Potret Gen Z Digital ; Cepat, Bebas, tapi Penuh Tekanan
Oleh : Meidy Mahdavikia
Hidup sebagai Gen Z hari ini rasanya hampir mustahil dilepaskan dari layar. Bangun tidur pegang ponsel, belajar lewat internet, cari hiburan di media sosial, bahkan menilai diri sendiri dari respons orang lain. Dunia digital memang memberi banyak kemudahan, tapi di saat yang sama juga membawa beban yang tidak ringan. Seperti dilansir dari *_news.detik.com_ (21/4/2025)*, tekanan media sosial membuat banyak anak muda merasa cemas, takut tertinggal, dan terus-menerus membandingkan diri dengan standar yang sering kali tidak realistis.
Tekanan ini bukan muncul begitu saja. Jumlah pengguna internet di Indonesia yang terus meningkat sebagaimana dikutip dari *_cloudcomputing.id (12/8/2025)_* menunjukkan bahwa ruang digital kini menjadi ruang hidup utama, terutama bagi generasi muda. Sayangnya, ruang ini tidak netral. Ia dibentuk oleh algoritma, tren, dan kepentingan ekonomi. Konten yang diangkat bukan yang paling benar atau paling bermakna, tetapi yang paling menarik perhatian dan menghasilkan keuntungan.
Dalam situasi seperti ini, wajar jika banyak Gen Z merasa lelah. Mereka dituntut selalu produktif, tampil baik, dan relevan. Nilai hidup pun perlahan bergeser yang penting terlihat sukses, disukai, dan diakui. Agama sering dipertanyakan, bukan karena tidak masuk akal, tetapi karena dianggap tidak sejalan dengan gaya hidup modern. Inilah dampak nyata dari sistem sekuler yang memisahkan nilai spiritual dari kehidupan sehari-hari.
Gen Z dan Aktivisme Digital, Antara Peduli dan Letih
Meski begitu, Gen Z bukan generasi yang apatis. Justru sebaliknya, mereka dikenal vokal dan peduli. Seperti dikutip dari *_kompas.id (4/3/2025)_*, aktivisme Gen Z di media sosial tumbuh pesat, mulai dari isu lingkungan, kemanusiaan, hingga keadilan sosial. Media sosial memberi ruang bagi anak muda untuk bersuara tanpa harus punya kekuasaan formal.
Namun, aktivisme digital ini sering terasa cepat naik, cepat juga padam. Banyak gerakan berhenti di unggahan, tagar, atau kampanye singkat. Ada semangat, tapi sering tidak berumur panjang. Salah satu penyebabnya adalah cara pandang yang dibentuk oleh dunia digital itu sendiri yang serba instan, serba responsif, dan haus pengakuan. Perjuangan pun kadang lebih fokus pada citra dibanding dampak nyata.
Lebih jauh, banyak gerakan lahir tanpa pijakan ideologis yang kuat. Ketidakadilan dipahami sebatas kesalahan kebijakan atau individu, bukan akibat sistem yang rusak. Padahal, selama sistem sekuler-kapitalistik tetap menjadi dasar, masalah yang sama akan terus berulang. Akhirnya, Gen Z bergerak, lelah, lalu kecewa bukan karena kurang peduli, tetapi karena diarahkan pada jalan yang tidak menyentuh akar persoalan.
Gen Z, Islam, dan Perubahan yang Bermakna
Di titik ini, yang dibutuhkan Gen Z bukan larangan menggunakan teknologi, melainkan perubahan cara berpikir. Sistem sekuler telah membentuk ruang digital sebagai arena bebas nilai, padahal setiap ruang selalu membawa ideologi. Ketika agama dipinggirkan, standar hidup pun ditentukan oleh manusia dan pasar.
Islam menawarkan arah yang berbeda. Islam tidak memusuhi kemajuan, tetapi memberi kerangka agar kemajuan tidak merusak manusia. Dalam Islam, hidup memiliki tujuan yang jelas, dan setiap aktivitas termasuk bermedia sosial dan berjuang untuk perubahan terikat pada nilai kebenaran, keadilan, dan tanggung jawab.
Dengan paradigma Islam, aktivisme Gen Z tidak lagi berhenti pada simbol atau tren. Perjuangan diarahkan pada solusi yang menyeluruh, menyentuh akar sistem, dan berpihak pada kemaslahatan umat. Gen Z tetap bisa kritis, kreatif, dan relevan, tetapi tidak kehilangan arah.
Tentu, ini bukan tugas individu semata. Keluarga perlu menjadi tempat pertama menanamkan nilai yang kokoh. Masyarakat harus menghadirkan lingkungan yang sehat secara pemikiran. Negara pun punya peran besar dalam melindungi generasi dari hegemoni nilai yang merusak. Jika semua bersinergi, Gen Z tidak hanya akan selamat dari tekanan zaman, tetapi tumbuh sebagai generasi yang sadar arah dan mampu membawa perubahan yang benar-benar bermakna.
Di tengah dunia digital yang bising, Gen Z sejatinya tidak kekurangan suara. Yang mereka butuhkan adalah kompas. Dan Islam menawarkan kompas itu.

Posting Komentar