-->

Dari Corona Kita Belajar...

Oleh : Ismawati (Aktivis Dakwah Muslimah)

Penamabda.com - Per 09 April 2020, penyebaran virus corona semakin memuncak karena telah mencapai angka 3.293 orang yang dinyatakan positif corona. Dan sebanyak 280 orang meninggal dunia, serta 252 orang dinyatakan sembuh. Dalam penanggulangan virus ini, pemerintah telah menghimbau kepada masyarakat untuk melakukan social distancing (pembatasan sosial) dan physical distancing (pembatasan fisik) , rajin mencuci tangan untuk memutus penyebaran virus ini.
Hanya saja, ini seolah tidak berjalan efektif karena masih banyak masyarakat tidak melakukan pembatasan diri karena harus bekerja mencari nafkah dan musim mudik seperti ini banyak masyarakat berbondong-bondong melakukan mudik kekampung halaman agar dapat bersua dengan keluarga.

Setidaknya, dari corona kita belajar. Bahwa munculnya virus ini tak lain karena ulah manusia yang senantiasa berbuat fasad (buruk) dan melanggar syariah-Nya. Allah SWT berfirman : “Telah nampak kekrusakan di darat dan dilaut disebabkan karena tangan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar)” TQS. Ar-Rum : 31. Corona dapat menjadi muhasabah bagi diri atas kemaksiatan dan dosa-dosa yang terjadi akibat melakukan pelanggaran terhadap syariat Allah. Karena sesungguhnya setiap dosa pasti akan menimbulkan kerusakan.

Corona juga membukakan mata kita. Bagaimana watak kepemimpinan di negeri ini. Karena cepatnya penyebaran virus covid-19 hendaknya pemerintah melakukan kebijakan lockdown. Mungkin akan berdampak pada ekonomi namun setidaknya dapat menyelamatkan jiwa warga negara. Namun, kepemimpinan kapitalis demokrasi, enggan melakukan lockdown lantaran ada kewajiban negara yang harus ditanggung pemerintah yakni menanggung logistik setiap warga negara sesuai amanat Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 dikatakan bahwa seluruh pangan dan bahkan makanan ternak harus dipenuhi oleh pemerintah.

Hingga akhirnya Presiden Joko Widodo menempuh langkah darurat sipil untuk menanggulangi wabah corona. Padahal berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Pemberlakuan darurat sipil dilakukan jika keadaan negara terancam , pemberontakan, kerusuhan, bencana alam, perang atau negara dalam bahaya. Ini tentu solusi absurd yang tidak sesuai untuk menanggulangi wabah corona, dan justru akan menghilangkan kewajiban pemerintah menanggung kebutuhan hidup semua orang selama massa karantina. Sebab, berdasarkan UU Karantina Kesehatan, semua kebutuhan masyarakat sepenuhnya ditangggung oleh pemerintah.

Dari corona pun kita sadar, dari awal pemerintah enggan mengurus rakyat. Mulai dari kelangkaan APD, Masker hingga hand sanitizer sebagai upaya pencegahan. Hingga ditengah pasien corona yang terus meningkat dan korban berjatuhan, pemerintah malah sibuk mengurus persiapan Ibu Kota baru dan melayani para investor. 

Berbeda dengan sistem Islam, ketika wabah pernah terjadi di masa Khalifah Umar bin Khathtab. Khalifah (pemimpin) mementingkan nyawa manusia dibandingkan ekonomi. Dengan menerapkan kebijakan lockdown untuk memutus penyebaran wabah.  

Rasulullah SAW bersabda : “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah ditempat kamu berada maka janganlah tinggalkan tempat itu” (HR. Bukhari)

Khalifah juga menjamin kebutuhan pangan masyarakat tanpa embel-embel atau pencitraan semata. Karena bertanggungjawab atas kebutuhan rakyat merupakan kewajiban pemimpin. Bahkan ada atau tidaknya wabah kebutuhan rakyat akan tetap terjamin. Bahkan menggratiskan kesehatan bagi rakyatnya. 

Keberhasilan era Khilafah mengatasi wabah karena pemimpin menerapkan sistem pemerintahan yang shahih yang berasal dari Allah SWT. Yakni Khilafah Islamiyyah. Karena keimanan dan ketaqwaan pemimpin tak menjadikan kekuasaan sebagai pemenuhan syahwat materialistik. Apalagi memikirkan proyek dan investasi. Kepemimpinan semata-mata amanah dari Allah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban atasnya di yaumil hisab nanti.

Wallahu a’lam bishowab.