-->

Khilafah Memang Beda

Dari hari ke hari, jumlah orang yang positif corona dan meninggal dunia terus bertambah secara signifikan. Wajar jika masyarakat begitu khawatir, berhubung kondisi ini akan membawa dampak sosial dan ekonomi yang tidak ringan.

Apalagi jumlah yang di-publish dipastikan hanya merupakan puncak gunung es. Buktinya, saat pemerintah mengumumkan bahwa korban meninggal secara nasional masih di bawah 200 orang, Anies Baswedan justru melapor kepada Wapres bahwa kasus orang meninggal dan diperlakukan sesuai protap penderita corona sudah mencapai 401 orang. Dan itu hanya di Jakarta saja.

Begitu pun laporan yang disampaikan Gubernur Jabar, Ridwan Kamil (RK). Dari 15.000 orang yang menjalani rapid test, ternyata ada 600 orang yang positif corona. Dan ini hanya terjadi di dua komunitas yang dites saja. Sehingga RK menyimpulkan, jika tes dilakukan secara massal, jumlah pengidap corona sebenarnya berlipat ganda.

Banyak yang curiga, pemerintah memang bersengaja menyembunyikan fakta sebenarnya. Dalam pandangan mereka, penguasa memang tak punya niat untuk bersegera mengambil langkah-langkah semestinya.

Bahkan sejak kasus ini muncul, semua statement dan kebijakan yang dikeluarkan, kian menunjukkan bahwa mereka sejatinya tak punya kapabilitas mengatur negara. Perilaku mereka benar-benar membuat rakyat kian marah.

Tengok saja. Di tengah krisis faskes, APD dan balada norek sumbangan rakyat, proyek IKN terus dilanjutkan. RUU Omnibus law dan minerba siap digolkan. TKA yang berdatangan, terus dibela. Pembayaran zakat minta dipercepat. Puluhan ribu napi, termasuk koruptor kelas kakap pun, siap dibebaskan.

Tak bisa ditutup-tutupi, selama ini pemerintah memang sedang dihadapkan pada persoalan yang sangat besar. Selain mengalami distrust, kondisi keuangan negara yang bermasalah akibat berbagai kebocoran pun gagal dipulihkan.

Bahkan ekonomi nyaris kolaps akibat dampak penerapan ekonomi liberal yang tunduk pada kekuatan pasar. Politik mercusuar berbasis investasi asing yang terus dilakukan rezim, ditambah kondisi rupiah yang terus dalam tekanan, membuat Indonesia nyaris terkubur dalam kubangan utang. Bahkan saat ini, indonesia siap-siap masuk jebakan utang baru IMF bernama Corona Loan.

Selama puluhan dekade, Indonesia dan negara-negara dunia ketiga lainnya yang sangat kaya sumber daya ini memang selalu berada dalam cengkraman penjajahan negara-negara kapitalis global yang salah satu tentakelnya adalah utang.

Mirisnya, tabiat sistem yang diterapkan saat ini, diperparah dengan syahwat buruk para pemegang kekuasaan, membuat kecil harapan negeri ini bisa segera lepas dari rantai penjajahan.

Betapa tidak? Penerapan sistem sekuler demokrasi kapitalis neoliberal, membuat negara dan pemerintahan menjadi ajang rebutan dan bancakan para pemilik modal. Tak hanya kapitalis lokal, tapi juga negara kapitalis global.

Dalam sistem ini, negara, pemerintahan, kepemimpinan, hanyalah alat meraup kekayaan bagi segelintir orang yang siap menjual diri pada negara penjajah. Bukan sebagai sarana mewujudkan kebahagiaan bagi rakyat secara keseluruhan.

Tak heran jika negara abai terhadap berbagai kepentingan rakyat. Dalam kasus wabah corona, nampak nyawa rakyat tak lebih penting dari kedudukan dan kelangsungan bisnis segelintir orang. Bahkan rakyat, harus membeli apa yang sejatinya menjadi hak dasar hidup mereka.

Sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan, menjadi sesuatu yang sangat mahal. Negara terus berhitung, berapa untung yang bisa mereka tarik dari rakyatnya. Kalau bisa keringat rakyat diperas habis dengan berbagai pungutan pajak. Hingga kesejahteraan dalam sistem ini pun benar-benar hanya ada dalam impian.

Bahkan dalam suasana wabah melanda, rakyat seolah tak punya negara. Karena semuanya serba swadaya. Dan untuk menutup kelemahannya, pemerintah melalui corong-corongnya selalu berdalih, bahwa “kebersamaan” adalah segalanya. Dan bahwa ciri negara demokrasi adalah tingginya partisipasi masyarakat.

Oleh karenanya, berharap negara hadir dalam problem masyarakat termasuk saat wabah, tak ubah seperti menggantang asap. Karena sejatinya, negaralah sumber utama dari segala problem yang dihadapi masyarakat, melalui penerapan sistem hidup yang rusak dan merusak.

Untuk mengubahnya, tentu harus ada koreksi total atas paradigma kepemimpinan dan konsep bernegara, dari paradigma sekularistik yang menafikan nilai-nilai transendental dan berbasis pada akal menjadi paradigma yang berbasis pada akidah Islam yang bersumber dari wahyu Allah, Sang Pencipta Alam dan Kehidupan.

Paradigma kepemimpinan dan konsep bernegara Islam ini dikenal dengan sistem khilafah.

Sistem ini merupakan bagian dari syariat Islam dan diwariskan oleh baginda Nabi SAW. Lalu dipertahankan oleh umat setelah beliau hingga berakhir pada tahun 1924.

Sistem khilafah tegak di atas asas akidah Islam, yang meyakini bahwa kehidupan ini adalah ladang amal yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Oleh karenanya, posisi kepemimpinan dalam sistem khilafah sangat sentral dalam penerapan hukum-hukum Allah.

Artinya, seluruh kebijakan yang diambil oleh khalifah, tak ada yang menyelisihi hukum syara dengan keyakinan penuh bahwa penerapan hukum syara ini dipastikan akan membawa kemaslahatan bagi umat manusia secara keseluruhan. Bahkan membawa rahmat bagi seluruh alam.

Pemimpin atau khalifah dalam kepemimpinan Islam menempatkan dirinya sebagai rain (pengurus/penggembala) sekaligus junnah (pelindung) bagi umat. Khalifah akan sungguh-sungguh melaksanakan kedua fungsi tersebut karena beratnya pertanggungjawaban di sisi Allah SWT.

Jaminan pengurusan dan perlindungan tersebut ada sepaket dengan penerapan hukum-hukum Allah atas dasar iman. Karena hukum-hukum Allah ini memang turun sebagai problem solving bagi seluruh permasalahan hidup mulai dari problem yang berkaitan dengan politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan lain sebagainya.

Itulah mengapa, sepanjang khilafah tegak selama belasan abad, umat Islam hidup dalam standar kesejahteraan yang tak pernah dicapai oleh peradaban lainnya. Umat Islam mampu tampil sebagai umat terbaik, bahkan menjadi pionir peradaban.

Sistem politiknya sangat kuat, karena visi kepemimpinan berpikirnya pun sangat kuat. Islam sejak awal menetapkan bahwa umat Islam adalah umat terbaik dan umat pemimpin penebar rahmat.

Visi politik global inilah yang membuat kepemimpinan khilafah terbangun dengan sendirinya. Khilafah tampil sebagai negara kuat, mandiri dan bersifat global. Bebas dari intervensi asing dan bebas dari problem-problem yang sering muncul akibat sekat nasionalisme.

Begitu pun dengan sistem ekonominya. Khilafah menerapkan sistem ekonomi Islam yang anti riba, moneter basis emas perak dan menempatkan izin Allah sebagai basis penentu kepemilikan, serta basis dalam pengelolaan dan pengembangan harta.

