-->

Negara Wajib Menjamin Kebutuhan Pokok Setiap Individu Rakyat

Oleh : Yahya Abdurrahman

Rasulullah bersabda:

أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ، وَمَنْ تَرَكَ مَالا فَلأَهْلِهِ، وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا، أَوْ ضَيَاعًا، فَإِلَيَّ وَعَلَيَّ، وَأَنَا أَوْلَى الْمُؤْمِنِينَ

“Aku lebih utama bagi orang-orang Mukmin dari diri mereka sendiri. Siapa saja yang meninggalkan harta maka harta itu untuk keluarganya. Siapa saja yang meninggalkan utang atau keluarga yang terlantar maka itu berpulang kepadaku dan menjadi tanggunganku. Aku lebih utama bagi kaum Mukmin.” (HR Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, an-Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah).

Hadis senada juga diriwayatkan dari jalur Abu Hazim, dari Abu Hurairah, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

مَنْ تَرَكَ مَالاً فَلِوَرَثَتِهِ وَمَنْ تَرَكَ كَلاًّ فَإِلَيْنَا

Siapa yang meninggalkan harta maka harta itu untuk ahli warisnya. Siapa yang meninggalkan keluarga yang terlantar maka itu tanggungan kami (HR Ahmad, al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).

===

Dalam hadis ini Rasulullah ﷺ menyatakan dua hal: 

Pertama, harta peninggalan seseorang itu untuk ahli warisnya. Sabda beliau, “fa li ahlihi” dijelaskan dalam riwayat satunya, “fa li waratsatihi (maka harta itu untuk ahli warisnya)”. Huruf al-lâm dalam sabda Rasul di atas menyatakan kepemilikan. Artinya, harta peninggalan seseorang adalah milik atau menjadi hak ahli warisnya. Bagian masing-masing sesuai dengan hukum-hukum waris.

Kedua, anggota keluarga yang terlantar sepeninggal seseorang menjadi tanggungan Rasul ﷺ, yakni menjadi tanggungan negara. Ini juga berlaku sepeninggal Rasul ﷺ. Sabda Rasul ﷺ, “dhayâ’an”, yakni keluarga. Di dalam Qâmûs al-Muhîth dinyatakan, adh-dhayâ’u adalah al-iyâlu (keluarga). Imam an-Nawawi di dalam Syarhu Shahîh Muslim menyatakan, “Para ahli bahasa berkata, adh-dhayâ’u adalah al-iyâlu (keluarga).”

Ibnu Qutaibah berkata, “Asalnya dhâ’a-yadhî’u-dhayâ’an. Yang dimaksud adalah siapa yang meninggalkan anak-anak dan keluarga yang terlantar.

===

Imam an-Nawawi juga menyatakan di bagian yang lain dari buku yang sama, “Adapun adh-dhayâ’u dan adh-dhayatu, yang dimaksud adalah keluarga yang membutuhkan dan terlantar. Al-Khathabi berkata: adh-dhayâ’u dan adh-dhayatu di sini adalah sifat untuk ahli waris mayit dengan mashdar, yakni meninggalkan anak-anak dan keluarga yang memiliki dhayâ’u, artinya tidak ada apa-apa untuk mereka. Adh-Dhayâ’u pada asalnya adalah mashdar dari apa yang terlantar, kemudian dijadikan isim untuk apa yang cenderung terlantar.”

===

Adapun makna al-kallu, Ibnu Qutaibah ad-Daynuri di dalam Ta‘wîl Mukhtalaf al-Hadîts menyatakan, “Yakni keluarga yang fakir dan anak-anak yang tidak ada yang menanggung mereka.”

Syamsul Haq al-Azhim Abu ath-Thayyib di dalam Awn al-Mabûd Syarh Sunan Abî Dâwud menyatakan, “Al-Kallu yakni tsiqal[an] (beban berat) berupa utang dan keluarga.”

Ibnu Hajar al-Ashqalani di Fathu al-Bârî juga menafsirkan al-kallu dengan keluarga atau utang.

Badruddin al-Ayni di dalam Umdah al-Qâri Syarh Shahîh al-Bukhâri menyatakan, “Al-Kallu yakni tsaqalan (beban berat) berupa utang dan semacamnya.”

