-->

Gizi Buruk Mengancam Generasi, Islam Memberi Solusi

Oleh : Siti Komariah, S, Pd.I (Pegiat Opini, Komunitas Peduli Umat)

Masalah gizi buruk masih melanda anak-anak sedunia, termasuk anak-anak Indonesia. Ini jelas menjadi momok menakutkan bagi negeri Zamrud Khatulistiwa ini. Bahkan, WHO menetapkan, Indonesia sebagai negara dengan status gizi buruk. Sebagaimana Alfaqih (5) anak asal Desa Lampeantani, Kecamatan Rarowatu, Kabupaten Bombana, Sultra, hanya bisa terbaring kaku, lemas tak berdaya karena mengidap gizi buruk. 

Alfaqih mulai mengalami gizi buruk saat memasuki usia enam bulan. Upaya untuk membawanya ke rumah sakitpun sudah dilakukan sang ibu. Namun, dokter yang menangani Alfaqih menyarankan agar dibawa ke rumah sakit yang memiliki prasarana lebih lengkap. Namun, apalah daya, hal itu hanya angan-angan semata, karena orang tua Alfaqih kekurangan biaya sehingga tak mampu membawa anaknya ke rumah sakit. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari  hari saja, Alfaqih dan ibunya hanya bisa bersandar pada penghasilan sang ayah yang berprofesi sebagai kuli panggul. 

Pekerjaan mengangkat papan dari pohon yang ditebang dalam kawasan hutan, dengan penghasilan Rp500 ribu per bulan, itupun jika ada pekerjaan. Upah sebesar itu hanya bisa digunakan untuk makan, sementara jika masih tersisa, digunakan buat beli minuman kaleng susu kental manis sebagai pengganti susu nutrisi untuk Alfaqih. (detiksultra.com). 

Mengurai Akar Masalah

Gizi buruk atau yang dikenal sebagai kwashiorkor dalam dunia medis bisa diartikan sebagai kondisi ketika seseorang kekurangan asupan yang mengandung energi dan protein. Padahal protein dibutuhkan tubuh dalam proses perbaikan dan pembentukan sel-sel baru.

Gizi buruk kebanyakan menyerang anak-anak di negara- negara berkembang, termasuk di Indonesia. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan 54 persen kematian bayi dan anak balita disebabkan oleh kondisi gizi buruk. Risiko kematian anak dengan gizi buruk 13 kali lebih besar dibandingkan dengan anak normal. 
Gizi buruk dipicu oleh beberapa faktor, diantaranya sanitasi, kebersihan lingkungan, dan kesejahteraan ekonomi. 
Sangat memprihatinkan, Alfaqih hanya salah satu contoh dari anak-anak Indonesia yang terpapar oleh gizi buruk. Menurut UNICEF, di Indonesia ada 50-59 persen anak dibawah lima tahun (balita) yang termasuk kategori "not growing well" atau pertumbuhannya tidak baik.
Hal ini diungkapkan organisasi PBB di bidang kesejahteraan anak, UNICEF, melalui laporan State of the World's Children 2019: Children, Food, and Nutrition yang dirilis Selasa (15/10/2019) lalu. (kbt.id/nasional). 

Sungguh sangat memprihatinkan. Permasalahan gizi buruk memang harusnya menjadi permasalahan yang serius, dan harus segera dituntaskan karena permasalahan ini bisa mengancam keberlangsungan generasi mendatang.
Pasalnya, jika kekurangan gizi yang terjadi pada masa janin dan anak usia dini akan berdampak pada perkembangan otak dan rendahnya kemampuan kognitif yang dapat mempengaruhi prestasi belajar dan keberhasilan pendidikan.

Selain itu, hal ini akan berdampak pada menurunnya produktivitas yang selanjutnya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan kemiskinan dan kesenjangan di masyarakat. 
Seyogianya, problem gizi buruk ini sebenarnya tidak layak dialami rakyat Indonesia, mengingat Indonesia dikenal dengan negara "gemah ripah loh jinawi", negara yang kaya raya dengan sumber daya alamnya. Terkenal subur dan penghasil pangan sudah sejak dulu kala, hingga kayu dan batu pun bisa jadi tanaman. 

Sebagaimana riset yang telah dilakukan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB-Biogen) Kementerian pertanian, ada sekitar 100 jenis pangan sumber karbohidrat, 100 jenis kacang-kacangan, 250 jenis sayuran serta 450 jenis buah dimiliki Indonesia. Dan Menurut Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan, Kuntoro Boga Andri, selamamanajemen pangan dan pengelolaan sumber daya dilakukan secara benar keanekaragaman pangan kita tidak hanya mampu mencukupi kebutuhan masyarakat Indonesia, tapi juga dunia (www.pertanian.go.id).

