-->

ISLAM MENGENTASKAN KEMISKINAN PEREMPUAN, KELUARGA DAN BANGSA

Oleh : Zahida Arrosyida (Revowriter Kota Malang)

Salah satu isu yang hangat dibicarakan saat ini adalah perlindungan terhadap perempuan dari kemiskinan.
Pembukaan dokumen CEDAW (Convention on the Elimination of Discrimination Against Women)- yang sering dianggap Bill of right-nya segala permufakatan internasional ide-ide gender, menyebutkan bahwa akar masalah diskriminasi gender adalah kemiskinan perempuan. Data Susenas tahun 2019 terdapat 16,2% Pekka (perempuan kepala keluarga). Menurut Sri Mulyani, perempuan menerima gaji 23% lebih rendah dari laki-laki.

Sri mengatakan di Indonesia masih ada anggapan bahwa pekerjaan terutama di sektor formal itu sebagai pekerjaan yang harusnya dilakukan oleh lelaki dan tidak cocok untuk perempuan. Persepsi ini yang menurutnya perlu diubah sehingga ada kesetaraan antara wanita dan pria dalam pekerjaan.

Menurut Sri lagi hambatan lain yang merupakan penghalang dalam hal ini adalah persepsi. Mengapa seseorang bekerja untuk area ini, area itu. Ini adalah salah satu persepsi yang menciptakan penghalang yang tidak perlu bagi banyak perempuan di Indonesia untuk berpartisipasi dalam pasar kerja. (www.cncbindonesia.com 24/04/2019)

Beberapa kalangan terutama pemimpin dunia abad 21 mengaitkan kemiskinan ini dengan aktivasi perempuan. Antara lain Hillary Clinton yang mengatakan bahwa membiarkan perempuan tidak bekerja sama halnya seperti membiarkan uang tergeletak begitu saja di atas meja. Sehingga bagaimana upaya menghentikan kemiskinan ini dilakukan UN Women dalam formula sebagai berikut:
Memastikan semua laki-laki dan perempuan, terutama yang miskin, memiliki hak yang sama terhadap sumber daya ekonomi. Menyusun kerangka kerja kebijakan skala internasional, nasional, dan reguional yang berbasis mendukung kelompok miskin dan mengembangkan strategi yang sensitif gender. Untuk mendukung akselerasi investasi pada aksi pengurangan kemiskinan.

Benarkah logika yang di gadang-gadang itu? Jika perempuan berkiprah aktif dalam sektor ekonomi, apakah akan mengentaskan kemiskinan yang terjadi di negeri-negeri muslim termasuk Indonesia?

Dalam data yang dirilis oleh Badan Ekonomi Kreatif Indonesia, tercatat dari tahun 2011-2016 tenaga kerja pada bidang ekonomi kreatif di Indonesia didominasi oleh perempuan. Meningkat dari tahun 2011 sebesar 52,3% menjadi 55,7% di tahun 2016. Sementara angka kerja laki-laki menurun dari 47,6% di tahun 2011 menjadi 44,3% di tahun 2016.
Namun ironisnya angka kemiskinan di Indonesia makin meluas. Terlihat dari masih banyaknya jumlah penerima dana berbagai bantuan untuk kalangan miskin. Antara lain penerima anggaran Program Keluarga Harapan (nama lain untuk keluarga miskin) sejumlah 10 juta keluarga di tahun 2018, penerima Bantuan Pangan Non Tunai sejumlah 2,36 juta keluarga di tahun 2018.

Meski World Bank menyatakan bahwa lebih dari 20 juta orang di Indonesia telah keluar dari garis kemiskinan, tapi World Bank juga menyatakan mereka rentan kembali miskin.

Ini menunjukkan bahwa pemberdayaan ekonomi perempuan hanyalah logika absurd penyelesaian masalah kemiskinan perempuan. Jika ditelisik  program-program pemberdayaan perempuan seperti pendidikan, pengentasan kemiskinan, lingkungan hidup, dan kesetaraan gender membutuhkan biaya yang sangat besar. Bahkan beberapa kalangan menengarai bahwa pemerintah ketika menjalankan program-program ini ternyata dengan mengandalkan hutang, bukan dengan kas negara yang ada. Dengan demikian program yang berjalan di atas hutang Ini justru memperpanjang nilai hutang yang harus dibayarkan Indonesia.

