-->

Kapitalisme ; Penyakit Akut Di Tengah Pandemi

Oleh : Ummu Farras (Aktivis Muslimah)

Wabah Covid-19 terus mengganas hingga saat ini. Korban pun terus bertambah. data teranyar menunjukkan hingga Jumat (20/3/2020), pemerintah memastikan ada 369 kasus positif Covid-19 di Indonesia. Hal ini diungkapkan juru bicara pemerintah untuk penanganan virus corona, Achmad Yurianto dalam konferensi pers di Gedung BNPB, Jum’at sore. (kompas.com).

Di tengah kegelisahan rakyat atas merebaknya pandemi ini, pemerintah seakan tak serius untuk menangkal penyebaran wabah. Faktanya, warga negara Cina yang notabene merupakan sumber utama penyebaran Covid-19, masih diperbolehkan melenggang bebas memasuki negeri. Hal ini terbukti dari adanya 49 orang TKA Cina yang masuk ke Kendari, Sultra, pada ahad malam, tanpa karantina. Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Ham Provinsi Sulawesi Tenggara, Sofyan membenarkan soal 49 TKA Cina yang masuk ke wilayahnya tanpa melalui proses karantina di Indonesia. Padahal idealnya, mereka harus menjalani karantina sesuai dengan Peraturan Menkumham Nomor 7 Tahun 2020 tentang pembatasan. (tempo.co)

Kapitalisme Penyakit Akut Di Tengah Pandemi

Sungguh ironis, pemerintah yang seharusnya betul-betul memproteksi seluruh rakyat Indonesia dari petaka wabah, malah mengijinkan bahkan melindungi di garda terdepan atas TKA Cina yang masuk ke NKRI. Adapun yang membela TKA Cina secara terang terangan adalah Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Ia menegaskan 49 TKA Cina yang berada di Kendari, Sulawesi Tenggara merupakan warga negara asing yang legal, tidak ada pelanggaran prosedur, dan Luhut meminta publik tak membesar-besarkan soal kedatangan 49 TKA Cina ke NKRI.

Bau busuk rezim Kapitalis menguar di tengah pandemi. Tak dapat dipungkiri rezim saat ini tak bisa lepas dari jerat asing dan aseng. Bahkan di tengah kegentingan rakyat menghadapi wabah, pemerintah masih mementingkan investasi dan masalah untung-rugi.

Dari sini patut diduga bahwa rezim lebih berpihak pada asing daripada rakyat sendiri. Lalu, untuk apa pemerintah menggembar-gemborkan Sosial Distancing sebagai solusi? Sementara pintu untuk WNA masih dibuka lebar. Tak ada artinya.

Kebijakan lockdown pun tak jua disetujui Istana. Pemerintah tak siap menanggung segala konsekuensi. Sedangkan lockdown mengharuskan negara berkomitmen untuk menutup rapat pintu bagi WNA. Selain itu, mengharuskan juga negara untuk berkomitmen memenuhi segala kebutuhan rakyatnya selama pandemi.

Disini rakyat makin dilema dan gelisah hadapi wabah. Bagaikan tersesat dan tak punya kompas. Rakyat semakin sadar, butuh dipimpin oleh sosok negarawan yang tegas dan mumpuni. Kalau seperti ini, rakyat wajar jalan sendiri-sendiri. Sambil terus melangitkan do'a kepada Sang Pencipta, apapun dilakukan sebagai langkah ikhtiar agar wabah tak semakin jauh mengancam jiwa. Salah satunya menolak kedatangan WNA ke dalam negeri.

Tapi sayangnya di negeri kapitalis ini, keinginan penguasa dan rakyat tak seiring sejalan. Dengan rakyat sendiri berhadap hadapan, sebaliknya dengan asing malah siap bela pasang badan.

Islam Solusi Atasi Pandemi

Pemimpin di sistem kapitalis amat jauh berbeda dengan para pemimpin di sistem Islam (Khalifah). Keberadaannya sebagai pengurus dan pelindung rakyat. Pun ketika terjadi pandemi. Jika kita cerdas menilik sejarah, akan kita dapati bahwa dalam sistem Islam, setiap langkah dan kebijakan yang diambil, selalu seiring sejalan dengan keinginan rakyat. Harmonisasi dan sinergi pun terjalin dalam setiap kondisi. Pun saat terjadi pandemi.

Saat terjadi wabah di era Khilafah, Umar bin Khaththab meminta masukan dari Amru bin Ash, hingga mengambil solusi untuk memisahkan interaksi. Maka, tak lama kemudian wabah itu selesai. Dalam kasus di Amwash, Umar mendirikan pusat pengobatan di luar wilayah itu. Membawa mereka yang terinfeksi virus itu berobat di sana. Dari sini terlihat strategi jitu hadapi wabah dari seorang pemimpin.

Antara negara dan rakyat, sama-sama saling mendukung untuk hadapi pandemi. Namun, hal ini hanya akan terwujud jika didukung oleh kepemimpinan yang betul betul mengurusi rakyat dan mengutamakan kemaslahatan bagi seluruh rakyatnya seperti yang terjadi ketika Syariat Islam diterapkan dalam naungan Khilafah. Tidak dalam sistem kapitalisme yang jelas tak ada keberpihakannya terhadap rakyat. Disini akan terjadi negara dan rakyat yang tak harmonis dan sinergis. Layaknya di Indonesia. Rezim menggelar karpet merah bagi asing dan aseng, sedangkan bagi rakyat, jangankan karpet, tikarpun tak ada.

Lihatlah saat kondisi wabah saat ini, adakah pemerintah meringankan rakyat walaupun sedikit? Semisal membagikan masker dan keperluan lainnya sebagai tindakan preventif atasi wabah? Atau, adakah dana negara digelontorkan untuk membantu para tenaga medis? Nihil. Padahal anggaran 'jalan-jalan' ke luar negeri puluhan triliun. Belum lagi dana ratusan triliun yang disiapkan untuk pembangunan ibu kota baru. Apa kabar?

Inilah boroknya sistem kapitalis. Menakar segala hal dari untung rugi. Jika menyangkut hajat hidup para kapital pemilik modal, amat diutamakan. Sebaliknya, jika menyangkut hajat hidup rakyat, amat diperhitungkan. Tak pelak, rakyat sudah jengah dengan pemerintah. Umat merindukan negara yang mengurus urusan mereka. Memberikan apa yang menjadi haknya. Sandang, papan, pangan, pendidikan, keamanan dan kesehatan dengan sempurna.

Maka, sudah saatnya kita campakkan sistem kapitalis dari akarnya. Mengganti dengan sistem Islam dalam naungan Khilafah, agar Negara dan umat dapat senantiasa bergandengan tangan, menyongsong kembali kedigdayaan Islam.

Wallahu'alam bisshowwab