-->

Melibatkan Perempuan dalam Situasi Konflik Bersenjata, Siapa yang Untung?



Oleh: Pratma Julia Sunjandari

Konflik Afghanistan dianggap sebagai salah satu perang yang menguras energi sang adi kuasa. Afghanistan Papers: A secret history of the war –sebuah dokumen yang diperoleh The Washington Post– mengungkap kegagalan pemerintahan Bush dan Obama dalam perang Afghanistan.

Perang modern terlama, berlangsung 18 tahun, menyebabkan 2.400 tentara tewas dan menghabiskan lebih dari US$978 miliar (Rp13.700 triliun).[1] Karena itu Donald Trump ingin mengakhiri perang dalam kunjungan ke Afganistan November 2019, untuk membahas lebih lanjut perdamaian dengan Taliban.[2] Sekalipun kelanjutannya tidak pasti, karena AS kembali meluncurkan serangan udara setelah Taliban menyerang pos-pos pasukan Afghanistan di Provinsi Helmand (4/3/2020).[3]

Perang ataupun konflik bersenjata adalah keniscayaan akibat konstelasi politik yang terjadi disebabkan perbedaan posisi negara kuat terhadap negara lain, sekalipun terdapat perbedaan yang amat tegas antara perang di masa Khilafah Islam dengan perang yang diinisiasi negara kufur. Apalagi saat kapitalisme menguasai dunia.

Dunia kapitalis, dengan wataknya yang amat rakus, tidak mustahil turut menciptakan perang dan konflik antarkawasan. Negara adidaya juga turut memanfaatkan potensi konflik laten yang terjadi di negara tertentu untuk menciptakan instabilitas. Tujuannya hanya satu: mengeruk keuntungan materialistik sebesar-besarnya.

Agenda Global: Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan

Kerugian yang ditimbulkan perang rekayasa tersebut, jelas berlapis-lapis. Akibat perang dan konflik bersenjata, tentu menghancurkan sebuah bangsa, sekaligus memorakporandakan tatanan masyarakat.

Keluarga yang hidup dalam situasi tersebut tentu mengalami gangguan hebat. Namun para pegiat gender, menyederhanakan persoalan dengan menganggap seakan-akan perempuan dan anak perempuanlah yang paling rentan menghadapi konflik tersebut.

Mereka menjadikan agenda gender sebagai penumpang gelap strategi menyudahi konflik, yang biasanya diikuti dengan penawaran ‘bantuan’ melalui agenda pembangunan.

Agenda gender bersenyawa dengan proyek-proyek kapitalis lainnya. Kebohongan utama Barat adalah melibatkan perempuan dalam ‘agenda perdamaian berkelanjutan.’ Karena itu, perempuan dilibatkan untuk ‘mengedukasi’ perempuan ataupun stakeholder lainnya agar segera beradaptasi dengan situasi yang kondusif terhadap ‘pembangunan’.

Pembangunan yang dimaksud tentu saja berupa ‘penjajahan’ modern jenis baru. Memberi lahan yang lebih nyaman pada berbagai korporasi yang biasa beroperasi dalam suasana ‘normal’ sehingga yang mampu berbisnis di kawasan konflik itu tak hanya korporasi senjata dan energi semata.

Di Afghanistan, dalam rangka menyiapkan lokus yang kompatibel terhadap babak barunya, Indonesia dilibatkan dalam agenda woman, peace dan security (WPS). Dalam kunjungan selama 11 jam di Kabul setelah menghadiri penandatanganan kesepakatan untuk Perdamaian di Afghanistan (29/2/2020) di Doha, Qatar, Menlu Retno Marsudi melakukan 10 rangkaian pertemuan.