Sehingga, saat Allah swt menetapkan bahwa sumber alam merupakan milik umat yang wajib dikelola oleh negara demi kemaslahatan umat, maka negara atau khalifah yang bersifat global ini akan menghimpun seluruh potensi yang dimiliki itu demi kemaslahatan umat. Sama sekali tak akan berani menyerahkan milik umat itu kepada siapa pun, apalagi kepada asing.

Dengan demikian, negara pun tak akan tergiur dengan jebakan utang riba. Negara justru punya ketahanan moneter, karena bertumpu pada kekayaan riil, berupa emas perak, bukan kertas.

Negara pun akan punya banyak modal untuk menyejahterakan rakyatnya. Hak dasar individu dan hak publik umat betul-betul ada dalam jaminan negara. Sehingga umat tak akan dibebani dengan beban hidup yang berat. Karena syariat memang telah menetapkan semuanya sebagai kewajiban seorang pemimpin.

Terlebih, dalam sistem baitul mal khilafah, akan banyak sumber-sumber pemasukan negara yang halal yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat baik untuk jaminan kebutuhan dasar, kebutuhan komunal/publik, dan cadangan untuk menghadapi situasi kritis. Seperti dari kharaj, fai, ghanimah, jizyah, usyur, dan lain-lain.

Bahkan saat kas kosong pun ada mekanisme adil yang ditetapkan syariat sehingga kezaliman terhadap rakyat bisa dihindari. Yakni dengan cara mendorong partisipasi kaum aghniya untuk berlomba menolong sesama. Atau jika diperlukan, negara akan menarik pajak namun hanya terbatas pada mereka. Dan nyatanya, kondisi ini betul-betul jarang terjadi.

Saat bencana menimpa, maka mitigasi kebencanaan pun menjadi bagian tugas kepemimpinan. Negara akan bersegera melakukan berbagai upaya untuk mengurangi risiko dan memastikan kebutuhan dasar serta keselamatan rakyat tetap terjaga. Semuanya, semata karena kesadaran bahwa mengurus rakyat adalah bagian dari amanah yang akan dipertanggungjawabkan.

Jika bencana itu berupa wabah seperti sekarang, maka negara akan menegakkan hukum syara yang terkait dengannya. Lockdown akan segera diberlakukan untuk mencegah risiko yang lebih besar. Dan keputusan negara ini akan diikuti oleh rakyat karena mereka paham, bahwa titah pemimpinnya adalah kebaikan.

Terlebih mereka pun paham, bahwa negara tak akan abai. Negara akan mengerahkan seluruh yang dibutuhkan, seperti fasilitas kesehatan, logistik, dan jaminan keamanan. Termasuk, mendorong para nakes untuk optimal berperan dengan memberi apresiasi tinggi berupa insentif gaji yang sepadan dengan pengorbanan. Sehingga tak perlu ada yang mereka risaukan.

Bahkan sebagai bentuk penjagaan, secepatnya negara akan mendorong berbagai riset untuk menciptakan teknologi, obat, atau apapun yang dibutuhkan umat sebagai bentuk khidmat negara pada mereka. Sehingga fungsi pengurus dan penjaga umat betul-betul akan tertunaikan secara maksimal.

Inilah bedanya kepemimpinan berparadigma sekuler dengan Islam. Yang satu mengabdi pada hawa nafsu para pemburu harta dan kekuasaan, sedang yang lain dibimbing wahyu dan keimanan.

Maka selayaknya umat Islam bersegera mengambil sesuatu yang akan membawanya pada kebaikan. Yakni dengan bersegera mewujudkan kembali kepemimpinan Islam dengan menapaki thariqah dakwah Rasulullah SAW.

Allah SWT berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan.” (QS. Al-Anfal: 24)

________

Sumber : MuslimahNews.com