-->

Riset ITB: 32 Ribu Kasus Corona Tak Terdeteksi di DKI Jakarta


Salah satu peneliti matematika epidemiologi Institut Teknologi Bandung (ITB), Nuning Nuraini, merilis penelitian terbaru terkait fenomena pandemi virus corona (Covid-19) di Indonesia.

Dalam penelitian terbarunya itu Nuning memperkiraan banyak kasus yang tidak terdeteksi dari provinsi-provinsi di Indonesia.

Nuning bersama dengan SimcovID Team mencoba menjawab permasalahan-permasalahan yang lebih kompleks dan spesifik dengan pendekatan model yang lebih reaslistik.

Tim ini terdiri dari belasan peneliti dari berbagai perguruan tinggi, di antaranya ITB, Unpad, UGM, ITS, UB, Undana, bahkan termasuk peneliti perguruan tinggi luar negeri asal Indonesia di Essex & Khalifa University, University of Southern Denmark, dan Oxford University.

Dalam kajian ilmiah yang mereka rancang, Nuning dan tim berusaha menjawab setidaknya tiga rumusan masalah. Pertama, lewat model SEIRQD atau Suceptible-Exposed-Quarantine-Recovery-Death.

Melalui metode ini mereka ingin menghasilkan analisa terkait estimasi kepadatan kasus Covid-19 per 100.000 orang jumlah penduduk dan menunjukkan seberapa besar perkiraan kasus yang tidak terdeteksi dari provinsi-provinsi di Indonesia.

Untuk menjawab tujuan pertama ini, Nuning beserta tim berusaha menentukan estimasi parameter yang tepat melalui data yang ada. Walaupun validitas data kasus terlapor diasumsikan rendah.

Oleh sebab itu, kata dia, estimasi parameter juga dilakukan melalui data kematian yang diasumsikan lebih dapat dipercaya dibandingkan data kasus terlaporkan.

Setelah data-data tersebut diolah, Nuning dan tim menyimpulkan, Provinsi DKI Jakarta menempati urutan pertama sebagai provinsi dengan estimasi kepadatan kasus Covid-19 per 100.000 orang tertinggi di Indonesia dengan estimasi kasus yang tidak terdeteksi sebesar 32.000 (dalam selang kepercayaan 86 persen) kasus.

Jumlah kasus ini jauh meninggalkan estimasi nomor dua yang diduduki oleh Provinsi Jawa Barat dengan 8.090 kasus tak terdeteksi dengan selang kepercayaan yang sama.

Selanjutnya, untuk estimasi dari jumlah kasus Covid-19 yang terdeteksi berdasarkan pemodelan, Bengkulu menjadi provinsi yang paling kecil kemampuan deteksinya yakni 0.26 persen dari perkiraan total kasus provinsi sebesar 385 kasus.

“Dari pemodelan, kita juga bisa melihat bahwa provinsi-provinsi yang presentase perkiraan kasus tidak terdeteksinya tinggi ada di luar pulau Jawa, seperti Bengkulu, Papua Barat, Sumatera Selatan, dan beberapa provinsi lain,” kata Nuning dikutip dari laman ITB.

Nuning juga megungkap ada dua catatan penting menyangkut estimasi-estimasi yang dilakukan pada kajian ilmiah ini. Pertama, analisa estimasi hanya dilaksanakan pada provinsi-provinsi yang sudah ada kasus kematiannya.

Kedua, hasil estimasi ini hanya valid jika seluruh pasien yang terkonfirmasi Covid-19 dan meninggal dianggap tidak melakukan perjalanan lintas provinsi selama sekurang-kurangnya dua minggu. Adapun asumsi-asumsi yang dipakai juga didasarkan data yang ada sampai 31 Maret 2020.

Selanjutnya, Nuning dan tim menggunakan metode Extended Kalman Filter. Tim SimcoviID berusaha untuk memberikan nilai Ro yang tepat bagi kejadian di Indonesia. Caranya, dengan menggunakan Extended Kalman Filter (EKF), bahwa nilai Ro di Indonesia sekarang ada pada kisaran angka 3.3.

“Ro itu sendiri, kalau di matematika, bisa diartikan sebagai jumlah kelahiran kasus baru akibat satu orang terinfeksi saat masuk ke dalam suatu populasi yang sepenuhnya sehat dan potensial untuk sakit.”

“Biasanya, ada pihak yang menyebutnya juga sebagai faktor penggandaan atau semacamnya. Intinya, kita harus mengejar nilai Ro agar kurang dari satu sehingga kita bisa mengejar keadaan bebas penyakit,” kata Nuning menjelaskan.

Nuning dan rekan-rekan juga menyiapkan proyeksi waktu puncak dan jumlah kasus kematian dari beberapa skenario kebijakan pemerintah yang mungkin akan dilaksanakan dalam menghadapi situasi pandemi ini.

Tim SimcovID membagi terlebih dahulu jenis skenario yang akan dikaji, yaitu tanpa kebijakan, kebijakan memperketat social atau physical distancing, dan karantina wilayah.

Selain itu, mereka juga menambahkan faktor waktu penerapan kebijakan dan waktu pelaporan atau waktu konfirmasi kasus sebagai faktor kualitatif lainnya.

Hasilnya, kajian ilmiah tersebut menyimpulkan bahwa skenario kebijakan karantina wilayah dalam waktu dekat disertai dengan rapid test adalah skenario terbaik yang dapat dilakukan pemerintah.

Dari hasil model mereka, kita bisa yakin bahwa fenomena pandemi di Indonesia dapat mereda lebih cepat serta lebih sedikit kasus kematian jika pemerintah menerapkan karantina wilayah, melakukan rapid test, dan segera memulai kebijakan-kebijakan tersebut.

“Segala bentuk pekerjaan yang kami lakukan dalam membangun model dan menghasilkan analisa hanya didasarkan pada sikap sukarela. Kami tidak punya tujuan lain selain ingin mengerjakan apa yang sudah menjadi bagian dari profesi kami yaitu menghasilkan publikasi ilmiah.”

“Namun, tentunya kami akan senang jika apa yang kami kerjakan dapat membantu bagi yang membutuhkan,” kata Nuning. [CNN