Seluruh rangkaian kegiatan itu untuk menyampaikan arti penting pemberdayaan perempuan dalam membangun sebuah negara. Menurutnya, “Empowering women means empowering the nation”. Menlu Retno juga meluncurkan Indonesia-Afghan Women’s Solidarity Network bersama dengan tokoh perempuan Indonesia untuk memastikan partisipasi perempuan dalam masa depan Afghanistan.[4]

Di akhir tahun lalu, Menteri Informasi dan Kebudayaan Afghanistan, Hasina Safi sangat mengharapkan dukungan Indonesia untuk mewujudkan perdamaian berkelanjutan dan kesetaraan gender. Harapan tersebut disampaikan dalam pembukaan gelaran “Dialogue of the Role of Women in Building and Sustaining Peace: Women as Agent of Peace and Prosperity”, di Jakarta (29/11/19).[5]

Kerja sama Indonesia dan Afghanistan jelas dalam menjalankan rencana global kesetaraan gender. Yakni melibatkan perempuan, dan bukan kebetulan jika pejabat utama kedua negeri muslim tersebut adalah perempuan.

Mereka sedang merealisasikan salah satu rancangan utama PBB yaitu UN Strategic Results Framework on Women, Peace and Security: 2011-2020, yang diluncurkan menandai peringatan 10 tahun resolusi Dewan Keamanan 1325 (2000) tentang WPS (women, peace and security).[6]

Betapa krusialnya masalah WPS ini, hingga DK PBB mengeluarkan 10 resolusi dan didukung sejumlah kerangka kerja yang diterjemahkan di tingkat lokal, nasional, dan regional. Sebagai implementasinya, UNWomen telah melancarkan “proyek” WPS di lebih dari 50 negara.[7]

Poin referensi utama proyek itu jelas kredo ‘suci’ gender, yakni hak asasi manusia serta rujukan utama mereka yakni Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW, 1979) dan Beijing Platform for Action (BPfA, 1995).

Mereka melibatkan perempuan dalam mediasi, negosiasi damai, dan pencegahan konflik seperti di Suriah, Myanmar, Sudan Selatan dan Mali. Mengerahkan penasihat gender di kantor utusan khusus di Jakarta, Syria, dan Burundi.

Alokasi 15 persen dana pemulihan pascakonflik diperuntukkan untuk meningkatkan kesetaraan gender. PBB akan mendorong peningkatan jumlah perempuan yang terlibat dalam pemerintahan pascakonflik. Untuk penjaga perdamaian, partisipasi perempuan diperlukan dalam pelaporan kejahatan berbasis gender.

UNWomen menjalankan pelatihan untuk perwira militer perempuan dan mengakhiri impunitas (kekebalan hukum) melalui pendekatan hukum di lembaga kepolisian dan peradilan. Tak ketinggalan, proyek WPS turut terlibat dalam proyek kontra-terorisme.[8]

Tujuan Kapitalistik dalam Agenda WPS
Sebenarnya, apa pun yang diaruskan dalam kerangka kesetaraan gender –termasuk 12 area kritis BPfA– hanya bertujuan untuk mengeksploitasi perempuan demi mencapai target kapitalistik, memperpanjang napas penjajahan korporatokrasi atas dunia. Atas nama menghentikan kemiskinan dan menjamin pertumbuhan ekonomi, perempuan dimobilisasi dalam dunia kerja atau kewirausahaan.

Sebelumnya disiapkan pendidikan dan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan dunia industri, seperti memperbanyak ‘the girls’ untuk menekuni science, technology, engineering and mathematics (STEM) sebagai imbas perkembangan RI 4.0.

Juga agar ketersediaan SDM perempuan ini tetap berkelanjutan, maka institusi global harus memastikan kesehatan perempuan dan ‘the girls’ termasuk mempromosikan kebebasan ‘mengatur’ hak reproduksinya.

Sadar bahwa nilai-nilai nonkapitalisme, terutama ajaran Islam, akan menghambat upaya kapitalisasi, maka ide dasar kesetaraan gender diaruskan untuk menentang berbagai fikrah dan syariat Islam. Mereka sebarkan klaim tentang diskriminasi, kekerasan, ketidaksetaraan relasi kekuasaan, ajaran penyebab konflik bahkan perang, hingga tidak membiarkan anak perempuan mereguk kebebasan.

Demikian pula dalam isu perempuan dan konflik bersenjata. Di antara agenda yang saling tumpang tindih satu sama lain, mereka libatkan isu kekerasan, termasuk kekerasan seksual yang menimpa perempuan di zona konflik dan perang.