Ibnu Faris berkata, “Al-Kallu adalah al-iyâlu (keluarga) dan ats-tsaqalu (beban berat). Adh-Dhayâ’u adalah al-halâk (binasa), yakni orang yang tidak mandiri dan seandainya dilepaskan dan dibiarkan alami niscaya bisa celaka/binasa.”

===

Dari situ sabda Rasul ﷺ, “Man taraka dhayâ’[an] awa dayn[an] fa ilayya wa ‘alayya,” menurut Abu ath-Thayyib di Awn al-Mabûd, maknanya, “Jika dia meninggalkan anak-anak maka kepadaku tempat kembali (tanggung jawab atas mereka dan aku menjadi penanggung (kâfil) mereka. Jika dia meninggalkan utang maka kewajibankulah membayarnya.”

Hanya saja, dalam riwayat lain, kewajiban pembayaran utang itu beralih kepada Rasul ﷺ jika orang itu tidak punya atau tidak meninggalkan harta yang cukup untuk membayarnya. Dalam hal ini, para ulama menjelaskan, pembayaran utang yang tak terbayar itu diambilkan dari Baitul Mal. Pertama-tama dari pos harta zakat sebab orang itu adalah gharim. Jika tidak bisa, dari pos harta kaum Muslim, sesuai kebijakan khalifah.

Menurut para ulama, seperti dinyatakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Ashqalani di dalam Fathu al-Bârî, al-Hafizh an-Nawawi di dalam Syarh Shahîh Muslim, al-Manawi di dalam Faydh al-Qadîr dan yang lainnya, penanggungan keluarga yang terlantar dan pembayaran utang itu sifatnya adalah wajib, yakni menjadi kewajiban. Kewajiban itu bukan hanya khusus bagi Rasul ﷺ, tetapi terus berlanjut menjadi kewajiban para penguasa sesudah beliau.

===

Kewajiban itu merupakan kewajiban negara. Dalilnya, untuk itu Rasul ﷺ mengambilnya dari harta Baitul Mal. Sebab dalam riwayat lainnya disebutkan bahwa sabda Rasul ﷺ di atas itu setelah terjadi futuhat dan Baitul Mal mendapat banyak pemasukan di antaranya dari ghanimah.

Penanggungan oleh negara terhadap anggota keluarga yang terlantar itu adalah atas nafkah-nafkah yang wajib. Dalam hal ini adalah pemenuhan kebutuhan pokok berupa pangan, sandang dan papan atau tempat tinggal; juga kebutuhan asasi berupa pelayanan kesehatan, pendidikan dan keamanan. Namun, jika harta di Baitul Mal mencukupi, boleh saja lebih dari itu.

Hanya saja, beban pemenuhan kebutuhan itu tidak langsung beralih ke pundak negara, yakni Baitul Mal. Syariah pertama-tama membebankan nafkah kepada laki-laki (suami) untuk menafkahi istri, anak-anaknya dan siapa saja yang ada dalam tanggungannya. Jika laki-laki (suami) itu tidak mampu maka kewajiban itu meluas kepada ahli waris, yakni kerabat dari laki-laki (suami) itu.

وَعَلَى ٱلۡمَوۡلُودِ لَهُۥ رِزۡقُهُنَّ وَكِسۡوَتُهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ

Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf…dan waris pun berkewajiban demikian (QS al-Baqarah [2]: 233).

===

Jadi, pertama-tama kewajiban itu ada di pundak laki-laki (suami). Jika dia tidak ada atau tidak mampu, selanjutnya kewajiban itu melebar kepada kerabat laki-laki/suami itu. Jika tidak ada kerabat atau ada kerabat tetapi tidak mampu, barulah sesuai hadis di atas, kewajiban itu beralih kepada negara, yakni Baitul Mal. Itulah jaminan syariah atas pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu masyarakat.

WalLâh alam bi ash-shawâb.

===
Sumber:
https://al-waie.id/hadis-pilihan/negara-wajib-menjamin-kebutuhan-pokok-setiap-individu-rakyat/amp/