Perceraian Marak, Keluarga Runtuh, Generasi Rapuh
Oleh : Endang Setyowati
Akhir-akhir ini marak terjadi kasus perceraian.
Perceraian dipahami sebagai akhir dari ketidakstabilan perkawinan antara suami istri yang kemudian hidup terpisah dan diakui secara sah berdasarkan hukum yang berlaku.
Seperti yang dilansir dari Kompas, (07/11/2025), Merujuk data Statista, jumlah perceraian di Indonesia mencapai hampir 400.000 kasus sepanjang 2024. Angka tersebut meningkat 13,1 persen dibandingkan satu dekade lalu. Jika dibandingkan jumlah pernikahan di tahun yang sama, kasus perceraian mengambil proporsi 27 persen.
Jika melihat tren, puncak perceraian tercatat pada 2022 dengan 516.300 kasus. Tren perceraian tetap menunjukkan pola konsisten, semakin tahun semakin banyak pasangan yang mengajukan gugatan cerai.
Tren Perceraian saat ini terjadi tidak pada usia muda yang mereka menikah baru beberapa tahun saja, namun juga terjadi perceraian pada usia senja (Grey divorce) yang telah menikah puluhan tahun. Ternyata retaknya mahligai rumah tangga tidak hanya mengancam pasangan muda yang belum matang secara finansial dan emosional, tetapi terjadi juga pada pasangan yang telah lama mengarungi rumah tangga.
Sejumlah alasan tertangkap mengapa pasangan memilih jalan berpisah. Pada 2024, enam dari sepuluh kasus perceraian disebabkan oleh pertengkaran yang terus-menerus. Dalam konteks ini konflik tak lagi sekadar soal ego, tetapi tentang ketimpangan komunikasi dan tekanan sosial.
Sementara itu, seperempat kasus perceraian dipicu masalah keuangan. Adapun sebanyak 8 persen karena penelantaran pasangan serta sebagian akibat perselingkuhan, perjudian, atau penyalahgunaan alkohol dan narkoba serta KDRT(Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Inilah potret tatkala keluarga tengah "sakit" yang kehilangan fondasinya.
Tatkala hancurnya mahligai rumah tangga, tidak hanya berdampak kepada pelakunya saja (suami-istri) namun juga terhadap keluarga mereka terutama anak-anak mereka. Anak dari hasil keluarga bercerai sangat rentan mengalami depresi, kecemasan berlebihan, kesepian serta trauma psikologis.
Karena mereka kehilangan sosok untuk panutan merasa tidak aman, bahkan mengalami penurunan kemampuan berfikir dan prestasi belajar. Dalam jangka panjang anak-anak akan tumbuh menjadi generasi yang rapuh, emosional, sulit membangun kepercayaan, tidak stabil dan kehilangan arah hidupnya.
Maka anak-anak akan tumbuh tanpa ada teladan keluarga yang utuh maka mereka akan kehilangan kesabaran, tanggung jawab, sehingga akan terjadi krisis sosial, kekerasan remaja, krisis remaja dan ketiadaan nilai spiritualitas pada dirinya.
Perceraian marak terjadi karena kita saat ini menerapkan sistem sekuler kapitalisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Karena dalam sistem sekuler pernikahan tidak lagi dipandang sebagai ibadah, yang mana tatkala mereka ada masalah atau sudah tidak cocok lagi maka perceraianlah jalan keluarnya, dengan mudah mereka memutuskan mahligai rumah tangga yang diucapkan dengan janji suci.
Selain itu, pendidikan berpengaruh atas hancurnya mahligai rumah tangga ini, karena tidak ada lagi nilai taqwa dan tanggungjawab sebagai fondasi keluarga melainkan hanya keterampilan duniawi. Dan lagi serangan media hiburan yang menyajikan para publik figur banyak yang bercerai menjadikan tontonan menjadi tuntunan serta logaritma digital ikut menanamkan budaya hedonisme dan individualisme.
