-->

Efektifkah PP Tunas Lindungi Anak di Ruang Digital?


Oleh : Neni Moerdia 

Peraturan Pemerintah (PP) Tunas, yang secara resmi dikenal sebagai Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Sistem Elektronik untuk Perlindungan Anak dan Kelompok Rentan di Ruang Digital, baru saja disahkan oleh pemerintah Indonesia sebagai upaya untuk menciptakan lingkungan online yang lebih aman bagi anak-anak.  Dirilis dari situs resmi komdigi.go.id pada 9 November Regulasi ini mewajibkan platform digital seperti media sosial untuk menerapkan verifikasi usia, pembatasan akses konten berbahaya, dan sanksi bagi pelanggar, termasuk larangan bagi anak di bawah 13 tahun untuk membuat akun tanpa persetujuan orang tua (govinsider.asia 05/06/2025)

Tujuannya adalah untuk melindungi generasi muda dari ancaman di dunia maya. Namun, sekarang pertanyaannya, apakah PP Tunas ini benar-benar efektif? Hal ini hanyalah solusi permukaan yang tidak menyentuh akar masalah, dan justru mencerminkan kegagalan sistem sekuler-kapitalis yang mendominasi saat ini.

Mengacu pada fakta di lapangan yaitu diantaranya: Pertama, banyak anak dan remaja di Indonesia terpapar konten pornografi, bullying, serta gaya hidup liberal melalui media sosial, yang seringkali tidak memiliki filter yang ketat (jogjaprov.go.id). Kedua, kerapuhan mental anak-anak semakin parah, bahkan sampai pada kasus bunuh diri, yang sering dikaitkan dengan pengaruh negatif dari platform digital seperti tekanan sosial atau cyberbullying. Fenomena ini bukan sekadar isu lokal, tapi global, di mana media sosial memperbesar dampak emosional pada anak yang belum matang secara psikis.

ruang digital atau media sosial bukanlah penyebab utama dari masalah-masalah ini. Media sosial hanyalah alat yang mempertebal emosi atau perasaan anak terhadap suatu hal, bukan pencipta masalah itu sendiri. 

Akar sebenarnya terletak pada penerapan sekularisme-kapitalisme, yang memisahkan agama dari kehidupan dan menjadikan keuntungan materi sebagai prioritas utama. Sistem ini menciptakan masyarakat yang rapuh, di mana anak-anak dibesarkan tanpa pondasi nilai yang kuat, sehingga mudah terpengaruh oleh konten liberal atau destruktif. PP Tunas, dengan pendekatannya yang berfokus pada pembatasan akses dan verifikasi usia, hanyalah solusi pragmatis yang tidak komprehensif. Ia hanya menangani aspek media saja, tanpa menyentuh akar ideologi yang melahirkan konten berbahaya tersebut. 

Hasilnya, regulasi ini mungkin mengurangi paparan sementara, tapi tidak akan menghilangkan masalah secara permanen, karena platform digital tetap dipengaruhi oleh nilai-nilai kapitalis yang mendorong konten sensasional untuk keuntungan.

Untuk membangun solusi yang benar-benar efektif, kita perlu melihat konstruksi masalah dari perspektif yang lebih dalam. Perilaku manusia, termasuk anak-anak, dipengaruhi oleh pemahaman dan keyakinannya, bukan semata-mata oleh media sosial. Media sosial sendiri adalah madaniyah (sarana peradaban) yang lahir dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan ia akan selalu dipengaruhi oleh ideologi yang mendominasi masyarakat. Oleh karena itu, negara harus membangun benteng keimanan yang kokoh pada generasi muda melalui sistem pendidikan yang berbasis Islam. Pendidikan seperti ini akan membekali anak-anak dengan kemampuan bersikap yang benar, sehingga mereka bisa menyaring dan menolak pengaruh negatif dari ruang digital.

Lebih dari itu, bukan hanya pendidikan saja yang perlu direformasi. Negara Khilafah, yang menerapkan syariat Islam secara kaffah di seluruh aspek kehidupan—mulai dari ekonomi, politik, hingga sosial—akan mewujudkan kondisi ideal untuk membentuk generasi yang taat dan tangguh. Di bawah sistem ini, konten digital akan diatur berdasarkan hukum syariah, bukan sekadar verifikasi usia, sehingga mencegah munculnya konten pornografi, bullying, atau liberalisme dari akarnya. Akhirnya, peran seluruh generasi dibutuhkan untuk memahami dan memperjuangkan penerapan Islam ini. Bukan dengan mengandalkan regulasi sementara seperti PP Tunas, tapi dengan perubahan sistemik yang holistik.

Singkatnya, PP Tunas mungkin terlihat sebagai langkah maju, tapi ia tidak efektif karena gagal mengatasi akar masalah. Hanya dengan kembali ke Islam sebagai ideologi negara, kita bisa benar-benar melindungi anak-anak di ruang digital dan membangun masyarakat yang kuat.