-->

TOPENG PLURALISME DI BALIK TEROWONGAN SILATURRAHIM


Oleh : Zahida Arrosyida (Revowriter Kota Malang) 

Pemerintah di negeri ini begitu massif dalam mensosialisasikan empat  pilar kebangsaan salah satunya adalah kebhinekaan (pluralitas). Rezim terus menggaungkan isu ini seolah-olah masyarakat Indonesia sedang dalam kondisi darurat pluralitas.

Beberapa waktu lalu Presiden Jokowi telah menyepakati proyek renovasi Masjid Istiqlal. Di dalamnya dimasukkan rencana pembangunan Terowongan Silaturrahim yang menghubungkan dua tempat ibadah dari agama yang berbeda.
Terowongan tersebut diproyeksi bakal menjadi ikon toleransi dan kerukunan umat beragama di Indonesia.

Rencana реmbаngunаn tеrоwоngаn dаrі Mаѕjіd Iѕtіԛlаl kе Gеrеjа Kаtеdrаl dі Jаkаrtа Puѕаt dipertanyakan mаnfааtnуа oleh Wаkіl Sеkrеtаrіѕ Jеndеrаl Mаjеlіѕ Ulama Indоnеѕіа Tеngku Zulkаrnаіn. Mеnurut dіа untuk mеngоnеkѕіkаn kedua tеmраt іbаdаh tidak реrlu mеmbаngun terowongan dеngаn nіlаі miliaran ruріаh. Tengku mengatakan melalui akun Twitternya bahwa jaraknya cuma sepelemparan bаtu untuk apa dіbаngun рuluhаn miliaran rupiah. Menurut Tengku masih banyak реkеrjааn уаng реrlu dіbаngun untuk mеndоngkrаk ekonomi. Tеngku jugа mеngаtаkаn іbаdаh mеruраkаn urusan masing-masing аgаmа. (Indonews.com 7/2)

Senada dengan Tengku, Direktur Riset Setara Institute Halili mengatakan pembangunan terowongan yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral tidak mengurangi urgensi pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.

“Terowongan secara simbolik barangkali kita tidak mungkin mengatakan tidak membutuhkan simbol perjumpaan antar satu agama. Tapi ada persoalan lebih serius,” kata Halili kepada Tempo, Jumat, 7 Februari 2020.

Halili mengaku secara pribadi mengapresiasi rencana pembangunan terowongan itu sebagai simbol pemajuan toleransi dan perjumpaan lintas identitas. Namun, hal tersebut semestinya dibarengi dengan penyelesaian masalah yang melampaui simbol dan fisik.
Halili juga menyebut ada 3 persoalan yang semestinya bisa ditangani di level negara, yaitu regulasi, kapasitas aparat, dan penegakkan hukum.
Menurut Halili, pembangunan infrastruktur tidak menurunkan urgensi untuk mereview dan mencabut regulasi diskriminatif yang selama ini ada.

============

Wacana pembangunan terowongan memang menuai kontroversi. Selain Tengku Zulkarnain dan Halili,  beberapa tokoh juga menolak hal ini. Zara Zettira, Dandhy Dwi Laksono, Yuniarto Wijaya dan masih banyak tokoh lain yang berbicara.  Perwakilan tokoh-tokoh umat tersebut mempertanyakan dan menyayangkan wacana pembangunan terowongan yang memerlukan dana yang tidak sedikit itu hanya untuk perkara yang sifatnya simbolik. Sementara hari ini banyak perkara lain yang lebih urgen untuk segera diselesaikan, memerlukan perhatian dan bantuan.

Namun nampaknya Presiden Jokowi tidak bergeming. Bahkan beberapa pejabat yang sealiran dengan rezim terus mengopinkan bahwa rencana ini layak  didukung.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin mengatakan bahwa rencana itu harus disikapi dengan baik dan optimis katanya kepada Kantor Berita Politik RMOL saat bertemu di Upnormal Coffee, Wahid Hasyim, Jakarta Selatan, Minggu (9/2).

Menurut Ngabalin, rencana Presiden Jokowi yang dianggap untuk kepentingan dan kemaslahatan kehidupan toleransi harus diberikan apresiasi. Ngabalin juga mengatakan bahwa apa yang dilakukan Jokowi adalah
visi hebat, dan ini agenda penting, sepanjang sejarah baru pernah terjadi di RI.

Apakah benar terowongan itu akan menjadi jalan tol mewujudkan toleransi beragama? Atau hanya akan menjadi sekedar simbol yang tak berati apapun? Karena hakekat sebenarnya toleransi itu bukan pada simbol fisik tapi itu ada pada konsep yang tersimpan pada akal/pemikiran.

