-->

Bagi Sembako, Bikin Rakyat Melongo

Oleh : Rut Sri Wahyuningsih
(Penulis dan Ibu Rumah tangga) 

Penamabda.com - Dilansir dari Kompas.com, 11 April 2020 lalu, bahwa Presiden Joko Widodo turun langsung membagi-bagikan sembako kepada Masyarakat. Rupanya presiden  ingin menyampaikan pesan khusus dari tindakannya tersebut.

Juru Bicara Presiden bidang Sosial Angkie Yudistia menyebutkan, lewat aksi bagi-bagi sembako di pinggir jalan itu, Jokowi ingin menyampaikan pesan kebersamaan dan gotong royong di tengah pandemi Covid-19.

"Presiden Joko Widodo ingin meyakinkan kepada kita semua bahwa pandemi ini bisa kita lewati dengan semangat kebersamaan dan gotong royong antarkita," kata Angkie.

"Apa yang dibagikan oleh Presiden kepada warga adalah pesan untuk terus bersatu dalam menebar kebaikan di situasi tanggap darurat saat ini," sambungnya.

Angkie juga menyebut langkah Jokowi membagikan sembako adalah wujud kepedulian terhadap warga yang utamanya tinggal di daerah Jakarta.

Kebijakan inilah yang buat masyarakat mlongo (bingung), Sebab, DKI Jakarta sudah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Dan provinsi pertama yang telah mendapat persetujuan untuk menerapkan status PSBB adalah Provinsi DKI Jakarta.

Gubernur DKI Anies Baswedan telah menetapkan status PSBB bagi wilayahnya itu sejak Jumat pekan lalu setelah terbit surat keputusan dari Menteri Kesehatan (kompas.com,11/4/2020).

Tak habis pikir, apa yang ada dalam benak presiden? Mengapa dengan mudah melanggar kebijakan yang sudah ia setujui sendiri. Banyak pihak juga menyayangkan tindakan tersebut. 

Sekjen Partai Demokrat Hinca Pandjaitan menilai aksi Jokowi itu tidak pantas dilakukan seorang kepala negara. Bukan hanya melanggar Maklumat Kapolri yang telah dikeluarkan, Jokowi juga dianggap melanggar kebijakannya sendiri untuk menghindari adanya kerumunan (pojoksatu.id, 12/4/2020).

Dan mengapa hanya satu wilayah? Apakah rakyat Indonesia hanya ada di ibukota Jakarta? Bagaimana dengan wilayah-wilayah yang lain, yang mungkin lebih membutuhkan. Keadilan memang tak harus sama besar, namun juga tak boleh pilih kasih. Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya.

Sebagai kepala negara mestinya bijak dalam berpikir dan bertindak. Sebab, satu saja kebijakan yang ia putuskan,  dampak yang merasakan adalah seluruh rakyat yang dipimpinnya. Jika kebijakan itu baik maka sejahteralah keadaan rakyat. Sebaliknya jika batil, tentulah rakyat akan sengsara.

Maka, dalam Islam, seorang pemimpin adalah orang yang disyaratkan mampu menanggung beban. Bukan saja ia pandai dan cerdik. Namun ia faham fakta dan solusi akan sebuah persoalan. Seorang pemimpin harapannya adalah orang yang mampu menghilangkan perselisihan. Oleh karena itu harus berbekal dengan sumber hukum yang baku pula. 

Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa[4]: 59 yang artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan kepada para pemimpin di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan RasulNya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.” 

Sumber baku itu adalah Alquran dan As-Sunnah. Seorang yang dipundaknya diamanahi kepemimpinan akan senantiasa bersikap adil jika menggunakan keduanya. Sayang, hari ini belum terjadi. Dada para pemimpin dunia termasuk di negeri ini masih tertutup terhadap kewajiban menerapkan syariat Islam meskipun mereka mengaku sebagai muslim.

Padahal jelas sekali bagaimana penampakan hukum sekulerisme dalam pengaturan hidup bermasyarakat dan bernegara. Tidak manusiawi dan cenderung mementingkan kepentingan diri sendiri. Tak sedikit ucapan para pejabat yang seenak perutnya dalam menanggapi keinginan masyarakat untuk menangani pandemi ini. 

Dari yang semula abai, menyepelekan hingga mengeluarkan statemen murahan yang tak pantas diucapkan seorang pejabat negara, kini negara kelabakan. Semakin rakyat mendesak penanganan disegerakan maka negara semakin represif. Kebijakannya ngawur dan malah anti kritik. 

Di hari pengangkatan Umar Ibnu Khattab, beliau mengucapkan kalimat yang masyur dan menggetarkan. Yaitu beliau tak ingin orang diam jika melihat dia bersalah. Salah satu orang diantara rakyat Madinah yang berkumpul ketika itu maju sambil menghunus pedang. Ia berkata lantang kepada Umar," Wahai Amirul Mukminin ... Jika engkau melakukan satu kesalahan maka hunusan pedang ini yang akan membenarkan". 

Para sahabat berusaha menahan pria itu dan bertanya mengapa Umar tidak menghukum orang yang kurang ajar ini? Jawab Umar," Aku lebih senang memiliki sahabat seperti dia, daripada kalian. Sebab ia akan membenarkan jika Umar benar dan mengoreksi jika Umar salah".

Sungguh pelajaran yang luar biasa. Kita memiliki teladan yang tak bisa dibiarkan begitu saja tanpa kita anut. Teladan dari Rasulullah dan para sahabat yang dimuliakan Allah SWT. Hanya Islam yang mampu mengembalikan keadaan carut marut hari ini menjadi Rahmatan Lil Aalamin. Wallahu a' lam bish showab. [PM]