-->

Rusaknya Alam karena Rakusnya Manusia Keniscayaan dalam Sistem Kapitalis


Oleh : Lathifah Tri Wulandari, Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok

Sungguh miris! Ratusan desa di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat terdampak banjir besar dalam beberapa hari terakhir. Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Yandri Susanto menyebut sejumlah desa bahkan hilang karena permukiman berubah menjadi alur sungai akibat derasnya arus. Komunikasi yang terbatas dan akses medan yang sulit membuat pemerintah belum dapat memetakan topografi wilayah yang hilang (detik.com, 4/12/2025).

BNPB melaporkan jumlah korban jiwa terus bertambah, mencapai 776 orang meninggal, 564 orang hilang, dan lebih dari 570.000 warga mengungsi (inforiau, 4/12/2025). 

Bahkan, Kabupaten Agam di Sumatra Barat menjadi salah satu wilayah paling terdampak, dengan 118 korban meninggal, 72 hilang, dan 6.300 pengungsi. Di Sumatra Utara, Tapanuli Tengah mencatat sedikitnya 86 korban meninggal dan 104 hilang, sementara ribuan warga kehilangan rumah. Kota Sibolga juga mencatat 50 korban jiwa. Di Aceh, jumlah pengungsi mencapai lebih dari 470.000 jiwa, atau 80 persen dari total pengungsi banjir Sumatra. 156 orang meninggal, dan Gubernur Aceh menyebut bencana ini sebagai tsunami kedua (antaranews.com, 4/12/2025).

Jika dilihat faktanya, banjir besar yang melanda Sumatra bukan peristiwa alam biasa. Di sana ada faktor anomali iklim siklon tropis senyar yang mendapat energi dari laut hangat. Namun, faktor tangan manusia jauh lebih besar, termasuk yang menyebabkan perubahan iklim. Banjir bandang membawa serta gelondongan kayu sebagai bukti kejahatan mereka yang zalim. 

Meskipun fakta ini terang benderang, Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Kehutanan justru menyebut gelondongan kayu yang ikut tersapu banjir sebagai kayu lapuk. Pihaknya mengaburkan fakta deforestasi, pembalakan liar, alih fungsi hutan menjadi sawit, industri ekstraktif, dan lemahnya pengawasan tata kelola hutan selama bertahun-tahun. Pernyataan tersebut dijawab oleh banyak penyintas yakni langit tidak pernah menurunkan hujan kayu.

Padahal, deforestasi pada kawasan konservasi dan daerah perbukitan di sepanjang Bukit Barisan menghilangkan fungsi hutan sebagai spons alami. Sangat disayangkan adanya perubahan drastis pada kawasan hulu sungai yang seharusnya menjadi Daerah Tangkapan Air (DTA).

Deforestasi yang berlangsung dalam skala besar, diperparah dengan perluasan perkebunan sawit, penambangan, pendirian permukiman di bantaran sungai, serta pembangunan infrastruktur pada zona rawan longsor, juga telah menghilangkan fungsi hutan sebagai penyangga air dan penstabil tanah. Kombinasi perubahan penggunaan lahan inilah yang membuat bencana tidak hanya terjadi, tetapi juga meluas dan merugikan.

Pemicu bencana juga dilihat dari sejauh apa manusia telah mengubah lanskap alam. Ketika vegetasi hilang, air tidak lagi meresap ke tanah, bergerak langsung sebagai limpasan permukaan dalam volume besar dan berubah menjadi banjir bandang. 

Beberapa bentuk alih fungsi kawasan hulu yang memperlemah sistem hidrologi, seperti pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Batang Toru, Tapanuli Selatan, yang mengubah struktur bentang alam dan mempengaruhi kestabilan lereng, pembukaan besar-besaran perkebunan sawit di Kawasan Ekosistem Leuser di Aceh, serta pembalakan liar di Bukit Barisan wilayah Sumatera Barat. 

