAT HARIMAU": Dapatkah dipertanggungjawabkan?

Oleh : Pierre Suteki

Sebagaimana telah beredar luas di berbagai media massa nasional, Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri melalui Kasubdit II Dittipid Siber Bareskrim Polri Kombes Pol Himawan Bayu Aji, pada Senin (6/4/2020), telah memberikan keterangan hukum atas penangkapan dan penahanan seorang aktivis Islam, yaitu Alimudin Baharsyah. 

Dalam keterangannya, Mabes Polri pada pokoknya menjerat Saudara Alimudin Baharsyah (AB) dengan Pasal 28 ayat 2 UU ITE, Pasal penghapusan diskriminasi ras dan etnis, kemudian juga Pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa.

Sebelumnya diketahui bahwa penangkapan Alimudin Baharsyah didasarkan atas laporan Ketua Cyber Nasional Muannas Alaidid pada hari Rabu tanggal 1 April 2020 terkait dengan video Ali Baharsyah yang telah beredar viral di media sosial. Video tersebut diberi teks #Go Block Dah. Transkrip video tersebut kira-kira berbunyi demikian:

"Woi, tanya dong Itu presiden sipaa sih? G****k banget dah. Ini ada virus, darurat kesehatan, kok yang diterapin malah kebijakan darurat sipil? emang ada perang? Ada kerusuhan, ada pemberontakan? Heran deh, orang g* kok bisa jadi presiden. Emang nggak ada yang lebih pinter lagi apa? Kita kan punya undang-undang nomor 6 tahun 2018 tentang kekarantina kesehatan kenapa itu nggak dipake, wong dia sendiri yang tanda tangan. Itu buat ngarantina orang apa ngarantina monyet, ngarantina cebong? G***** banget dah,".

Alimudin Baharsyah dilaporkan atas tuduhan penyebaran ujaran kebencian dan hoax soal kebijakan darurat sipil dalam penanganan virus Corona (COVID-19). Dalam laporan bernomor: LP/B/0184/IV/2020/BARESKRIM itu, Muannas melampirkan barang bukti 5 lembar tangkapan layar dan 1 unit USB berisi rekaman video Ali Baharsyah. 

Menurut pemberitaan di media massa diperoleh keterangan bahwa polisi sudah memantau media sosial milik Ali sejak 2018. Kasubdit II Dittipid Siber Bareskrim Polri Kombespol Himawan menjelaskan Ali Baharsyah dijerat Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tentang ujaran kebencian dan SARA. Selain itu, Ali Baharsyah dijerat Pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa. Betulkah jika aparat menangkap dan menahan Alimudin Baharsyah dengan dalil melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 207 KUHP?

Bunyi lengkap Pasal 207 KUHP sebagaimana diatur dalam KUHP terjemahan versi R. Soesilo (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal adalah sebagai berikut :

“Barang siapa dengan sengaja di muka umum, dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan yang ada di Negara Indonesia atau sesuatu majelis umum yang ada di sana, dihukum penjara selama-lamanya satu tahun enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500-,”.

Sementara itu, jika membaca KUHP versi Moeljatno, maka isi atau bunyi Pasal 207 adalah :

“Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.,

Terkait pasal ini, R. Soesilo menjelaskan bahwa pasal 207 KUHP tersebut menjamin alat-alat kekuasaan Negara supaya tetap dihormati. Tiap-tiap penghinaan terhadap alat-alat tersebut dihukum menurut pasal ini. Menurut Soesilo, menghina dengan lisan atau tulisan sama dengan menyerang nama baik dan kehormatan dengan kata-kata atau tulisan. Agar penghinaan tersebut dapat dihukum harus dilakukan dengan sengaja dan di muka umum, jika dilakukan dengan tulisan, misalnya dengan surat kabar, majalah, pamfelt dan lain-lain harus dibaca oleh khalayak ramai.

R. Soesilo menambahkan bahwa objek-objek yang dihina itu adalah sesuatu kekuasaan (badan kekuasaan pemerintah) seperti: Gubernur, Residen, Polisi, Bupati, Camat dan sebagainya, atau suatu majelis umum (Parlemen, Dewan Perwakilan Rakyat, dan sebagainya). Penghinaan tersebut bukan mengenai orangnya. Jika yang dihina itu orangnya sebagai pegawai negeri yang sedang melakukan kewajiban yang sah, maka pelaku dikenakan Pasal 316 KUHP.

Oleh beberapa pihak diperoleh keterangan bahwa Pasal 207 KUHP dinilai dapat membelenggu kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan untuk mengkritik penguasa atau badan-badan kekuasaan umum, sehingga pasal ini berpotensi untuk dapat disalahgunakan penguasa untuk menghambat masyarakat yang menyampaikan aspirasinya. Oleh karena itu, pasal ini berpotensi dapat diselewengkan oleh "rezim". Hal inilah yang mendorong MK memberikan pertimbangan hukum bahwa dalam penerapan Pasal 207 KUHP harus sejalan dengan pertimbangan Mahkamah mengenai Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP---yang dinyatakan tidak berlaku berdasarkan Putusan MK 013-022/PUU-IV/2006 karena bertentangan dengan UUD NRI 1945.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022/PUU-IV/2006, MK dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa terkait pemberlakuan Pasal 207 KUHP, penuntutan hanya dilakukan atas dasar PENGADUAN dari penguasa. Oleh karena itu, apabila pejabat pemerintah yang dihina tersebut tidak mengadukan kasus penghinaan ini maka TIDAK DAPAT DITUNTUT dan TIDAK DAPAT DIPIDANA. Dengan demikian jelas bahwa sejak putusan MK ini maka rumusan delik Pasal 207 KUHP diubah dari jenis delik biasa menjadi delik aduan. 

