-->

'Santuy' Membasmi COVID-19 yang Membawa Petaka

Oleh: Karina Fitriani Fatimah

Coronavirus disease 2019, atau yang lebih dikenal dengan COVID-19, saat ini tengah menjadi berita terhangat yang tak henti-hentinya diperbincangkan baik di TV, media cetak, media daring ataupun media sosial. Penyakit yang pertama kali teridentifikasi 3 bulan lalu, yaitu pada Desember 2019 silam dengan memakan korban jiwa setidaknya 21.300 jiwa per 26 Maret 2020, anehnya di Indonesia baru terdengar gaungnya sejak 2 kasus pertama positif corona teridentifikasi pada tanggal 2 Maret 2020.

Sebelum ditemukannya kasus positif pemerintah Indonesia tampak begitu santai. Acapkali penguasa tidak mengindahkan himbauan negara-negara tetangga untuk menggencarkan tes kepada warga terutama turis-turis asing yang masuk ke Indonesia. Alih-alih membatasi jumlah turis asing masuk ke Indonesia, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan insentif diskon tiket pesawat hingga 50% untuk mendorong turis domestic dan asing berwisata di nusantara. Bahkan penerbangan langsung Indonesia – Wuhan masih dibuka hingga awal Februari 2020.

Di kala negara-negara maju mempersiapkan diri atau bahkan telah menghadapi masuknya virus corona ke wilayah mereka dengan menyolidkan sektor kesehatan dalam negeri, penguasa negeri ini justru menggelontorkan dana hingga Rp. 72M untuk membayar influencer guna menangkal dampak virus corona terhadap sektor pariwisata. Hasilnya Indonesia saat ini tertinggal jauh di belakang dan tampak sangat tidak siap menghadapi gempuran virus.

Di Indonesia per 24 Maret 2020 tes corona yang sudah dilakukan masih berkisar 3000 tes, dengan total 790 kasus dikonfirmasi positif mengidap COVID-19. Padahal Inggris misalnya, sudah melakukan tes sebanyak 7.132 per 22 Maret yang hanya menghasilkan 13 kasus positif. Sedangkan Korea Selatan bahkan sempat melaksanakan 10.000 hingga 20.000 tes dalam sehari. Negara tetangga Singapura pun telah melakukan setidaknya 38.000 tes bagi warganya dalam 2 bulan terakhir ini.

Studi yang dilakukan Pusat Pemodelan Matematika untuk penyakit menular yang berbasis di London pada Senin, 22 Maret merilis estimasi bahwa angka kasus COVID-19 di Indonesia yang dilaporkan hanyalah 2% dari angka sebenarnya di lapangan. Artinya, estimasi angka kasus COVID-19 per 22 Maret di Indonesia setidaknya berkisar di angka 34.300 kasus. Pertanyaanya, apakah Indonesia siap menghadapi kondisi terburuk jika benar angka tersebut mencerminkan angka sebenarnya?

Dengan keterbatasan jumlah tenaga kesehatan dan kurang memadainya fasilitas kesehatan yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia, sulit untuk mengklaim bahwa Indonesia benar-benar siap mengahadapi pandemi.

Hingga saat ini saja, Indonesia masih belum menutup pintu masuk bagi pendatang asing kecuali yang berasal dari beberapa negara tertentu saja, seperti Korea Selatan, Iran dan Italia. Padahal virus ini sudah rnenyebar luas di seluruh daratan Eropa, wilayah Amerika Utara, Australia hingga Afrika. Tidak ada negara di dunia yang benar-benar luput dari penyebaran virus. Alhasil penyebaran virus di Indonesia akan sulit dibendung jika pintu masuk bagi pendatang asing tidak ditutup rapat-rapat.

Tidak hanya itu, pemerintah pun bahkan masih belum menutup pintu keluar masuk antar kota di Indonesia, yang kemudian memungkinkan virus semakin menyebar ke seluruh pelosok daerah. Tanpa adanya upaya tegas dari penguasa untuk memutus rantai penyebaran virus, kenaikan angka kasus corona di Indonesia tidak akan bisa dielakkan.

Hal ini kemudian diperparah dengan sikap pemerintah yang menolak untuk melakukan Lockdown. Padahal sistem karantina (lockdown), adalah cara efektif untuk menahan penyebaran virus yang sesungguhnya pernah Rasulullah saw perintahkan di kala terjadi wabah penyakit menular semasa beliau hidup. Nabi bersabda, “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu” (HR. al-Bukhari).

Hadits ini menjelaskan larangan memasuki wilayah pandemi, agar tidak tertular. Begitu juga bagi yang sudah di dalam tidak boleh keluar, agar tidak menularkan kepada yang lain. Kecuali, keluar dari wilayah itu untuk berobat. 