Ketika program PEP menyelesaikan problem kemiskinan, ironisnya di sisi lain merebak dampak sosial yang diakibatkan oleh pelaksanaan program ini, diantaranya : 

1) Peran perempuan dalam keluarga yakni sebagai ummu wa rabbatul bait akan terabaikan. Barangkali yang dirasakan sebagai dampak positif PEP adalah para ibu kini memiliki uang, anak-anak akan mendapatkan uang jajan. Namun Apakah ini adalah target dari peran keibuan? Kenyataannya para ibu akan banyak kehilangan waktunya untuk mengerjakan kegiatan kegiatan produksi. Peran keibuan bukanlah peran yang bisa dikerjakan pada waktu luang saja. Pengasuhan dan perhatian ibu tidak akan tergantikan oleh yang lain. Ibu tidak bisa digantikan oleh mainan atau uang jajan. Dengan pemberdayaan ekonomi perempuan, secara pasti akan berdampak pada penurunan kualitas peran ibu di setiap rumah tangga.

2) Ketaatan istri kepada suami akan berkurang. Khususnya bila penghasilan suami lebih rendah daripada penghasilan istri. Ini adalah hal yang cenderung umum terjadi. Apabila istri telah terpengaruh oleh pemahaman bahwa hukum ketaatan istri kepada suami bertentangan dengan konsep kesetaraan gender. Ketaatan akan dipandang sebagai bentuk subordinat perempuan di hadapan laki-laki. Dengan memiliki pendapatan sendiri maka tidak ada alasan bagi istri untuk takut dan rendah diri dihadapan suaminya. Apalagi kalau istri lebih berdaya secara ekonomi dibandingkan suami. Istri tidak lagi memerlukan suami tidak menafkahi dirinya.

3) Pengangguran para suami tetap tidak terselesaikan. Hal ini karena pemberdayaan ekonomi lebih memilih kalangan perempuan, bahwa mereka lebih teliti, tekun, sabar dan bertanggung jawab. Pengangguran kaum laki-laki ini akan memunculkan stress sosial yang mengakibatkan lingkungan. Perempuan banyak bekerja, sementara laki-laki banyak menganggur.

4) Memicu keretakan dalam rumah tangga. Bila PEP berjalan baik, di sisi lain sosialisasi terhadap konsep kesetaraan gender berjalan lancar, maka perempuan akan menjadi sosok sosok yang mandiri. Peran keibuan bukan lagi kewajiban. Perempuan bisa bertukar peran dengan suami dalam urusan domestik- publik. Anak-anak akan kehilangan peran ibu, para suami kehilangan peran istri. Istri tidak suka menuntut cerai suami dipandang tidak sesuai dengan keinginannya lagi, sementara para suami menjadi sosok yang kehilangan identitas sebagai pelindung, dan pemimpin keluarganya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka  perceraian di Indonesia dari 2015 hingga 2019 mengalami peningkatan. Pada tahun 2015 terdapat 353.843 kasus perceraian, 2016 ada 365,654 kasus, 2017 ada 374,516 kasus, 2018 ada 419,268 kasus dan 2019 ada 479,618 kasus.

Direktur Pembinaan Tenaga Teknis Peradilan Agama Mahkamah Agung Candra Boy Seroza mengatakan penyebab tingginya angka perceraian di Indonesia adalah masalah ekonomi.
(netz.id 13/2/2020)

Inilah dampak sosial yang merebak dari berlangsungnya program pemberdayaan ekonomi perempuan. Bila ditelusuri data-data tentang keberhasilan proyek PEP, maka akan tampak bahwa program-program PEP berkorelasi positif dengan tingginya perceraian. Dalam perspektif kesetaraan gender, perceraian tidak lagi dipandang sebagai persoalan. Namun cerai menjadi pilihan kemandirian seorang perempuan.