Bunyi pertimbangan Putusan MK terkait Pasal penerapan Pasal 207 KUHP adalah sebagai berikut:

"Menimbang bahwa oleh karena itu delik penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut hukum seharusnya diberlakukan Pasal 310-Pasal 321 KUHPidana manakala penghinaan (beleediging) ditujukan dalam kualitas pribadinya, dan Pasal 207 KUHP dalam hal penghinaan ditujukan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden selaku pejabat (als ambtsdrager)"

Selanjutnya MK menyatakan:

"Menimbang bahwa dalam kaitan pemberlakuan Pasal 207 KUHPidana bagi delik penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana halnya dengan penghinaan terhadap penguasa atau badan publik (gestelde macht of openbaar lichaam) lainnya, memang seharusnya penuntutan terhadapnya 
dilakukan atas dasar pengaduan (bij klacht). 

Di beberapa negara antara lain Jepang, penghinaan terhadap Kaisar, Ratu, Nenek Suri, Ibu Suri, atau ahli waris kekaisaran hanya dapat dituntut atas dasar pengaduan. Article 232 (2) The Penal Code of Japan menentukan bahwa Perdana Menteri akan membuatkan pengaduan atas nama Kaisar, Ratu, Nenek Suri, Ibu Suri guna pengajuan penuntutan, dan apabila penghinaan dimaksud dilakukan terhadap seorang raja atau presiden suatu negeri asing, maka wakil negeri yang berkepentingan itu yang akan membuat pengaduan atas namanya. Penuntutan terhadap pelaku pelanggaran atas Pasal 207 KUHPidana oleh aparat penyelenggara negara memerlukan penyesuaian di masa depan sejalan dengan pertimbangan Mahkamah mengenai Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana tersebut di atas."

Berdasarkan dalil-dalil pertimbangan Putusan MK dan oleh karena status Pasal 207 KUHP telah mengalami perubahan jenis delik, maka dapat ditafsirkan juga bahwa martabat yang dimaksudkan dalam pasal ini pun ikut mengalami perubahan, yaitu hanya pada martabat pejabat umum/penguasa dan bukan lagi martabat institusi (content fo personal and not content of institutional). Perubahan dari delik biasa ke delik aduan (klacht delict) menunjukkan bahwa pejabat yang dirinya merasa terhina harus MENGADUKAN ke penegak hukum secara langsung, tanpa adanya pengaduan maka perbuatan tersebut tidak dapat dituntut. 

Pengaduan harus dilakukan secara langsung tidak bisa diwakili karena ini menyangkut harkat dan martabat pejabat yang dirinya merasa dihina tersebut. Penghinaan yang ditujukan kepada institusi penguasa umum tidak lagi bisa menggunakan Pasal 207 KUHP, karena putusan MK telah mengubah klausula deliknya. Sarana hukum yang mungkin bisa digunakan jika institusi penguasa umum merasa terhina adalah dengan gugatan perdata, tentu saja bila bisa dibuktikan timbulnya kerugian atas perbuatan penghinaan tersebut (vide Pasal 1372 KUHPerdata).

Berdasarkan perubahan perkembangan hukum yang ada seperti tersebut di muka, maka objek penghinaan ditujukan pada lembaga-lembaga negara sudah tidak relevan lagi jika mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022/PUU-IV/2006, karena dengan perubahan jenis delik dari delik biasa ke delik aduan, maka objek penghinaan juga mengalami perubahan dari institusi ke perseorang (pejabat/penguasa umum) sebagaimana telah disebutkan di muka tadi. 

Oleh karena itu, penangkapan dan penahanan Alimudin Baharsyah apabila disebabkan oleh tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 207 KUHP yang telah diubah status deliknya oleh MK tersebut adalah dapat diduga TIDAK DAPAT DIPERTANGGUNGJAWABKAN menurut perkembangan hukum yang berlaku dalam hal ini pertimbangan hukum MK sebagaimana telah disebutkan di atas.

Penggunaan pasal berlapis memang memungkinkan untuk menjerat seorang tersangka, namun dalam hal ini seorang penegak hukum harus memahami betul jenis delik apa yang sedang dituduhkan kepada seseorang sebelum melakukan penangkapan dan penahanan. Jadi, penegak hukum tidak boleh seperti nelayan yang menangkap ikan dengan jaring PUKAT HARIMAU karena bila mau, sekecil apa pun seseorang pasti dapat "dicari" kesalahannya. 

Sebagai manusia biasa tentu kita sadar betul bahwa tidak ada manusia yang bersih dari kesalahan terkait dengan pelanggaran dan kejahatan hukum tertentu, sehingga menuduh orang lain melakukan kejahatan ini dan itu tentu membutuhkan kecermatan dan kehati-hatian. Akan lebih fatal lagi bila ternyata pasal yang dituduhkan telah mengalami perubahan penerapan dari delik biasa menjadi delik aduan absolut. Akhirnya, secara umum dapat dinyatakan bahwa "Bermain hukum itu boleh tetapi mempermainkan hukum--misalnya dengan menggunakan "pasal pukat harimau"---- untuk menjerat seseorang tanpa dalil hukum yang benar sungguh tidak elok dan tidak dapat dipertanggungjawabkan baik secara hukum, moral maupun agama". Keadilan akan tercerabut dari hukum, padalah lex injusta non est lex (hukum yang tidak adil bukanlah hukum).

Tabik...!!!

#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst

Sumber : FB Steven Suteki