Karena itu semua program yang mereka rencanakan dalam agenda WPS, turut melibatkan perempuan sebagai ‘agen pemasaran agenda global’ alias menyebarluaskan ide Barat seperti inklusivitas dan pluralisme yang menjadi derivat sekularisme, sebagai amunisi utama untuk menyerang Islam.

Sebagai realisasinya, mereka didorong untuk mengambil posisi sebagai pengambil keputusan, yang tak mustahil jika menjadi pemimpin, pasti bakal mempromosikan ide-ide kapitalistik. Apalagi area ke-5, Perempuan dan Konflik Bersenjata itu juga tak bisa dilepaskan keterkaitannya dengan jualan hegemoni Barat seperti Global War on Terrorism (GWoT), perubahan iklim dan pandemi kesehatan global.[9]

Yang jelas paling dominan, agenda ekonomi kapitalistik tak mungkin dipisahkan dari isu perempuan dan konflik bersenjata. Apalagi secara khusus OECD-DAC (Organisation for Economic Co-operation and Development’s Development Assistance Committee) memberikan penilaian jika 15 tahun setelah adopsi resolusi 1325, hanya 2 persen dari bantuan untuk perdamaian dan keamanan pada tahun 2014 yang menargetkan kesetaraan gender sebagai tujuan utama.[10]

OECD sendiri adalah organisasi kapitalistik yang ‘menjarah’ dunia melalui ekonomi pasar bebas, yang awalnya dijalankan untuk rekonstruksi Eropa setelah Perang Dunia II tahun 1948 melalui Marshall Plan. Sebagaimana lembaga global lainnya, isu gender gap akan menjadi perhatian OECD karena organisasi ini berkepentingan untuk memobilisasi [baca: eksploitasi] perempuan.

Apalagi PBB sangat berambisi untuk mengejar target Sustainable Development Goals (SDGs) 2030[11], yang pada hakikatnya menggenjot setiap orang untuk memberikan potensinya bagi kepentingan pertumbuhan pasar bebas.

Karena itu, untuk mengukur keterlibatan setiap negara, PBB meluncurkan indeks The Global Women, Peace, and Security (WPS) untuk mengukur keterlibatan tiap negara dalam agenda itu. Sebagai negara pengekor, Indonesia juga terus mendorong penerapan Resolusi PBB Nomor 1325 mengupayakan perdamaian.[12]

Sebagaimana agenda kapitalistik yang dikendalikan oleh lembaga global, keberadaan multinational corporation selalu akan mengambil kesempatan besar dalam upaya pemulihan negara yang berkonflik.

Kita bisa berkaca pada berbagai peristiwa pascaperang dan konflik yang telah terjadi di dunia. Usai Perang Dunia I, negara-negara adidaya waktu itu saling berkompetisi berebut harta rampasan perang. Bahkan pembentukan badan internasional –yang kelak disebut PBB– dibuat untuk menjamin kelestarian dominasi mereka atas dunia.

Dan Amerika Serikat, sebagai salah satu pemenang PD II, sengaja memanfaatkan kehancuran Eropa dengan menggelontorkan utang dan ‘bantuan’ melalui program Marshall Plan untuk menyerang saingannya, negara-negara penjajah masa lampau. Hingga ketika AS mantap dengan posisinya, sedikit demi sedikit mengambil seluruh jajahan mereka.

Beberapa perusahaan AS terbesar, usai PD II mulai merencanakan proyek pascaperang. Di antaranya General Motors, yang meramalkan tahun 1943 hubungan antara kekuatan Barat dan Uni Soviet akan memburuk. Begitu konflik berakhir, GM akan membangun fasilitas apa pun yang diperlukan untuk meningkatkan pangsa pasarnya[13].

Dan yang paling untung, adalah multinasional energi. Usai perang, mereka menanam investasi dalam penambangan besi, uranium, dan mineral lainnya yang langka selama perang di Kanada dan Amerika Latin.