Sungguh luar biasa kekayaan alam negeri ini. Namun apalah daya, kekayaan itu hanyalah mimpi bagi rakyat Indonesia. Mereka tidak bisa menikmati kekayaan alam yang begitu melimpah tersebut.
Inilah ironi hidup dalam naunggan sistem ekonomi kapitalisme. Negara tidak mampu memainkan perannya dengan baik. Sistem ini benar-benar menempatkan negara hanya sebagai fasilitator semata, tanpa ikut mengelolannya. Sehingga negara tidak bisa menciptakan iklim ekonomi yang baik, walaupun sumber daya alamnya melimpah. Yang terjadi hanyalah ketimpangan ekonomi dalam sebuah masyarakat. Bahan pokok mahal, rakyat jadi korban. 

Pasalnya orang miskin ketika tidak bisa menjangkau harga bahan pokok dan bahan makan di masyarakat, maka ancaman gizi buruk tidak bisa dihindarkan.
Ditambah lagi, Sistem kapitalisme tidak mengatur hak kepemilikan. Kepemilikan pribadi, negara dan umat. Sehingga sistem ini meniscayakan siapa yang memiliki modal, maka mereka diperbolehkan untuk mengelola SDA yang sejatinya harta milik umat dan haram hukumnya diswastanisasi/diprivatisasi. Sehingga dengan SDA yang harusnya mampu mensejahterakan rakyat, justru hanya dinikmati oleh segelincir orang. 

Islam Solusi Pasti

Berbeda dengan kapitalisme yang menjauhkan negara dari tanggungjawabnya. Islam sebagai agama yang paripurna memandang bahwa pemenuhan kebutuhan rakyatnya adalah prioritas utama yang harus dipenuhi. Islam menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok masing- masing individu di dalam negaranya, individu per individu. Sandang, pangan, papan, pendidikan kesehatan harus dijamin oleh negara.

Pemimpin dalam Islam harus benar-benar memastikan masing-masing individu dalam masyarakat mendapatkan kebutuhan pokok tersebut. Inilah prioritas utama yang diperhatikan negara, selain juga menjamin setiap kepala keluarga bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Sehingga dengan terpenuhinya kebutuhan pokok suatu keluarga, gizi buruk akan terhindarkan. Karena asupan gizi terjaga dengan sempurna. 

Dalam Islam, pemimpin adalah penanggung jawab urusan dan kemaslahatan rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas hal itu di hadapan Allah SWT. Nabi saw. bersabda : Seorang iman (pemimpin) pengatur dan pemelihara urusan rakyatnya; dia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya (HR. al- Bukhari dan Muslim). 
Sebagaimana yang dicontohkan juga oleh khalifah Umar bin Al-Khattab yang selalu memikirkan kepentingan rakyatnya di atas kepentingannya sendiri. Hal inilah yang membuatnya berusaha terus memenuhi kebutuhan rakyatnya. Ketika Umar bin Khaththab menjabat sebagai khalifah, ia pernah mendapatkan cobaan yang cukup berat, dimana suatu ketika datanglah musim paceklik.

Pada tahun tersebut, seluruh bahan makanan menjadi susah didapatkan. Maka Umar bin Khaththab ingin memastikan bahwa tidak ada rakyatnya yang tidur dalam kondisi kelaparan, Ia pun mengajak Aslam yang merupakan sahabatnya untuk melihat dan berkeliling menelurusi satu per satu rumah warga. Saat itu mereka melihat wanita tua yang anak perempuannya menagis kelaparan karena tidak ada gandum yang dapat dimasak. Bahkan, wanita tua itu memasak batu untuk melipur anak yang sedang kelaparan. Khalifah Umar lalu mengajak Aslam untuk kembali ke Madinah dengan meneteskan air mata. Ia mengambil sekarung gandum untuk diberikan pada sang ibu dan mengangkatnya seorang diri. Sungguh amat mulia para pemimpin pada masa kejayaan Islam silam. Mereka memprioritaskan urusan rakyat, daripada urusannya sendiri.

Disisi lain, Islam pun menciptakan iklim ekonomi yang baik dan stabil, sehingga rakyat tidak merasakan ketimpangan ekonomi. 

Begitu pun dengan SDA, negara berkewajiban mengelola SDA sendiri, tanpa diserahkan kepada asing / swasta. Karena SDA merupakan harta milik ummat, sebagaimana hadis Rasul "Kaum muslim berserikat pada tiga perkara, padang rumput, air, dan api" ( HR. Abu Dawud dan Ahmad). Sehingga dengan pengelolaan SDA yang tepat sesuai tuntutan syariat, kemudian menciptakan iklim ekonomi yang stabil jelaslah masalah gizi buruk akan mampu diatasi hingga keakarnya. Dan semua itu hanya mampu dilakukan oleh Islam. 

Wallahu A'alam Bisshawab.