Ya, ketika ada persepsi tentang sebuah ide dalam pemikiran manusia kemudian diyakini sebagai sebuah maka ide tersebut akan selalu dijadikan landasan untuk melakukan sesuatu. Jadi selama persepsi tentang toleransi itu menurut mereka adalah sesuatu yang harus diwujudkan untuk merealisasikan kepentingan-kepentingan mereka maka selama itu pula akan terus digaungkan hingga tercapai target yang ingin diraih.

Pertanyaan berikutnya, dimana toleransi penguasa saat ada derita rakyat? Negara telah menaikkan iuran BPJS dan wacanakan pencabutan berbagai subsidi dengan alasan negara sedang merugi. Tapi mengapa untuk  membangun terowongan itu dana telah tersedia? Apakah derita rakyat yang tidak bisa bersekolah, tidak mendapatkan pelayanan kesehatan dll karena akses jembatan di desa tidak tersedia itu  tidak lebih dari sebuah simbol?

Sesungguhnya dengan sikap pemerintah ini telah mengkonfirmasi kepada kita bahwa pembangunan terowongan antara Istiqlal dan Katedral sebagai simbol toleransi beragama  adalah wujud keberpihakan pemerintah pada liberalisasi beragama.

Mengapa demikian? Karena untuk mewujudkan toleransi itu adalah dengan merubah mindset berfikir bukan sekedar simbol. Untuk mewujudkan toleransi itu  sebenarnya  cukup dilakukan dengan :

1) Tidak memaksakan orang lain untuk menganut agama kita. Menyampaikan kebenaran Islam memang kewajiban, namun kita tidak punya kuasa untuk membuat manusia berubah menjadi baik, itu adalah hak  Allah. Kita hanya diperintahkan untuk menyampaikan bukan  memaksa.

2) Tidak mencela agama lain dengan alasan apapun.

3) Tidak melarang ataupun mengganggu umat agama lain untuk beribadah sesuai agama/ kepercayaannya.

Persepsi inilah yang harus ada ketika ingin mewujudkan toleransi. Namun dalam praktiknya justru umat Islam yang menjadi bagian mayoritas negeri ini menjadi korban dengan disematkannya diksi intoleran ketika umat Islam menuntut haknya yang tidak dipenuhi dan saat menyuarakan keadilan  saat menyaksikan kezaliman yang dilakukan penguasa. 

Sadar atau tidak sikap toleransi  yang salah akan menghambat upaya untuk tegaknya syariat Islam di negeri ini. Lihatlah saat umat Islam melaksanakan salat Islam dijadikan aturan yang mengatur Negara ini mereka berujar " Kita harus menghormati agama lain termasuk menghormati kelompok lain.". Dalil mereka tidak boleh ada satu ajaran mendominasi ajaran agama lain;  Indonesia Indonesia adalah negara yang bukan hanya agama Islam namun juga terdapat pemeluk agama lain. Padahal penerapan syariat Islam merupakan perkara yang diwajibkan atas umat Islam untuk mengatur urusan kehidupan mereka.

Begitu juga dengan ide pluralisme. Paham pluralisme muncul didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan klaim kebenaran (truth claim) ajaran yang dianggap menjadi pemicu munculnya sikap ekstrim, radikal, perang atas nama agama konflik horizontal serta penindasan atas nama agama. 

Menurut kaum pluralis konflik dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agama yang paling benar. Kaum pluralis juga akan menolak dominasi agama tertentu di dalam sebuah masyarakat yang plural termasuk termasuk menolak penerapan Syariah Islam dalam sebuah negara karena dianggap intoleran terhadap pemeluk agama lain dan dianggap bertentangan dengan pluralisme. Paham ini jelas berbahaya dan bertentangan dengan Islam.

Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa dengan kebijakan ini banyak kepentingan yang bermain. Dan salah satu yang penting diwaspadai adalah bahwa kebijakan ini bisa disusul semakin maraknya kebijakan dan kampanye pluralisme agama.

Tentu sangat berbahaya jika pluralisme yang sebenarnya merupakan liberalisasi agama dibiarkan merongrong pemikiran umat Islam. Karena akan melemahkan akidah dan daya juang untuk beramar ma"ruf nahi mungkar terutama terhadap kebijakan zalim yang diterbitkan oleh penguasa.

Ini juga semakin mempertegas sikap penguasa yang sedang menggiatkan proyek moderasi agama (liberalisasi agama yang bisa menyesatkan umat dengan mencampurkan adukkan antara yang hak dan yang batil.

Saatnya mencampakkan sekulerisme sebagai ide dasar liberalisme dalam mengatur kehidupan. Karena ide ini telah mengkerdilkan Islam dalam mengatur kehidupan hanya sebatas ibadah ritual, tidak dalam semua aspek seperti : politik, pendidikan, ekonomi, sosial, peradilan dll. Inilah sumber utama dari ketidakadilan dan kedzaliman yang telah menimpa negeri ini

Wallahu a'lam.