-->

Generasi Muda Takut Nikah, Luka Ekonomi Kapitalisme


Oleh : Ummu Aqila 

Fenomena semakin banyaknya generasi muda Indonesia yang takut menikah seakan menjadi cermin retak dari sistem ekonomi kapitalisme yang terus menciptakan ketidakpastian hidup. Bagi sebagian besar anak muda hari ini, pernikahan bukan lagi dipandang sebagai ibadah atau jalan membangun keluarga, melainkan beban ekonomi yang menakutkan. Narasi “marriage is scary” membanjiri media sosial, memperkuat persepsi bahwa menikah identik dengan penderitaan finansial.

Fenomena ini bukan sekadar trend sosial, tetapi potret luka struktural yang dihasilkan oleh sistem ekonomi yang tidak berpihak pada rakyat.

Fakta Lapangan: Pernikahan Dihantui Rasa Takut Miskin

Laporan Kompas.id (2025) menunjukkan bahwa generasi muda Indonesia lebih takut menjadi miskin daripada tidak menikah. Dalam laporan tersebut ditulis:
“Tekanan biaya hidup yang semakin tinggi membuat generasi muda cenderung menunda pernikahan karena kekhawatiran tidak mampu memenuhi standar ekonomi keluarga.”

Mulai dari harga kebutuhan pokok, biaya sewa hunian, hingga ketatnya persaingan kerja, semua semakin menambah kegelisahan. Banyak anak muda percaya bahwa kestabilan ekonomi adalah syarat utama menikah. Mereka takut memulai keluarga dalam situasi finansial yang tidak ideal—dan kekhawatiran itu bukan tanpa alasan.

Berita lain dari berbagai platform menguatkan bahwa narasi marriage is scary kian viral, terutama di kalangan Gen Z yang gelisah menghadapi masa depan serba mahal dan tidak pasti.

Akar Masalah: Kapitalisme Melahirkan Rasa Takut, Bukan Harapan

Ketakutan untuk menikah sebetulnya bukan muncul karena lembaga pernikahan itu sendiri, tetapi karena kondisi hidup dalam sistem kapitalisme yang serba menekan. Ada beberapa penyebab utama:

1. Biaya Hidup Tinggi, Lapangan Kerja Sulit, Upah Rendah

Kapitalisme menciptakan jurang besar antara biaya hidup dan pendapatan. Harga pangan melambung, hunian tak terjangkau, kesehatan dan pendidikan mahal. Sementara itu, lowongan pekerjaan tidak sebanding dengan jumlah pencari kerja. Akibatnya, hidup terasa berat bahkan sebelum menikah.

2. Negara Lepas Tangan, Rakyat Menanggung Beban Individu

Negara—yang seharusnya menjadi pelindung dan penjamin kesejahteraan—lebih sering bertindak sebagai regulator yang mengutamakan kepentingan pasar. Kebutuhan dasar rakyat diserahkan pada mekanisme pasar, sementara rakyat dipaksa bertahan sendiri. Maka tidak heran, menikah dianggap menambah beban, bukan membuka kebaikan.

Sabda Rasulullah ﷺ mengingatkan:

“Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan bertanggung jawab atas rakyatnya.”
(HR. Bukhari)

Jika kesejahteraan diserahkan pada individu, jelas negara sedang abai atas amanahnya.

3. Gaya Hidup Materialis dari Pendidikan Sekuler dan Media Liberal

Anak muda dibentuk oleh budaya kapitalistik yang menilai kebahagiaan dari materi. Pernikahan pun dipersepsikan sebagai proyek mahal: harus punya rumah dulu, pesta mewah, mahar tinggi, dan standar hidup tinggi. Padahal Islam tidak pernah mensyaratkan itu semua.

4. Pernikahan Dipandang Beban, Bukan Ladang Kebaikan

Akibat tekanan ekonomi dan budaya hedon, makna pernikahan sebagai ibadah, ketenangan jiwa, dan penjagaan keturunan memudar. Padahal Allah berfirman:
 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya…”(QS. Ar-Rum: 21). Pernikahan adalah rahmat, bukan ancaman.

Solusi Islam: Pernikahan Menjadi Jalan Kemuliaan, Bukan Ketakutan

Islam memiliki sistem yang bukan hanya menasihati individu, tetapi mengatur struktur masyarakat agar pernikahan mudah, murah, dan penuh keberkahan.

1. Negara Menjamin Kebutuhan Dasar Rakyat
Dalam sistem ekonomi Islam, negara wajib memenuhi kebutuhan primer rakyat seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan. Dengan terpenuhinya kebutuhan dasar, rakyat tidak hidup dalam ketakutan ekonomi, dan pernikahan tidak lagi menambah beban.
2. Pengelolaan Milkiyyah ‘Amah oleh Negara
Sumber daya alam, energi, hutan, tambang, dan air adalah milik umum, bukan untuk diprivatisasi. Negara mengelolanya dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat melalui fasilitas murah dan lapangan kerja luas. Ini secara langsung menekan biaya hidup.
3. Pendidikan Berbasis Aqidah, Bukan Materialisme
Melalui pendidikan Islam, generasi dibentuk menjadi pribadi berkarakter: bekerja sebagai ibadah, sederhana dalam hidup, dan menjadikan pernikahan sebagai penjaga fitrah. Mereka tidak terjebak standar materialis yang menakut-nakuti.
4. Penguatan Institusi Keluarga
Islam mendorong pernikahan sebagai ibadah, ketenangan, dan penjaga keturunan. Negara, masyarakat, dan ulama bersinergi menghilangkan budaya yang mempersulit pernikahan: pesta mahal, standar sosial tinggi, dan tuntutan materi yang berlebihan.

Saatnya Menyembuhkan Luka Ekonomi Kapitalisme

Ketakutan generasi muda terhadap pernikahan bukan salah mereka. Ini adalah luka dari sistem kapitalisme yang gagal menyejahterakan rakyat dan menjadikan kehidupan serba mahal. Islam datang dengan solusi struktural: menenangkan hati, menenangkan ekonomi, dan memuliakan pernikahan sebagai jalan ibadah.

Agar generasi muda tidak lagi takut menikah, kita harus mengembalikan pengaturan hidup kepada syariat yang telah terbukti menyejahterakan manusia sepanjang sejarah.

Wallahu 'alam bishowab