-->

Terowongan Silaturahmi, Toleransi Basa Basi?

Oleh: Mahdiah, S.Pd

Pemerintah telah menyetujui usulan pembuatan terowongan yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral. Terowongan penghubung kedua tempat ibadah ini berada di bawah tanah. Jokowi menyebutnya dengan istilah "terowongan silaturahmi".

"Sudah saya setujui sekalian, sehingga ini menjadi sebuah terowongan silaturahmi," kata Jokowi seusai meninjau proyek renovasi Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Jumat, 7 Februari 2020.

Rencana pembangunan terowongan silaturahmi ini menuai pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat. Beberapa orang malah menyebutnya sebagai terowongan tidak penting. Sebab di negeri ini masih terlalu banyak masalah penting yang perlu diselesaikan, misalnya masalah kesehatan: masyarakat terbebani dengan kenaikan iuran BPJS. Kemiskinan, kelaparan, anak-anak stunting masih menjadi PR di negeri ini.
Dana renovasi yang mencapai Rp.475 miliar rupiah itu dinilai lebih bermanfaat jika digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Dalih yang digunakan oleh pemerintah atas rencana pembangunan terowongan adalah ingin menjadikan kedua tempat ibadah yakni masjid dan gereja sebagai simbol toleransi. Dilansir dari detiknews.com (8/2/2020), Tenaga Ahli Utama KSP Kedeputian Komunikasi Politik, Donny Gahral, ia menjelaskan, untuk sisi fungsionalnya, terowongan itu untuk mobilisasi jema'ah dari Istiqlal ke Katedral atau sebaliknya. Selain itu, Jokowi ingin menarasikan pesan toleransi melalui terowongan silaturahmi. Dia mengatakan terowongan merupakan simbol penghubung antar dua lokasi.

Sementara Direktur Riset Setara Institute, Halili, mengeluarkan pendapat yang lebih relevan, ia mengatakan pembangunan terowongan Istiqlal-Katedral yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral tidak mengurangi urgensi pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. 

"Terowongan secara simbolik barangkali kita tidak mungkin mengatakan tidak membutuhkan simbol perjumpaan antar satu agama. Tapi ada persoalan lebih serius," kata Halili kepada Tempo, Jumat, 7 Februari 2020.

Bahkan menurut Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti pembangunan terowongan hanya toleransi basa-basi.
"Kalau menurut saya, yang dibutuhkan sekarang itu bukan silaturahmi dalam bentuk fisik dengan terowongan tapi yang diperlukan itu silaturahmi dalam bentuk infrastruktur sosial di mana pemerintah ini secara sungguh-sungguh membangun toleransi yang autentik, toleransi yang hakiki, bukan toleransi yang basa-basi," kata Abdul Mu'ti di kantornya, Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat, Senin (10/2/2020) kepada detik.com.

Islam sendiri telah menjelaskan konsep toleransi, yakni untuk membangun kerukunan beragama dengan cara membiarkan pemeluk agama lain menjalankan ibadahnya tanpa gangguan. Hal ini dijelaskan langsung oleh Allah SWT dalam kalam-Nya surat Al-Kafirun ayat 1-6.

Para sahabat juga telah memberikan teladan bagaimana mengamalkan toleransi yang benar. Khalifah Umar bin Khattab ra ketika menaklukkan Palestina pernah ditawari solat di dalam gereja. Namun Khalifah menolak karena khawatir dijadikan pembenaran oleh kaum Muslimin. Meski demikian, Khalifah tetap membiarkan dan menjamin keamanan setiap penduduk non muslim di Palestina dalam beribadah.

Sikap toleransi umat Islam menuai pujian dari sejarawan Kristen bernama Thomas Walker Arnold. Ia mengatakan, "Perlakuan terhadap warga Kristen oleh pemerintahan Khilafah Turki Utsmani selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa..."(The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith, 1896, hal. 134).

Oleh sebab itu, sangat wajar pembangunan terowongan toleransi tersebut dipertanyakan oleh umat Islam di Indonesia. Apa tujuan sebenarnya? Umat Islam harus mewaspadai akan tujuan terselubung di dalamnya. Terlebih saat ini pemerintah sedang menggencarkan program pengarusutamaan moderasi beragama yang sejatinya merupakan liberalisasi agama. Mereka melabeli Islam moderat, yang dianggap sebagai jalan tengah antara Islam radikal dan Islam liberal.

Salah satu prinsip Islam moderat adalah pluralisme. Paham pluralisme yang dihembuskan adalah bahwa keyakinan dan agama yang beragam itu hanyalah kulit luarnya. Sedangkan esensi di dalamnya, semuanya bermuara pada tujuan yang sama yaitu menyembah Tuhan Yang Maha Esa, hanya caranya saja yang berbeda. Oleh karena itu, menurut penganut pluralisme, tidak ada yang boleh mengklaim agamanya yang paling benar. Sebab semua agama memiliki kebenaran yang diyakini oleh pemeluknya.

Ini yang harus diwaspadai oleh umat Islam. Paham pluralisme adalah ide yang menyesatkan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Allah SWT telah menegaskan dalam kalam-Nya: 
"Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam." (TQS Al-Imran[3] :19)

Dengan demikian, umat Islam wajib mewaspadai segala upaya yang mengarah kepada liberalisasi agama. Sebab liberalisasi agama dapat merobohkan bangunan kesempurnaan Islam.

Oleh karenanya, umat Islam harus berpegang teguh kepada tali agama Allah dengan kuat. Gaungkan dakwah Islam untuk membumikan syariat Islam kafah dengan menegakkan khilafah. Itulah yang dapat menjadi perisai dari masuknya ide-ide yang menyesatkan. 

Wallahu a'lam Bishowab.

—————————————
Sumber : Muslimah News ID