Di sisi lain, sistem ekonomi Kapitalisme menekan suami istri dalam kompetensi hidup yang susah dan keras. Dihimpit oleh kebutuhan pokok yang terus meroket namun lapangan pekerjaan yang sulit dijangkau oleh para lelaki sehingga "memaksa" para istri untuk mengambil alih peran menjadi tulang punggung yang akibatnya hilanglah kesabaran dan qonaah menjadikan keluarga medan konflik.
Dalam sistem sekuler hanya menyelesaikan permasalahan yang ada dengan tambal sulam, yang mana ketika menyelesaikan sebuah permasalahan malah justru menimbulkan masalah yang lain.
Karena tidak menyentuh akar masalahnya, negara hadir hanya sebagai regulator saja.
Tatkala negara tidak bisa lagi menjaga institusi keluarga maka keluarga Muslim sedikit demi sedikit akan tergerus dengan sistem yang ada saat ini. Dengan menormalisasi istilah atau gagasan tentang pemberdayaan perempuan, persamaan gender, dan juga tatkala wanita yang sudah menikah harus mandiri dari segi finansial.
Sehingga semua berdampak sistemis dan mengancam kedudukan keluarga Muslim. Dengan melunturkan nilai-nilai agama, meruntuhkan ketahanan sosial bahkan membuka kontrol budaya dan ekonomi yang bebas, maka mengakibatkan perceraian serta melahirkan generasi yang rapuh.
Di dalam Islam keluarga merupakan fondasi awal untuk mendidik generasi agar kelak menjadi generasi yang cemerlang dan tangguh serta berbudi pekerti yang luhur serta mempunyai akidah yang kuat. Karena di dalam sistem pendidikan Islam, setiap individu dibina agar memiliki pemikiran dan kepribadian Islam.
Sedari kecil anak-anak telah diarahkan agar pola pikir dan pola sikapnya berpijak pada akidah Islam. Anak-anak dididik agar mengenal dan taat kepada penciptanya yaitu Allah SWT, sehingga paham betul keberadaan mereka di bumi ini untuk menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan Allah. Maka dengan sendirinya akan sadar bahwa pernikahan juga merupakan bentuk dari ibadah, sehingga tidak akan main-main dengan kata pernikahan, akan berfikir ulang ketika akan bercerai.
Selain itu, kedudukan suami istri dalam Islam bukan sebagai komandan dan prajurit, namun bagaimana mereka bisa menunaikan hak dan kewajiban masing-masing dalam bingkai ketakwaan. Suami sebagai pemimpin(qowwam) yang bertanggung jawab, sedangkan istri sebagai ummun wa robatul bait yaitu pengurus rumah tangga yang mulia.
Tugas seorang suamilah untuk mencarikan nafkah istri dan anak-anaknya. Maka istri tidak akan dipaksa sebagai tulung punggung seperti saat ini. Sehingga istri bisa lebih fokus untuk mengurus keluarga dan anak-anaknya, menyiapkan anak-anaknya menjadi generasi yang cemerlang yang tidak hanya pandai akademik saja namun beraqliyah dan bersakhsiyah Islami, karena ibu merupakan madrasah ula sekolah pertama bagi anak-anaknya.
Di dalam Islam, tugas negara untuk memastikan kesejahteraan rakyatnya, sehingga terpenuhi semua kebutuhannya yang meliputi; sandang, pangan, papan, pendidikan kesehatan dan keamanan.
Dari mana dana segitu banyaknya untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya? Negara bisa mengelola sumber daya alam yang melimpah ini dengan optimal agar bisa dirasakan manfaatnya oleh seluruh rakyatnya.
Selain itu, negara juga menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi laki-laki dan para suami, membangun skill dan keahlian kerja, sehingga sistem ekonomi ditopang oleh kebijakan negara yang adil dan bebas riba. Dan negara akan menutup setiap celah yang bisa mendatangkan kemudharatan semisal judol, pinjol dan sejenisnya.
Keluarga merupakan benteng terakhir peradaban, maka sudah seharusnya dijaga agar kelak melahirkan generasi yang kuat jasmani, kuat akidahnya, bersih jiwanya dan siap menegakkan kemuliaan ummat. Hal ini akan tercapai tatkala kita mau menerapkan sistem Islam secara kaffah tanpa memilah dan memilih.
Wallahu a'lam bi showab

Posting Komentar