Semua proyek dan aktivitas tersebut, bagaimana pun bahaya alam akan selalu ada, tapi risikonya membesar ketika manusia mengambil tempat yang tidak seharusnya dan itu menimbulkan dampak. Bagi para ahli kebencanaan, fase setelah air surut justru masa paling krusial. Respons awal seperti evakuasi, logistik, dan penanganan medis sudah cukup tepat. 

Selanjutnya, tindakan pemulihan harus dimulai dari hulu DAS, tempat fungsi ekologis pertama kali terputus. Rehabilitasi kawasan hulu, termasuk reforestasi area yang rusak, pemulihan sabuk hijau, serta perlindungan hutan lindung dan konservasi, menjadi langkah dasar untuk mengembalikan kemampuan tanah menyerap air.

Pemerintah perlu meninjau ulang izin pemanfaatan lahan, terutama di kawasan jalur sungai dan lereng rawan longsor. Sungai harus dikembalikan pada fungsi alaminya sebagai alur air, kawasan resapan, atau drainase. Setiap pembangunan infrastruktur pun wajib mengikuti peta risiko bencana agar tidak memperburuk kondisi lingkungan.

Kondisi yang terjadi pasca bencana semakin mengkhawatirkan, namun pemerintah belum juga menetapkan sebagai bencana nasional. Jika Anda bertanya mengapa status bencana di wilayah terdampak tidak dinaikkan menjadi bencana nasional, alasannya tidak sesederhana teknis kebencanaan. Ini ada kaitannya dengan Indonesia sebagai produsen CPO terbesar di dunia.

Bila status dinaikkan, bantuan internasional akan berdatangan, perwakilan asing akan turun langsung, dan dunia global akan menyaksikan situasinya secara terbuka. Dampaknya, reputasi produk CPO Indonesia bisa terganggu, karena negara-negara importir enggan membeli komoditas yang proses produksinya dianggap tidak ramah lingkungan. Inilah sebabnya, menurut sebagian pengamat, pemerintah enggan menetapkan status bencana nasional terlalu banyak kepentingan ekonomi yang hendak dijaga.

Dalam sistem kapitalisme yang kufur ini, kerusakan akan terus muncul. Penanggulangan yang dilakukan selama ini hanya bersifat gali lubang tutup lubang”, sekadar menyentuh permukaan tanpa menyelesaikan akar persoalan. Karena itu, tak heran kerusakan kembali muncul dalam waktu singkat.

Kezaliman semacam ini tercermin dalam sikap terus-menerus berada dalam kekufuran, kemaksiatan, dan keras kepala terhadap kebenaran, meskipun peringatan dan penjelasan telah berulang kali disampaikan. Seperti dijelaskan oleh Ibnu ‘Ajibah dalam Tafsir Bahrul Madid (Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 2003).

Bahkan, Allah SWT menenggelamkan seluruh umat manusia ketika itu karena sudah banyak melakukan perbuatan dosa dan banyak merusak alam. Sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an surah al-Qashash ayat 59 yang artinya, "Dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota, kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman."

Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya menambahkan, tidaklah musibah yang terjadi atas izin Allah. “Tidak ada bencana (apa pun) yang menimpa kecuali atas izin Allah. Imam Ibnu Abbas berpendapat bahwa musibah tersebut atas perintah Allah, yakni berdasarkan takdir dan kehendak-Nya" (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir [Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah, 2004].

Dalam kitab tafsir ar-Razi disebutkan seluruh mufassir sepakat maknanya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum yang berada dalam nikmat dengan menurunkan azab atau balasan, kecuali jika mereka sendiri melakukan maksiat dan kerusakan. 

Intinya, bencana besar di Sumatra bukan sekadar faktor alam, tetapi buah dari kerusakan sistemik akibat deforestasi, salah kelola lahan, dan kepentingan ekonomi yang lebih diutamakan daripada keselamatan rakyat. Selama kebijakan berjalan dalam sistem yang rusak, bencana akan terus berulang, sebab Allah tidak mengubah nasib suatu kaum hingga mereka sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka.[]