-->

Paparan Konten Berbahaya: Islam Kaaffah Menangkisnya


Oleh: Hamnah B. Lin

Generasi hari ini lebih banyak waktunya bersama ruang digital ketimbang ruang nyata. Keluasan ruang digital mampu mendorong aktivitas mereka ke dunia nyata. Maka tak heran banyaknya kasus pembunuhan, bulying, pornoaksi, dan sebagainya adalah hasil dari ruang digitalisasi.

Data WHO menunjukkan bahwa pemakaian gadget dan paparan konten online berdampak nyata terhadap kesehatan mental remaja, termasuk peningkatan kecemasan, depresi, dan stres akibat tekanan sosial di media sosial (WHO, 25/09/2024). Sementara itu, studi dari University of Cambridge melaporkan bahwa remaja yang lebih rentan terhadap kondisi kesehatan mental, seperti kecemasan atau depresi, lebih mudah terpengaruh dampak negatif media sosial. Mereka menunjukkan pola penggunaan yang tinggi, perbandingan diri ke media, dan perubahan suasana hati yang drastis ketika menerima umpan balik negatif secara daring (University of Cambridge, 06/05/2025).

Fakta ini makin membuka mata kita, bahwa konten di ruang digital sangat mempengaruhi pemahaman sekaligus membawa pengaruh terhadap aktivitas penikmatnya. Utamanya generasi muda yang sedang mencari jati dirinya, informasi yang tidak tepat akan membawa dampak buruk terhadap generasi.

Indonesia sebagai negara sekuler yang mengedepankan asas manfaat daripada dampak buruknya, akan membiarkan ruang digital tetap ada tanpa filter yang melindunginya. Negara lalai terhadap pengawasan konten - konten digital berbahaya bahkan terkesan membiarkannya. Negara yang berfungsi sebagai pelindung telah hilang, berganti menjadi negara pebisnis yang serba mencari keuntungan dalam setiap mengurusi urusan rakyatnya.

Pemuda atau generasi menjadi target empuk untuk diperas tenaga dan pemikirannya demi kepentingan industri, bekerja dan bekerja. Penghasilan mereka pun menjadi sasaran untuk tetap mengalir kepada kapitalis pemilik usaha food, fashion, fun, film. Sungguh generasi hari ini tidak sesungguhnya bisa merdeka.

Dalam pandangan Islam, generasi muda bukan sekadar kelompok usia, tetapi aset peradaban. Rasulullah ﷺ memberikan perhatian besar kepada pemuda, sebagaimana dalam sabdanya: “Ada tujuh golongan yang akan mendapat naungan pada hari ketika tidak ada naungan selain naungan Allah, salah satunya adalah pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah.” (HR. Bukhari & Muslim). 

Dalam sistem pemerintahan Islam, negara memiliki tanggung jawab besar untuk membina dan menjaga generasi muda. Pendidikan dirancang untuk membangun akhlak, akidah, serta sakhsiyah Islam sejak kecil, sehingga anak tidak tumbuh sebagai konsumen pasif teknologi, melainkan pribadi yang kritis dan beradab. 

Selain pendidikan, peran orang tua juga diperkuat. Dalam Islam, orang tua adalah madrasah pertama yang membentuk karakter anak. Negara memberikan dukungan agar keluarga menjadi tempat yang kondusif bagi tumbuhnya kepribadian yang tangguh. 

Lingkungan sosial pun didorong untuk menjalankan fungsi kontrol melalui amar makruf nahi mungkar, sehingga masyarakat secara kolektif menjaga kesehatan moral dan mental generasi.

Dalam pengelolaan dunia digital, negara Islam menerapkan pengaturan yang ketat. Konten digital diawasi agar hanya yang memiliki nilai kebaikan dan tidak merusak akhlak yang boleh beredar. Platform media sosial tidak otomatis diizinkan beroperasi; semuanya dinilai berdasarkan keamanan moral dan mental pengguna. Batas usia akses diterapkan dengan serius, bukan sebagai formalitas belaka. Teknologi AI pun diatur agar tidak digunakan untuk manipulasi atau eksploitasi psikologis, tetapi diarahkan untuk memberikan manfaat nyata bagi umat.

Pada akhirnya, persoalan ini bukan hanya tentang gadget atau screen time. Akar permasalahannya jauh lebih dalam, yakni pada sistem kapitalisme yang menjadikan manusia sebagai obyek komodifikasi demi keuntungan. Selama sistem ini tetap menjadi fondasi pengelolaan teknologi, kerusakan mental generasi muda akan terus berulang.

Islam menawarkan sistem yang mengembalikan kemuliaan manusia sebagai makhluk terbaik ciptaan Allah, bukan sekadar target pasar. Dengan visi peradaban yang agung, Islam mampu mengembalikan teknologi kepada fungsi sejatinya: alat untuk memuliakan manusia, membangun ilmu, dan memperkuat peradaban bukan menghancurkannya.
Wallahu a'lam bisshowwab.