-->

Lockdown VS Ekonomi Down



Oleh: Andi Annisa (Alumni Unismuh Makassar)

Per tanggal 25 Maret 2020, Pemerintah telah mengumumkan bahwasanya jumlah korban Covid 19 di seluruh Indonesia telah mencapai 790 orang dengan jumlah sembuh berjumlah 31 orang dan yang meninggal berjumlah 58 orang. Berdasarkan data yang dikutip dari situs Liputan6, jumlah pasien positif terjangkit Covid19 di Sulawesi Selatan melonjak tajam. Data terbaru pada pada hari Rabu, tercatat bahwa pasien positif virus corona ini bertambah 9 orang sehingga jumlah totalnya menjadi 13 orang (liputan6.com 25/03/2020).

Hal ini sontak menjadi kekhawatiran di tengah-tengah masyarakat. betapa tidak, pasalnya penyebaran virus Corona ini begitu masif. Dan parahnya lagi, kadangkala orang yang terjangkit virus ini bisa saja nampak sehat bugar dan tanpa sadar akan menjadi medium penyebaran virus tersebut. 

Menyikapi hal ini, Pemerintah bersikukuh tak akan melakukan lockdown. Padahal, lockdown dilakukan sejatinya untuk memutus rantai penyebaran covid 19. Masyarakat saat ini lebih disarankan untuk tetap tinggal di rumah dan bekerja di rumah saja.

Dilema. Inilah perasaan yang tengah dihadapi rakyat saat ini. Betapa tidak, arahan untuk tetap tinggal di rumah nampaknya tidak berbanding lurus kepedulian penguasa, sebab rakyat hanya boleh keluar rumah jika ada keperluan yang mendesak saja dan tetap melakukan tindakan social dinstancing. Bagi, orang yang perekonomiannya terkategori mampu, tentu hal ini belum terlalu berdampak. Namun, bagi yang perekonomiannya menengah ke bawah yang tiap harinya mereka harus bekerja mencari nafkah tentu akan sangat merugikan.

Himbauan untuk tetap tinggal di rumah tidak berbanding lurus dengan kepedulian pemerintah. Maka, mau tak mau, suka tak suka, rakyat terpaksa harus keluar bekerja mencari nafkah demi kelangsungan hidup. Sebab negara tak menjamin kebutuhan mereka. 

Anehnya, Anggota Komisi VI DPR RI ini mengatakan sangat penting untuk pemerintah memikirkan nasib masyarakat kecil bila lockdown dilakukan. Menurutnya, Rakyat miskin tidak ada Corona saja hidupnya di ujung Tanduk, apalagi jika Lockdown. Pertanyaannya adalah dapatkah dikatakan kebijakan ekonomi yang diterapkan penguasa saat ini pro terhadap rakyat kecil? Maka lihatlah bagaimana mahalnya harga BBM, sembako, tarif BPJS yang mahal dan berbunga, serbuan TKA, serta penerapan pajak yang semakin mencekik dan persoalan ekonomi lainnya. Tentu semua kebijakan ini dapat dikatakan menyulitkan perekonomian rakyat kecil.

Lockdown VS Ekonomi Down

Tak heran mengapa langkah lockdown bukan menjadi pilihan bagi penguasa, sebab jika dilaksanakan maka negara akan dengan sepenuhnya menanggung kebutuhan hidup masyarakat selama masa karantina. Tentu ini adalah pilihan sulit mengingat perekonomian di Indonesia tengah merosot. Belum selesai masalah BPJS defisit, hutang melilit, bertambah lagi masalah baru yakni anjloknya nilai tukar rupiah, dan masalah-masalah lainnya.

Namun hal yang mengherankan adalah untuk membiayai kebutuhan masyarakat demi proses lockdown negara seperti lesu. Tapi, untuk pemindahan Ibu kota, negara sampai menggelontorkan dana ratusan triliun rupiah. Bahkan, Sri Mulyani sampai menyarankan untuk menjual aset negara. Disini nampak seolah-olah pindah Ibukota jauh lebih penting daripada keselamatan rakyat. 

