-->

Mendiamkan Kemungkaran

Hal paling minim yang bisa dilakukan agar selamat jika melihat kemungkaran yang nyata, jika tidak mampu menyampaikan pengingkaran dengan tindakan dan lisan, adalah mengingkarinya dengan hati dan tidak berserikat dalam kemungkaran tersebut. 
________________________________________

Oleh: M. Taufik NT

Allah bukan hanya melarang berbuat kemungkaran, bukan pula hanya melarang condong kepada kemungkaran, namun Allah melarang mendiamkan kemungkaran. Pernah sekelompok orang yang kedapatan minum khamr dihadapkan kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Khalifah segera memerintahkan untuk mencambuk mereka semuanya sebagai pelaksanaan hudud. Ada yang berkata, “diantara mereka ada yang sedang berpuasa (sehingga tidak ikut minum khamr)”. Maka Beliau tetap menyuruh mencambuk orang tersebut, beliau membacakan ayat:

وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ

“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.” (QS an-Nisa’ [4]: 140) [1]

Ayat tersebut menurut Imam At-Thabari mencakup larangan duduk-duduk (menghadiri) pertemuan apapun yang berisi berbagai jenis kemungkaran.[2] Tidak ada bedanya antara kemungkaran yang dilakukan rakyat jelata ataupun penguasa. Bahkan kemungkaran yang dilakukan oleh para penguasa lebih mendesak untuk ditegur dan diingkari. 

Karena itulah Rasulullah bersabda: “Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.” (HR at-Tirmidzi dan an-Nasa’i).

Jika sekadar minum khamr adalah kemungkaran maka mengizinkan produksi dan penjualan khamr dikalangan umat Islam tentu merupakan kemungkaran lebih besar. Jika melakukan riba adalah kemungkaran yang besar, maka ‘melegalkan’ riba adalah kemungkaran yang jauh lebih besar. Pendek kata, mengatur urusan tanpa menggunakan hukum-hukum Allah, apalagi dengan memusuhi hukum-hukum-Nya itulah kemungkaran yang lebih besar.

===

Para ‘ulama yang ikhlas tidak hanya menunggu kemungkaran itu terjadi pada penguasa baru mereka mengingkarinya. Lebih dari itu, mereka menjaga dan menasehati penguasa agar tidak terjatuh kepada kemungkaran. Diantara nasehat yang disampaiakan Syaqiq al-Balkhi (w. 139 H) kepada Khalifah Harun ar-Rasyid adalah:

ومن خالف أمر الله ، وخرج على حدود الله فأدّبه بالسوط . ومن قتل نفسا بغير حق ، فاقتله بالسيف ، إلا أن يعفو ولي المقتول، فإن لم تفعل في ملكك بدين الله، فأنت زعيم أهل النار

“Siapa saja yang menyelisihi perintah Allah, dan keluar dari hudud (hukum-hukum) Allah, maka didiklah mereka dengan dicambuk. Barangsiapa membunuh orang tanpa hak, maka hukum bunuh(qishas)lah dia, kecuali jika wali korban memaafkan. Jika kamu tidak bertindak dalam wilayah kekuasaanmu berdasarkan agama Allah, maka kamu kelak menjadi pemimpin penghuni neraka.”[3]

Jika Harun Ar Rasyid, khalifah yang memerintah berdasarkan syari’ah Allah saja dinasehati begitu, lalu apa yang pantas dikatakan kepada orang yang memerintah dengan mengabaikan syari’ah?.

===

Hal paling minim yang bisa dilakukan agar selamat jika melihat kemungkaran yang nyata, jika tidak mampu menyampaikan pengingkaran dengan tindakan dan lisan, adalah mengingkarinya dengan hati dan tidak berserikat dalam kemungkaran tersebut. Imam Muslim meriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa Rasulullah ﷺ berkata:

سَتَكُوْنُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُوْنَ وَتُنْكِرُوْنَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ. قَالُواْ: أَفَلاَ نُقَاتِلُهُمْ؟ قال: لاَ، مَا صَلَّوْا

“Akan ada para amir, lalu kalian mengetahui (kemunkaran mereka) dan kalian mengingkari. Barangsiapa mengetahui, maka dia telah terbebas. Dan barangsiapa mengingkari, maka dia telah selamat. Tapi barangsiapa ridha dan mengikuti (maka dia tidak terbebas dan tidak selamat).” Para sahabat berkata: “Tidakkah kami memerangi mereka?” Beliau berkata: “Tidak, selama mereka masih shalat.”[4] 

Allaahu A’lam

_________________________________
Daftar Pustaka:

[1] Muhammad Jamaluddin bin Muhammad Sa’id Al-Qasimi, Mahâsin Al-Ta’wîl, Pentahkik. Muhammad Basil ’Uyun as-Su’ud, Cet. I. (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1418), Juz 3, h. 374.

[2] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Al-Thabari, Jâmi Al-Bayân Fî Ta’wîl al-Qur’ân, Pentahkik. Ahmad Muhammad Syakir, Cet. I. (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 2000), Juz 9, h. 321.

[3] Sayyid bin Husain Al-’Affani, Shalâh Al-Ummah Fî Uluww al-Himmah, Cet. 1. (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1997), Juz 3, h. 180.

[4] Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-Arabi, tt), JUz 3, h. 1480.

===
Sumber: https://mtaufiknt.wordpress.com/2020/02/13/mendiamkan-kemungkaran/