Setelah Perang Dunia II, antara 1946 dan 1954, nilai investasi industri minyak tumbuh dari $ 1,4 miliar menjadi $ 5,27 miliar. Exxon, British Petroleum, Shell, dan Mobil berhasil mengendalikan beberapa sumber minyak bumi penting di Timur Tengah.[14]

Selanjutnya, saat ini, di era stakeholder capitalism, jelas korporasi global yang bercokol di negara maju itulah yang tetap mengendalikan arus perpindahan dana, jasa, komoditas, dan manfaat ekonomi lainnya di seluruh dunia.

Mereka memanfaatkan partisipasi perempuan dalam melaksanakan agenda global, yang pasti jelas menguntungkan perputaran modal yang beredar di antara ‘pengendali dunia.’ Tak ada sedikit pun untung bagi perempuan, keluarga, ataupun bangsa mereka bukan? Kecuali hanya memperpanjang napas penjajahan dalam bentuk yang berbeda. Dan tak jarang pula bakal makin menimbulkan masalah bagi perempuan dan keluarganya sebagaimana yang terjadi negara maju.

Perang dalam Islam Tak Menimbulkan Masalah Baru

Sungguh berbeda dengan Islam. Perang atau qital adalah keniscayaan. Namun terjadinya perang atau konflik dalam Islam amat berbeda dengan realitas hari ini. Perang hanya boleh terjadi hanya untuk memerangi kekufuran, sebagaimana firman Allah dalam surah At-Taubah ayat 29, bukan karena kepentingan untuk menjajah sebuah wilayah.

Membiarkan konflik atau bahkan merekayasanya di wilayah tertentu, tidak diperbolehkan dalam Islam. Karena maqoshid syar’iyah itu justru melindungi agama, akal, jiwa, kehormatan, ataupun harta setiap manusia.

Bahkan jika jihad itu dilakukan, tidak pernah memunculkan masalah sebagaimana yang saat ini terjadi, seperti ancaman kehormatan bagi perempuan dan anak perempuan. Jangankan mengusik manusia, menghancurkan tempat ibadah kaum kufur pun tak boleh (HR Muslim 1731, Abu Dawud 2613, at-Tirmidzi 1408, dan al-Baihaqi 17935), apalagi merusak lingkungan.

Seperti juga perintah Khalifah pertama, Abu Bakar ash-Shiddiq kepada pasukan yang berangkat menuju Syam, “Jangan sekali-kali menebang pohon kurma, jangan pula membakarnya, jangan membunuh hewan-hewan ternak, jangan tebang pohon yang berbuah, janganlah kalian merobohkan bangunan,…”[15]

Bahkan para mujahid dalam suasana perang kerap menerapkan perintah Allah dalam surat Al-Insaan ayat 8 untuk memberikan makanan yang disukainya kepada tawanan perang.

Sungguh tak perlu ada rekonsiliasi seperti mengadvokasi korban kekerasan seksual akibat perang yang dilancarkan bangsa kufur, sebagaimana realitas jugun ianfu[16] atau perdagangan perempuan. Atau memprovokasi perempuan untuk diberikan hak ekonomi, sosial dan politik yang ‘hilang’ selama konflik terjadi.

Maka penyelesaian konflik dalam masa Khilafah Islam, akan berlangsung sederhana. Memberi pilihan pada mereka, untuk mau menjalankan syariat Islam sebagai warga negara atau tidak. Jika mereka mau tunduk, bahkan akan diberikan jaminan pemenuhan seluruh hak-haknya sebagaimana warga negara yang lama.

Penyelesaian konflik di masa Islam, tidak perlu merekayasa segala agenda gender yang pada ujungnya hanya akan menguntungkan penjajah dan menjerumuskan perempuan dan keluarganya dalam nestapa masyarakat modern kapitalis.

Semua itu terjadi karena konsep Islam lahir dari Zat Pemilik Kehidupan, Allah SWT yang diimplementasikan dalam system pemerintahan terbaik, Khilafah Islamiyah. Dengan jaminan itulah, penyelesaian perang dan konflik pun pasti tetap memuliakan manusia, termasuk perempuan dan keluarganya.

____
Sumber : MuslimahNews.com