-->

Ibu, Rangkul Kembali Generasi Ambyar



Oleh: Ainur M. Dzakiyah (Penulis)

Seperti udara kasih yang engkau berikan, tak mampu ku membalas. Ibu (Iwan Fals)

Seorang penyanyi legendaris Indonesia, Iwan fals menggambarkan kasih sayang seorang ibu seperti udara. Udara kita butuhkan tiap hari untuk bernafas. Udara yang terenggut dalam sistem kapitalisme adalah ibu. Peran besar ibu terus dikikis bahkan dihilangkan secara sistematis. Melalui propaganda dan kebijakan serta berbagai stigma yang terus berkembang di masyarakat. Ketulusan seorang ibu digantikan oleh tontonan di Media Sosial, televisi, Siaran dan lingkungan yang kian tak bersahabat. 

Seorang ibu memiliki peran yang strategis dalam menumbuhkembangkan generasi masa depan. Ibu sebagai pendidik pertama di rumah. Seyogyanya, seorang ibu memiliki ilmu dan kemampuan dalam mendampingi perkembangan putra-putrinya. Misalkan menanamkan kepemimpinan pada anak lelaki. Kemudian ibu juga menyiapkan putrinya untuk memiliki kemampuan dasar kerumah tanggaan seperti memasak, membersihkan rumah, menata rumah, mengatur keuangan hingga hidup bermasyarakat yang baik. 

Ibu bagaikan Surya yang menyinari dunia. Ibu dapat mewujudkannya dengan menyadari dan menjalankan perannya secara tepat bahwa mereka adalah tumpuan generasi. Banyak kisah generasi hebat karena mereka memiliki ibu yang hebat seperti Imam Syafi'i, Muawiyah, Sufyan Atsauri dan masih banyak lagi. Kesuksesan mencetak generasi yang gemilang adalah prestasi hakiki bagi seorang ibu. 

Sayang, dengan semakin gelapnya dunia berubah pula visi prestasi seorang ibu. Ibu yang berasal dari tulang rusuk dipaksa menjadi tulang punggung. Gelar-gelar menyesatkan seperti kepahlawanan ekonomi, pahlawan devisa, dan juga pejuang kesetaraan gender. Terlebih isu empowering women yang salah kaprah terus digulirkan. Seakan perempuan di rendahkan oleh sistem yang sedang berlaku di bumi. Padahal hal tersebut hanya halusinasi palsu yang terus digulirkan. 

Perempuan masa kini sering merasa risih jika harus menengadah nafkah pada suami. Mereka  juga malu hanya hanya bergelar ibu rumah tangga dan tinggal di rumah. Disamping itu kondisi perekonomian yang suram memaksa para ibu keluar rumah. Mereka bahu membahu dengan suami untuk menopang ekonomi  keluarga. Berbagai sektor dilakoni untuk mengais rezeki tambahan. Diantaranya bekerja di sektor industri, terutama industri skala besar seperti kain, rokok,, dan makanan.  Tidak sedikit pula yang "rela" berpisah jauh dari keluarga untuk menjadi Tenaga kerja wanita (TKW) ke luar negeri. Data dari Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Kabupaten Indramayu, jumlah TKI asal kabupaten Indramayu tahun 2017 mencapai 17.658 orang. Dari jumlah tersebut 14. 667 orang diantaranya adalah perempuan. Jumlah itu terus meningkat. Bahkan Kabupaten Indramayu dan Lombok saling susul menyusul menduduki posisi pertama pengirim TKI  terbanyak dibanding daerah lainnya. Mereka bekerja di sektor informal seperti Asisten rumah tangga. 

Pertanyaannya, dari jumlah perempuan yang melimpah berapa persen diantaranya yang seorang ibu? Bagaimana nasib anak yang ditinggalkan? Bagaimana cara mendidik jarak jauh tersebut? Apakah cukup hanya lewat telepon? 

Negara sebagai wakil dari rakyat bertanggungjawab atas kurangnya sentuhan ibu pada putra-putrinya. Para ibu yang keluar rumah demi mengepulnya asap dapur seharusnya menjadi perhatian serius. Perhatian terhadap ketahanan keluarga dan bangsa. Apalagi dinas ketenaga kerjaan jumlah TKW terus cenderung naik. NF (15) seorang remaja yang "berani" membunuh anak kecil tetangganya harusnya membuka mata hati pemerintah. Bahwa hal tersebut tidak boleh terulang lagi. Kemudian berpikir keras bagaimana mencegahnya. Mencegah lebih baik daripada mengobati. 

KPAI bahkan menangani 1.885 kasus per satu semester pertama 2018. Dari angka tersebut, anak berhadapan dengan hukum (ABH) seperti jadi pelaku narkoba, mencuri, hingga asusila menjadi kasus terbanyak. KPAI menilai ada kesalahan dalam pengawasan orang tua terhadap anaknya. Harus menunggu berapa korban lagi yang berjatuhan? 

Maka tidak ada faedahnya bermacam-macam gelar diluar rumah biak generasi hancur. Kebanggan dan kemuliaan ketika wanita ketika keluar rumah untuk mengejar karir adalah fatamorgana menyesatkan. Mereka ditipu oleh halusinasi yang diciptakan oleh sistem kapitalisme. Padahal sebagian perempuan terhanyut dan bekerja agar mereka menjadi pasar yang empuk untuk produk industri para kapitalis pula. Disisi lain ada upaya terselubung untuk sebanyak -banyaknya perempuan dari rumah. Hal itu dilakukan dengan cantik. 

Akibatnya generasi tidak terurus karena para ibu yang sibuk bekerja dan berkarir di luar rumah. Mereka pulang ke rumah dalam keadaan lelah. Anak-anak mendapatkan sisa tenaga dan waktu dari sang ibu. Tidak jarang perhatian yang seharusnya diberikan berubah menjadi marah. Maka muncullah generasi amburadul yang miskin visi dan prestasi. 

Islam memuliakan perempuan. Islam memandang bahwa perempuan yang bekerja adalah boleh/mubah. Bukan wajib yang ketika meninggalkannya berdosa. Karena tanggung jawab nafkah seorang perempuan dibebankan kepada lelaki yang bertanggungjawab atasnya. Jika perempuan itu seorang anak maka ia menjadi tanggung jawab bapaknya atau saudara lelakinya yang sudah baligh. Jika perempuan tersebut telah menikah maka tanggung jawab nafkah beralih pada suaminya. Maka bila tidak ada keluarganya kewajiban tersebut dibebankan kepada negara. 

Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, saat beliau berkeliling untuk mengontrol kondisi masyarakat. Umar bin Khattab mendapati seorang ibu yang merebus batu untuk " mengelabui" anaknya yang sedang kelaparan. Sehingga anaknya mengira sang ibu sedang memasak. Umar bin Khattab sebagai pemimpin tertinggi di negeri tersebut. Maka Umar bin Khattab memanggil-manggilnya gandum dari Baitul Mal dan memberikannya kepada ibu tersebut. 

Potret kepedulian penguasa sebagaimana kisah diatas sangat langka ditemukan pada dunia yang berselimut sistem kapitalisme. Pelayanan negara dalam melayani maksimal warganya hanya ditemui di dalam sistem Islam yang menerapkan syariah secara kaffah. Dalam sistem tersebut para ibu tidak perlu keluar rumah untuk menopang ekonomi keluarga. Wahai para ibu, pulanglah, rangkul hangat putra-putrinya kembali.