-->

Impor Bawang Putih Bukan Solusi Tunggal


Oleh: Nusaibah Al Khanza (Pemerhati Kebijakan Publik)

Harga bawang putih meroket pada awal bulan Februari ini, bahkan hingga mencapai 70 ribu rupiah per kilogramnya. Padahal harga normal berkisar maksimal 30 ribu saja.

Hal ini tentu ditanggapi serius oleh Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo karena bawang putih adalah salah satu kebutuhan pangan terpenting bagi masyarakat Indonesia. Penyebab kenaikkan harga bawang putih ini diketahui masih disebabkan oleh virus mematikan Corona dan proses distribusi yang terhambat. 

"...Itu hanya karena adanya pemberitaan wabah virus Corona..," tutur Syahrul Yasin.

Mengatasi hal ini, Menteri Pertanian Syahrul Yasin mengatakan adanya solusi yang sedang ia gencarkan. Solusi ini diharapkan dapat mengatasi lonjakkan harga bawang putih. Dia mengungkap India dan Amerika Serikat dapat menjadi alternatif impor menggantikan China yang sedang dilanda virus Corona.

"Mudah-mudahan wabah virus korona mereda. Kalaupun tidak reda, kita punya alternatif impor bawang putih selain China tempat virus itu mulai mewabah. Kita bisa ke India atau Amerika. Kalau saya seperti itu sih," ungkapnya. (16/2/2020, Okezone.com)

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa negeri ini sangat bergantung pada impor bawang putih. Seolah tak ada solusi lain selain impor untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Sehingga ketika negara pengimpor mengalami kendala, negara ini pun kelabakan mengatasinya. Maka, solusi yang diambil adalah dengan mencari importir dari negara lain. Tujuannya tetap sama saja, yakni impor bawang putih.

Ini bukan kebijakan yang salah, karena demi menjaga keselamatan rakyat Indonesia terhadap menjalarnya virus Corona dari China ke Indonesia. Maka, memang harus menghentikan berbagai interaksi dengan negara China, termasuk dalam hal impor bawang.

Namun, apakah impor dari negara lain adalah solusi yang tepat untuk masa depan negeri ini? Bagaimana dengan kedaulatan pangan yang harusnya diwujudkan melalui swasembada pangan? Seharusnya dipahami bahwa masih ada pilihan lain selain bergantung pada impor. Meningkatkan produktifitas petani bawang adalah solusi jangka panjang, agar negeri ini tak selalu bergantung pada impor. Karena impor bawang bukanlah solusi tunggal. 

Jika komoditas dalam negeri sudah memenuhi kebutuhan, seharusnya tidak perlu melakukan impor. Bahkan idealnya pemerintah mencari mekanisme agar kran impor ini dipersempit. Kemudian mewujudkan swasembada pangan agar kebutuhan terhadap komoditas produk-produk konsumsi dapat dipenuhi oleh usaha dalam negeri. Jika melihat potensi SDA dan SDM, Indonesia mampu memenuhi kebutuhan dalam negerinya sendiri, tidak perlu bergantung kepada negara lain.

Namun, akibat sistem ekonomi Neoliberal yang diterapkan negeri ini, mengakibatkan negara hanya sebagai regulator dan fasilitator saja. Sehingga kewajiban untuk mewujudkan kedaulatan pangan dengan mewujudkan swasembada pangan hanyalah kebijakan setengah hati yang dilakukan oleh pemerintah.

Yang terjadi hari ini adalah penguasaan lahan oleh korporasi dan pembiaran alih fungsinya. Hal ini mengakibatkan petani makin sulit untuk bertani dan masyarakat makin sulit mengakses pangan karena harga mahal. Ujung-ujungnya pemerintah dengan mudahnya melakukan impor dengan dalih pemenuhan stok dan stabilisasi harga pangan.

Hal tersebut berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang diterapkan oleh negara yang berasaskan syariat Islam. Berkenaan dengan masalah impor, syariat Islam membolehkan adanya impor. Dengan ketentuan, negara  tidak bergantung hanya mengandalkan impor saja. Negara Islam hanya melakukan impor ketika dalam kondisi terpaksa yang mengharuskan impor dilakukan. Namun, tetap harus independen dan tidak boleh posisinya ada di bawah negara pengimpor.

Karena dengan tergantung pada impor dari negara lain dapat menjadi jalan untuk asing menguasai kaum muslimin dan hal ini diharamkan. Untuk merealisasikannya, negara harus menjalankan politik ekonomi Islam dalam pengelolaan pangan dan pertanian.

Secara politik, Syariah Islam menetapkan negara wajib bertanggungjawab secara penuh dalam pengurusan hajat publik. Sebab pemerintah adalah penguasa yang memiliki peran yang tak tergantikan. Yakni sebagai raain (pelayan) dan junnah (pelindung) bagi seluruh warga negaranya.

Sebagai wujud tanggungjawabnya, negara wajib hadir secara utuh dalam pengelolaan pangan. Mulai dari menjamin berjalannya proses produksi dan menjaga stok pangan. Karenanya, negara akan mendukung penuh usaha pertanian yang dilakukan rakyatnya.

Begitu pula pada aspek distribusi dan stabilisasi harga. Secara prinsip distribusi dan pembentukan harga dalam pandangan Islam mengikuti hukum permintaan dan penawaran yang terjadi secara alami, tanpa adanya intervensi negara. Pemerintah hanya perlu melakukan pengawasan jika terjadi kondisi yang tidak normal.

Oleh karena itu, wajib bagi negara untuk melepaskan diri dari ketergantungan pada impor, yakni dengan menerapkan sistem ekonomi Islam. Sebab, ketergantungan impor yang kian tinggi justru hanya akan membahayakan negara. Hal itu karena negara akan menjadi lemah dan mudah diintervensi oleh negara lain.

Sudah jelas bahwa yang dapat mewujudkan kemandirian dan kedaulatan pangan untuk memenuhi kebutuhan sebuah negara hanyalah sistem aturan yang berasal dari Sang Pencipta yakni Islam. Maka, sudah selayaknya menoleh pada sistem Islam untuk diterapkan dan meninggalkan sistem ekonomi kapitalis liberal. 

Wallahu'alam!