Memberdayakan ekonomi perempuan saja jelas bukan solusi tepat untuk menghilangkan kemiskinan. Bahkan justru membuka peluang kebebasan massif bagi perempuan. Bekerja untuk memenuhi nafkah adalah kewajiban para suami sebagai penerapan QS Ath Tholaq 7: dan Al Baqarah: 233. Sekalipun penghasilan istri mampu mencukupi bahkan melebihi kebutuhan keluarga mereka tak bisa bertukar peran. Kewajiban bekerja bagi suami adalah sebagai pengejawantahan fungsi mereka sebagai qowwam sehingga kendali rumah tangga utuh dalam kepemimpinannya.

Semangat yang tersurat dalam pemberdayaan ekonomi perempuan adalah upaya mengeluarkan perempuan dari habitat naturalnya yang utama sebagai ibu dan manajer rumah tangga. Penyediaan child care (penitipan anak) dan ruang laktasi untuk memerah ASI di gedung perkantoran bukan karena pihak kantor sayang anak- sayang ibu. Para pengusaha ( baca: kapitalis) tidak ingin merugi bila ibu pekerja cuti terlalu lama.  Atau berkurang produktivitasnya karena merasa bersalah tidak mampu memberi ASI eksklusif. Feminis  sejati juga tak mau bila diposisikan berbeda, tak hanya dalam remunerasi tapi juga beban kerja. Melalui CEDAW dan BPFA, maka PBB mendesak pemerintah agar membuat peraturan yang tidak mendiskriminasikan beban kerja perempuan. Perempuan berhak mendapatkan kriteria penilaian yang sama, pelatihan dan promosi termasuk penugasan ke luar kota/negeri atau juga lembur. Lalu apa yang terjadi pada anak-anak Di rumah Jika bapak-ibunya sama-sama keluar kota? Bagaimana pula kondisi suami yang acapkali ditinggal istri lembur atau bepergian demi tugas kantor? Apakah dengan keberadaan day care, TPA dan sekolah sudah mampu menggantikan peran ibu?

Islam memiliki tata cara pengelolaan ekonomi negara yang sangat tinggi dan mulia. Karena sistem ini berlandaskan pada aturan-aturan Sang Pencipta manusia, sumber daya alam dan kehidupan. Jaminan pemenuhan kebutuhan kebutuhan primer dalam Islam merupakan perkara fundamental dalam politik perekonomian Islam. Bagaimana merealisasikannya adalah perkara selanjutnya, yaitu bagaimana agar tiap-tiap individu memenuhi kebutuhan primernya dan negara membantu memfasilitasi terpenuhinya kebutuhan sekunder dan tersier sesuai kadar kemampuannya. 

Islam telah menetapkan Kebutuhan primer manusia terdiri dari pangan, sandang dan papan. Terpenuhi- tidaknya ketiga  kebutuhan akan menjadi penentu miskin-tidaknya seseorang. Kebutuhan primer yaitu pemenuhannya atas setiap individu tidak dapat ditawar-tawar lagi oleh karena itu Islam memberikan jaminan atas pemenuhan kebutuhan ini. Jaminan pemenuhan kebutuhan primer dalam Islam diwujudkan dalam bentuk pengaturan mekanisme-mekanisme yang dapat menyelesaikan masalah kemiskinan seperti: 

1) Mewajibkan laki-laki memberi nafkah kepada diri dan keluarganya (QS al-Mulk: 15 dan QS al-Baqarah: 233).

2) Mewajibkan kerabat dekat untuk membantu saudaranya.
Rasulullah bersabda : 
"Tangan di atas (memberi) itu lebih baik dari tangan di bawah (meminta), mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu, dan sebaik-baik sedekah adalah dari selebihnya keperluan"
(HR Nasa'i, Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah).