Bahkan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memastikan persiapan pemindahan ibu kota baru ke Kalimantan Timur terus berjalan di tengah sentimen pandemi virus corona. Hal itu diungkapkan oleh juru bicara Luhut, Jodi Mahardi. (tempo.co 25/03/2020)

Corona Mewabah, Khilafah Solusi

Nampak betul bahwasanya penerapan sistem kapitalisme hanya menjadikan rakyat dirundung masalah. Betapa tidak, dalam sistem kapitalisme, standar perbuatan diletakkan pada asas untung rugi. Maka demikian halnya pada penetapan kebijakan. Bila menguntungkan, jalankan; bila merugikan, tinggalkan. Untung rugi disini tentu berpihak kepentingan kaum kapitalis.

Berbeda halnya ketika khilafah tegak. Pada masa kepemimpinan Khalifah Umar Bin Khattab, pernah terjadi wabah tha’uun. Saat itu, Umar bin Khattab membatalkan niatnya masuk ke daerah Syam yang terserang wabah. Keputusan itu diambil setelah mengadakan dialog dengan para sahabat. Isolasi atau Lockdown dibelakukan pada masa itu, hal ini bertujuan untuk mengurangi potensi penularan wabah tha’uun. Seperti dalam Hadits Rasulullah yang berbunyi, “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Dan jika kalian berada di daerah itu janganlah kalian keluar untuk lari darinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Demikianlah tidakan preventif yang dilakukan oleh khalifah Umar Bin Khattab. Berbeda dengan pemimpin saat ini. Ketika negara ramai-ramai menutup akses masuknya WNA terutama yang berasal dari China, negara justru membuka pintu lebar bagi masuknya WNA. 

Negara seharusnya bersikap cepat dalam memutuskan rantai penyebaran Covid 19.  Sedihnya, makin hari makin bertambah saja jumlah orang yang positif Covid 19. Para tenaga medis banyak yang tumbang. Jika jumlah korban semakin betambah di tengah merosotnya perekonomian, mau tidak mau negara harus menggelontorkan banyak dana untuk menyuplai perlengkapan medis dan peralatan lainnya. Tidak lockdown, perekonomian kacau. Lockdown perekonomian merosot juga. Mbukankah sama saja bahwa perekonomian di Indonesia merosot? Oleh karena itu,  sebenarnya yang jauh lebih berharga adalah nyawa rakyat  itu sendiri. Rasulullah SAW bersabda:

“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Tirmidzi 1455, dan dishahihkan al-Albani).

Dengan Khilafah, Perekonomian Aman
Tak mengherankan jika saat ini perekonomian anjlok, sebab inilah wajah asli asli kapitalisme dimana keuntungan hanya berpihak kepada korporasi, SDA dieksploitasi, penimbunan marak dilakukan, Aset negara dijual, dan semacamnya.
Berbeda halnya dalam Islam. Tak ada celah bagi pihak asing maupun korporasi untuk mengeksploitasi kekayaan dan aset negara. Mata uang dalam instansi khilafah adalah dinar dan dirham yang notabene tidak akan bisa digoncang oleh inflasi. Pajak hanya menjadi pilihan terakhir yakni ketika kas baitul maal mengalami kekosongan. Tidak seperti saat ini,  sana sini pajak berlaku. 

Maka, dengan ini umat seharusnya sadar bahwa hanya dengan menerapkan Islam kaffah (menyeluruh), duka nestapa kaum muslim segera berakhir. Bukankah awal dari wabah ini adalah kebiasaan orang-orang Wuhan yang senang memakan kelelawar? Padahal, memakan kelelawar adalah hal yang diharamkan. Maka, adakah kebaikan yang akan didapatkan bila manusia angkuh dari perintah dan larangan Allah SWT? Tentu tidak ada. Maka dari sini, Umat seharusnya pula memperjuangkan tegaknya kembali syariah dan Khilafah.

Wallahu A’lam Bish Shawab