-->

Sumatra Menangis, Bukti Kerusakan Kapitalisme


Oleh : Mutia Syarif 
Blitar, Jawa Timur 

Akhir tahun ini Indonesia berduka, bencana banjir datang di berbagai daerah. Sumatra menangis, akibat kerakusan manusia. Bencana longsor hingga banjir bandang menerjang sebagian wilayah Sumatra Barat, Sumatra Utara, Aceh dan lain sebagainya. Banjir bandang kali ini lumayan parah, selain karena curah hujan yang mencapai puncaknya, diikuti juga dengan penurunan daya tampung wilayah.

Bencana alam memang merupakan ujian dari Allah Swt. Namun perlu diketahui, bencana alam juga dapat terjadi akibat perusakan lingkungan yang dilakukan oleh manusia. Diberbagai daerah di Indonesia bahkan ada yang selalu banjir setiap musim penghujan. Seperti halnya di Jakarta, Bandung, Malang dsb. Kebanyakan penyebabnya adalah karena sampah yang dibuang ke sungai, kurangnya lahan serap, dan pembangunan berlebihan di daerah hulu. 

Bencana yang terjadi di Sumatra, bukan sekedar faktor alam atau ujian semata. Akan tetapi karena dampak kejahatan lingkungan yang telah berlangsung lama. Legitimasi kebijakan penguasa mengakibatkan alam terus dieksploitasi oleh tangan-tangan rakus. Tak hanya manusia yang merasakan dampak kerusakannya. Hewan-hewan pun kehilangan habitat mereka. Sungguh dzolim apa yang dilakukan manusia.

Sikap penguasa seperti ini sangat niscaya dalam sistem sekuler demokrasi kapitalisme. Penguasa dan pengusaha senantiasa bekerjasama untuk menjarah hak milik rakyat. Mereka berdalih ini semua mereka lakukan demi pembangunan. Padahal kenyataannya, hasil-hasil eksploitasi masuk ke kantong mereka pribadi. Inilah yang terjadi ketika sistem kapitalisme yang rusak ini terus diemban. Kapitalisme melahirkan para penguasa dzolim, yang rela melakukan segala cara demi keuntungan pribadi dan golongan. Musibah banjir dan longsor di Sumatra memperlihatkan bahaya  nyata akibat kerusakan lingkungan, terlebih dengan pembukaan hutan besar-besaran tanpa memperhitungkan dampaknya. Inilah akibat yang terjadi bila negara meninggalkan hukum Allah atau sistem Islam dalam pengelolaan lingkungan. Masyarakat yang menderita, sedangkan pengusaha dan penguasa yang menikmati hasil hutannya.

Padahal Al Qur'an telah mengingatkan bahwa kerusakan di bumi akibat ulah manusia. Maka dari itu, sebagai wujud keimanan, umat Islam harus menjaga kelestarian lingkungan. Negara dalam sistem Islam harus menggunakan hukum Allah dalam mengurusi semua urusannya, termasuk tanggung jawab menjaga kelestarian alam dengan menata hutan dalam pengelolaan yang benar. Negara juga harus siap mengeluarkan biaya untuk antisipasi pencegahan banjir dan longsor, melalui pendapat para ahli lingkungan. Hanya dengan hukum Allah, negara dapat meminimalisir terjadinya banjir dan longsor yang menyengsarakan rakyat. Khalifah sebagai pemegang mandat dari Allah akan fokus setiap kebijakannya mengutamakan keselamatan umat manusia dan lingkungan dari dharar. Khalifah akan merancang blue print tata ruang secara menyeluruh, melakukan pemetaan wilayah sesuai fungsi alaminya, tempat tinggal dengan semua daya dukungnya, industri, tambang, dan himmah.

Para pemimpin dalam Islam senantiasa menyadari bahwa mereka adalah pelayan rakyat. Mereka akan memimpin dengan ketakwaannya kepada Allah Swt. Teringat bagaimana khalifah Umar bin Khattab radhiallahu'anhu, beliau sangat mengutamakan sikap wara' ketika hendak bertindak.

Umar bin Khattab pernah berkata bahwa jikalau ada kondisi jalan di daerah Irak yang rusak karena penanganan pembangunan yang tidak tepat kemudian ada seekor keledai yang terperosok kedalamnya, maka ia (Umar) bertanggung jawab karenanya.

Terlihat sekali dalam kisah di atas bahwasanya Umar bin Khattab sangat memerhatikan kebutuhan umat hingga dalam lingkup yang terkecil sekalipun. Jika keselamatan hewan saja sangat diperhatikan, apa lagi keselamatan manusia.

Begitulah sosok pemimpin dalam Islam, mereka bertanggungjawab terhadap kepemimpinannya. Memimpin dan melayani rakyatnya dengan penuh ketakwaan kepada Rabb-nya.

Wallahu 'alam