-->

Merindu Penguasa yang Takut pada Yang Maha Kuasa

Oleh : Ida Nurchayati

Viral video reporter salah satu stasiun tv swasta yang meliput pasca bencana banjir bandang di Aceh, Sumatra Barat dan Sumatra Utara. Tangisan yang sama dari seorang yuo tuber dan konten creator dari lokasi bencana. Jurnalis CNN juga sambil menagis terisak mengabarkan betapa kondisi korban bencana sangat memprihatinkan. Mereka kelaparan dan sangat bergantung pada bantuan relawan untuk mempertahankan hidup. Anak-anak berdiri dipinggir jalan meminta bantuan makanan. Sementara para relawan seakan menyerah karena sulit dan beratnya medan. Pasca bencana banjir, rakyat terancam bencana kelaparan. 

Mereka menangis tak kuasa menahan rasa yang berkecamuk dalam dada. Sedih, haru kasihan melihat korban terdampak. Juga rasa kesal melihat tingkah laku penguasa yang lamban menurunkan bantuan serta tidak kunjung mengeluarkan kebijakan penanganan pasca bencana dan justru sibuk dengan pencitraan.

Kurang lebih dua pekan pasca bencana, rakyat belum bisa mengakses listrik, air bersih bahkan masih banyak mayat yang terjebak dibawah lumpur bercampur kayu gelondongan. Pejabat lebih sibuk dengan pencitraan dan fokus menggelar seremonial berbau pluralisme dan sinkretisme. Padahal mereka diangkat sebagai penguasa agar mengurus keperluan rakyat. Terlebih dalam bencana yang luar biasa dampaknya, mereka lamban mengambil kebijakan bahkan kurang peduli bahkan justru nir empati.

Penguasa Pencitraan dalam Sistem Sekuler

Penguasa dalam sistem sekuler terpilih melalui pemilu demokrasi berbiaya mahal. Kontestan harus berkantong tebal, kalau tidak mapu mereka harus mencari cukong politik yang mau membiayai hingga tampuk kekuasaan. Wajar ketika dia terpilih akan lebih peduli untuk mengurus kepentingan oligarki daripada mengurus rakyatnya. Rakyat dalam sistem demokrasi bak pendorong mobil mogok, ketika mobil sudah berjalan nasibnya terlupakan. Suara rakyat diambil tiap lima tahun sekali dibilik-bilik pemilu sekedar untuk stempel legitimasi. Faktanya penguasa terpilih adalah pilihan ketua parpol atas persetujuan oligarki, suara rakyat diambil sebagai legalitas.

Fungsi penguasa hanya sebagai fasilitator dan regulator untuk melayani kepentingan korporasi. Wajah asli mereka tampak dalam penanganan bencana, terkesan lamban bahkan kurang peduli dan nir empati. 

Penguasa enggan menetapkan kejadian luar biasa ini sebagai bencana nasional. Status bencana nasional akan membuka topeng mereka. Akan menelanjangi wajah-wajah penguasa dan pengusaha penyebab bencana banjir bandang karena masifnya deforestasi. Bencana tanda tangan yang disebabkan ugal-ugalan dalam memberi konsesi tambang maupun alih fungsi hutan menjadi industri kelapa sawit. Status bencana nasional akan menyingkap persekongkolan sekaligus kerakusan penguasa dan pengusaha. Merekalah yang selama ini mengeruk dan menikmati sumber daya alam sementara rakyat menjadi korban kerakusan mereka.

Rindu Penguasa Amanah

Tidak ada sistem yang mampu melahirkan pemimpin yang adil sebagaimana dalam sistem Islam setelah diutusnya Rasulullah SAW. Islam menegaskan bahwa penguasa adalah ra'in yang berkewajiban mengurus kepentingan rakyatnya. Rasulullah SAW bersabda,

“Sayyid al-qawm khâdimuhum (Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka).” (HR Abu Nu‘aim).

Penguasa dalam Islam adalah pelayan bertanggungjawab dunia akhirat akan rakyatnya. Dia bertanggungjawab atas pemenuhan kebutuhan pokok rakyatnya baik individu seperti sandang, pangan dan papan, maupun kebutuhan pokok komunal seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan.Tugas dan tanggungjawab yang tidak ringan, yang kelak akan dihisab di hadapan Sang Khalik. 

Sejarah mencatat bagaimana Islam melahirkan sosok-sosok pemimpin yang adil, bijaksana dan mencintai rakyatnya. Begitu tinggi kepedulian mereka terhadap kondisi dan nasib rakyatnya. Amirul Mukminin Umar bin Khattab sebagai contohnya. Beliau berkeliling setiap malam untuk memastikan bahwa rakyatnya tidak ada yang kelaparan. Hingga pada suatu hari ketika tengah berjalan di Medinah, beliau menemukan seorang ibu yang memasak batu untuk menenangkan anak-anaknya hingga tertidur. Menyaksikan realitas tersebut, beliau tertegun dan menyadari bahwa hal tersebut menjadi bagian yang akan beliau pertanggungjawabkan dihadapan Allah. Maka beliau langsung menuju baitul mal mengambil gandum dan bahan lainnya dan memanggulnya sendiri. Ketika pembantunya menawarkan bantuan, beliau menolak seraya berkata, "Apakah kamu akan memikul bebanku kelak dihadapan Allah?

Bahkan ketika Medinah mengalami masa paceklik beliau hanya makan roti kering, cuka dan minyak. Betapa beliau berhati-hati memegang amanah ini. Pemimpin sejati adalah pemimpin yang mencintai rakyatnya. Pemimpin yang ketika lapar maka dia lapar duluan dibanding rakyatnya. Sebaliknya ketika kenyang maka dia kenyang belakangan dibanding rakyatnya.

Khatimah

Dalam Islam, kepemimpinan bukan sekadar mendudukkan seorang Muslim di panggung kekuasaan. Yang lebih penting adalah bagaimana kekuasaan digunakan untuk menjaga, menerapkan dan mendakwahkan Islam serta bertanggung jawab dunia akhirat dalam mengurus rakyat dengan hukum-hukum Islam. Khalifah ‘Umar ra. pernah berkata:

“Andai seekor domba mati di pinggiran sungai Eufrat dalam kondisi terbuang (tersia-sia), sungguh aku berpikir bahwa Allah akan meminta pertanggungjawabanku tentang itu pada Hari Kiamat.”

Begitulah sosok pemimpin dalam sistem Islam yang tidak mungkin dijumpai dalam sistem kapitalisme. Maka ketika kita merindukan pemimpin yang amanah, pemimpin yang takut akan hisab Rabb-nya maka tidak cukup hanya memilih sosok pemimpin melalui pemilu demokrasi. Lebih dari itu pemimpin sejati yang adil dan murah hati hanya akan lahir dari peradaban Islam. Maka tugas utama kita adalah mewujudkan kehidupan Islam lebih dahulu dengan dakwah berjamaah dalam wadah partai politik ideologis. Dari peradaban Islamlah lahir pemimpin yang takut pada Yang Maha Kuasa.

Wallahu a'lam.