Dari sini kita dapat melihat bahwa sesungguhnya peran pemimpin dan negara dalam urusan ini amatlah penting untuk bisa menyelamatkan nyawa ummat. Namun apalah daya, hingga saat ini pemerintah Indonesia masih belum banyak bergerak dan cenderung melemparkan tanggung jawabnya kepada pemerintah daerah. Di samping itu, pemerintah pun menumpukan beban dalam kewajibannya menyediakan sarana pengobatan untuk masyarakat kepada fasilitas-fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit, klinik dan puskesmas, tanpa disertai dukungan ataupun bantuan yang layak kepada mereka. 

Minimnya dukungan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan alat-alat kesehatan terutama ADP (Alat Pelindung Diri) bagi tenaga kesehatan misalnya, telah berhasil merenggut setidaknya 7 nyawa tenaga medis. Dan tercatat per 25 Maret 2020, terdapat setidaknya 44 tenaga medis DKI Jakarta terinfeksi COVID-19. Belum lagi keterbatasan jumlah tenaga medis yang tidak sebanding dengan lonjakan jumlah pasien, membuat para tenaga kesehatan harus bekerja siang dan malam tanpa henti dengan peralatan dan obat seadanya.

Hal ini yang kemudian memaksa banyak rumah sakit, klinik dan puskesmas untuk membuka jalur donasi mandiri agar tetap bisa bertahan di tengah-tengah pandemi. Bahkan tidak sedikit diantaranya yang terpaksa menggunakan plastik atau mantel hujan anti air sebagai alat pelindung diri darurat akibat langkanya ketersediaan APD di pasaran.

Di sisi lain, physical distancing atau jaga jarak secara fisik yang menjadi cara terampuh untuk menahan laju penyebaran virus pun tidak benar-benar diterapkan di tengah-tengah masyarakat. Pemerintah hingga saat ini hanya menghimbau masyarakat untuk melakukan isolasi mandiri di rumah masing-masing tanpa adanya jaminan untuk bisa mencukupi kebutuhan rakyat selama isolasi berlangsung.

Banyak pengusaha yang enggan menutup usahanya yang pada akhirnya memaksa para pekerja untuk tetap keluar rumah agar tidak kehilangan sumber penghasilan. Bahkan mayoritas masyarakat kalangan ekonomi menengah ke bawah adalah pekerja harian yang terancam tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarganya ketika mereka tidak bekerja untuk melaksanakan karantina.

Padahal jika saja pemerintah mau berkomitmen untuk memenuhi kebutuhan rakyat secara penuh selama karantina, niscaya pandemi akan berakhir. Di sinilah kita melihat bahwa sesungguhnya peran negara begitu besar dalam upaya penyelamatan nyawa ratusan juta jiwa rakyat Indonesia. 

Lalu apa yang setidaknya bisa kita lakukan saat ini, sebagai bagian dari masyarakat, untuk dapat membantu menahan penyebaran virus?

Pertama, realisasikan kampanye ‘Di Rumah Aja’ secara konsisten dan bertanggung jawab, yang sesungguhnya adalah upaya isolasi mandiri, dengan tetap berada di dalam rumah dan keluar rumah hanya dalam kondisi mendesak.

Kedua, senantiasa menjaga kebersihan lingkungan dan diri dalam setiap kesempatan. Disinfektanisasi telah terbukti mampu membunuh virus penyebab COVID-19 yang menempel di udara, pakaian, ataupun alat-alat rumah tangga. Selain itu, kampanye mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir secara efektif mampu mengantisipasi masuknya virus ke dalam tubuh. 

Ketiga, upayakan untuk terus meningkatkan imunitas tubuh dengan makan makanan halal dan bergizi.

Keempat, bagikan informasi kepada orang-orang terdekat kita tentang pentingnya pelaksanaan poin 1, 2 dan 3 sebanyak-banyaknya melalui sosial media, sambungan telephone ataupun pesan instan saat melaksanakan isolasi mandiri.

Kelima, bantu tenaga medis dengan memberikan donasi guna terpenuhinya kebutuhan alat-alat kesehatan di garda depan perjuangan melawan virus.

Terakhir, yang tentunya tidak boleh dilupakan oleh kaum muslimin adalah bermunajat kepada Allah Swt meminta disegerakan pertolongan Allah dalam menghadapi pandemi. Karena sesungguhnya wabah ini adalah makhluk Allah, tentara Allah, yang datang dengan izin Allah. Maka sikap yang benar bagi kaum muslimin adalah menguatkan keimanan kepada Allah Swt dengan berserah diri kepadaNya, memohon ampunanNya, dan bertaubat dengan taubat yang sebenar-benarnya serta terus berusaha mendekatkan hubungan dengan Allah Swt. Sebagaimana firman Allah, "Cukuplah Allah menjadi pelindung dan cukuplah Allah menjadi penolong (bagimu)." (An-Nisa 45)