PENANGANAN BENCANA, TANGGUNG JAWAB SIAPA?
Oleh : Evi Derni S.Pd
Pemerintah mengerahkan berbagai upaya untuk menangani bencana banjir dan longsor yang menimpa tiga provinsi di Sumatera yakni Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Proses penanganan bencana tersebut langsung dikomandoi oleh Presiden Prabowo Subianto, Menteri dalam negeri Tito karnavian menegaskan perbaikan terhadap infrastruktur di daerah terdampak bencana akan dilakukan setelah tahap darurat krisis sebab hingga saat ini semua pihak sedang fokus melakukan evakuasi para korban. Tahap yang pertama adalah bagaimana untuk mengevakuasi korban sedang berjalan, ada yang masih tertimbun kemudian juga membantu korban yang terdampak baik yang rumahnya tergenang, ada di pengungsian dan lain-lain.(kompas.com 02/12/2025).
Banyak perumpamaan yang digunakan oleh setiap mata yang melihat akan kondisi pasca bencana di tiga wilayah tersebut. Bahkan ada istilah kota zombie. Dengan kondisi pasca bencana yang sedemikian memprihatinkan bukannya mengambil tindakan tanggap darurat, bencana di Sumatera tidak ubahnya panggung pencitraan para pejabat. Ada bupati yang seolah lari dari tanggung jawab mengurusi warganya yang menjadi korban bencana dengan dalih tidak sanggup menangani dan sudah menyerahkan tanggung jawab kepada pemerintah pusat.
Para pejabat di pusat pun tidak jauh berbeda. Mereka datang bukan dengan niat tulus mengurus korban tapi lebih mengutamakan gimmick seperti memanggul beras, ikut mengepel rumah korban banjir, juga mengenakan sepatu bot seakan- terjun langsung membantu korban di lokasi berlumpur .sayang aksi tersebut hanya dalam rangka meraih validasi di media sosial.
Ada pula pernyataan seorang menteri yang menggelitik bahwa listrik di kawasan bencana sudah menyala 97% padahal realitasnya maksimal baru sekitar 60%. Alih-alih menampilkan kapabilitas kepemimpinan saat kondisi darurat bencana, mereka lebih tampak sebagai pejabat Nir empati.
Potret pejabat nir empati tidak terlepas dari latar belakang mereka meraih kursi kekuasaan. Tidak sedikit dari mereka yang merupakan produk politik transaksional ,akibatnya yang menonjol dari mereka adalah pencitraan. Mereka menjadi pemimpin bukan karena kapasitasnya tapi cenderung karena dukungan dana dibalik pemilihannya.
Total korban baik korban jiwa, korban hilang, maupun korban yang mengungsi sudah mencapai jutaan. Penanganan terbaik bagi korban bencana bukanlah sekedar langkah teknis berupa evakuasi dan penyelamatan. Pemerintah seharusnya memastikan dan menjamin perlindungan semua korban. Secara praktis mereka sudah trauma karena terdampak bencana jangan sampai fisik mereka turut tercabik akibat nihilnya perlindungan .Pemerintah juga harus menerbitkan berbagai kebijakan strategis termasuk pemulihan pasca bencana ,seperti jaminan tempat tinggal, pendidikan ,kesehatan ,pekerjaan, dan keamanan .semua ini agar masyarakat dapat kembali pulih sebagaimana sebelum bencana.
Maka dari itu rakyat membutuhkan pemimpin yang dapat mengurus dan memperhatikan urusan mereka dengan tulus dan ikhlas terlebih di tengah situasi bencana,dan sosok pemimpin seperti ini hanya ada dalam sistem Islam di mana fungsi kepemimpinan menurut syariat Islam adalah mengurusi urusan umat (roin )dan menjaga mereka (junnah) inilah profil pemimpin visioner yang akan mengerahkan segala upaya untuk melindungi baik saat bencana maupun tidak karena itulah kewajibannya.
Wallahu a'lam bishawab

Posting Komentar