3) Mewajibkan negara untuk membantu rakyat miskin. Bagaimana jika seseorang yang tidak mampu tersebut tidak memiliki kerabat? Atau dia memiliki kerabat akan tetapi hidupnya pas-pasan? Dalam semacam ini kewajiban memberi nafkah beralih ke Baitul Mal (kas negara). Dengan kata lain negara melalui Baitul Mal berkewajiban untuk memenuhi kebutuhannya Rasulullah bersabda: 
"Siapa saja yang meninggalkan harta maka harta itu untuk ahli warisnya dan siapa saja meninggalkan kalla maka dia menjadi kewajiban kami" 
(HR Imam Muslim).

Yang dimaksud kalla adalah orang yang lemah, tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai orang tua.

4) Mewajibkan kaum muslimin untuk membantu rakyat miskin. Apabila didalam Baitul mall  tidak ada harta sama sekali maka kewajiban menafkahi orang miskin beralih ke kaum muslim secara kolektif. Allah Swt berfirman: 
"Di dalam harta mereka terdapat hak bagi orang miskin yang meminta-minta yang tidak mendapatkan bagian" 
(QS: adz-Dzariyat: 19).

Secara  teknis hal ini dilakukan dengan dua cara. Pertama, kaum muslim secara individu membantu orang-orang yang miskin. Kedua, negara mewajibkan dharibah (pajak) kepada orang-orang kaya, tidak mencukupi kebutuhan untuk membantu orang miskin. Jika dalam jangka waktu tertentu pajak tersebut tidak diperlukan lagi, maka pemungutannya oleh negara harus dihentikan.

Dengan mekanisme tersebut tidak akan ada lagi perempuan, sebagaimana juga laki-laki yang harus menanggung kemiskinannya sendiri dengan bekerja keras hingga menggerus fitrahnya sebagai hamba yang harus beribadah kepada Allah dan melaksanakan hukum-hukum Allah dalam aspek kehidupan yang lain.

Sesungguhnya kapitalisme telah mengemas model imperialisme modern terhadap negara-negara berkembang. Hal ini dimaksudkan agar negara-negara ini tetap menerima model pengaturan negaranya sesuai keinginan para kapitalis. Keseimbangan dan kebobrokan pengaturan ala kapitalisme ini ditutupi dengan perencanaan- perencanaan pembangunan yang secara langsung dikendalikan oleh AS melalui PBB, Bank Dunia, IMF, UNDP dan lain-lain.

Selayaknya umat Islam kembali kepada aturan yang ditetapkan oleh Allah Swt Sang Pencipta-kehidupan. Pengentasan kemiskinan dalam Islam bersifat memanusiawikan manusia dan membawa keberkahan bagi kehidupan (rahmatan lil alamiin). Kesempurnaan pengaturan sistem perekonomian dalam Islam ini tidak membawa kemudharatan yang mengganggu keseimbangan dan keharmonisan kehidupan.

Islam membolehkan perempuan untuk terlibat dalam perekonomian. Kebolehan ini adalah pilihan bagi perempuan yang memiliki kapasitas, potensi dan peluang dalam bidang yang telah digelutinya. Kiprah perempuan dalam bidang-bidang yang dibolehkan Islam seperti pendidikan, pertanian, industri, perdagangan, kedokteran dan lain-lain tidaklah menyebabkan peran-peran publik perempuan ini menjadi fokus strategi negara dalam meningkatkan pendapatan. Keterlibatan perempuan adalah dalam rangka memberikan manfaat bagi manusia lainnya dan bertujuan meraih keridhaan Allah Swt. 

Dengan demikian keterlibatan ini tidak menyebabkan perempuan mengabaikan peran pokoknya sebagai ibu dan pengelola rumah tangga. Peran pokok perempuan yang sesungguhnya yakni menjadi ibu dan pengaruh tangga mendapatkan perhatian penuh dan jaminan negara. Karena peran perempuan ini menjadi penopang utama ketentraman dan ketenangan dalam keluarga. Dengan kesempurnaan peran perempuan sebagai ibu akan terlahir generasi pemimpin masa depan yang akan mengantarkan umat Islam menjadi terdepan dalam kancah perpolitikan internasional.

Insyaa Allah.