-->

Manusia Berjiwa Kapitalis Abaikan Dosa Ekologis


Oleh : Ummu Fathan

Ekologi merupakan sistem besar yang berkaitan dengan jaminan hidup jutaan nyawa manusia, hewan, dan tumbuhan. Interaksi yang baik di antara semua komponennya dapat dipastikan membawa pada kelangsungan ekologi dalam kondisi stabil dan seimbang. Sebaliknya interaksi yang terganggu pada salah satu komponennya dapat menjadi faktor penyebab gangguan siklus ekologi. Jika dibiarkan berkepanjangan, maka bukan tidak mungkin kerusakan ekologi muncul sebagai persoalan.

Kerusakan ekologi dapat dipahami sebagai gangguan atau penurunan kualitas lingkungan hidup, ekosistem, serta keanekaragaman hayati akibat faktor alam maupun aktivitas manusia. Hal ini mencakup pencemaran air dan udara, penebangan hutan, hilangnya habitat, serta perubahan mendasar pada suatu ekosistem yang mengancam kelangsungan makhluk hidup dan keseimbangan alam. 

Belakangan dapat diketahui bahwa kerusakan ekologi karena aktivitas manusia semakin terlihat nyata. Mulai dari kasus pencemaran (air, udara, tanah) yang lazim terjadi di kota-kota padat pemukiman, ramainya kasus penebangan dan alih fungsi lahan (deforestasi), pembuangan limbah industri dan sampah, hingga eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.

Semua aktivitas ini membawa pengaruh negatif pada ekosistem, apalagi jika dilakukan secara masif dan dalam jangka waktu yang panjang. Bukan hanya negatif melainkan sudah sampai pada level meningkatnya ancaman resiko bencana. Bencana tentu saja akan mengancam nyawa manusia, dan pada akhirnya bisa memusnahkan spesies hewan ataupun tumbuhan di lokasi kejadian.

Fenomena terbaru adalah bencana yang terjadi di Sumatera akhir tahun 2025 ini. Kendati berupa banjir, namun daya rusaknya sangat luas dan parah. Sebab banjir bukan hanya mengalirkan air, melainkan membawa material lumpur dan batang kayu gelondongan dalam jumlah yang sangat banyak. Spesies hewan dan tumbuhan, nyawa manusia, areal pertanian, bahkan rumah sekalipun terseret tak bersisa. Sungguh sangat memprihatikan.

Akan tetapi, peristiwa serupa tidaklah sekali ini saja. Di beberapa daerah, banjir bandang pernah terjadi dan melumpuhkan aktivitas manusia. Namun yang mengusik tanya adalah mengapa di banjir yang terjadi bisa ada gelondongan kayu dalam jumlah sangat banyak? Mungkinkah kayu yang bekas potongannya rapi, ranting dan daunnya bersih, bisa tumbang sendiri? Apakah kayu-kayu sebanyak itu dikarenakan mereka mau tumbang berbarengan?

Maka, tidak mengherankan jika dugaan ilegal logging mencuat pasca ditemukan sebaran video tumpukan kayu yang terbawa banjir. Penelusuran warga dunia maya pun menelisik sampai pada alasan mengapa hutan dibabat, apakah ada aktivitas besar dibaliknya selain penanaman perkebunan sawit? Beberapa video beredar menunjukkan sejumlah titik pertambangan. Dan lokasinya tidak di area yang minim potensi bencana.

Dari sini, ada garis merah antara kerusakan hutan-banjir-dan aktivitas ekonomi yang merusak ekosistem. Jika bukan satu tempat, maka yang patut dicermati adalah manusia-manusia di belakang kejadian ini. Mereka dapat dikatakan sebagai kapitalis yang abai pada dosa ekologis. Secara sepihak mau meraih keuntungan jangka pendek di depan mata, tapi lupa akan konsekuensi jangka panjang yang mampu membahayakan banyak aspek. Jika aktivitas demikian mendapatkan izin, maka sungguh patut dipertanyakan bagaimana moral pemberi kebijakan pada hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak ini.

Watak kapitalis seperti ini sejatinya bukan terbentuk sehari dua hari, tetapi sudah lama mengakar kuat lantaran banyak dan biasa yang berbuat serupa. Dan watak seperti ini akan bisa dikendalikan jika ada ketegasan dari pihak berwenang untuk mengatakan tidak pada aktivitas perusakan alam sekaligus ada keberanian memberikan sanksi pada yang terbukti melanggar. Ketegasan dan keberanian seperti ini akan lahir dari negara yang kekuasaannya diemban oleh manusia takut dosa, yang paham akan regulasi agama dalam menjaga dan memelihara ekologinya.

Islam menegaskan bahwa merusak alam adalah perkara terlarang. Merusak bumi dilarang tegas dalam Al-Qur'an surat Al-A'raf ayat 56. Kerusakaan akibat ulah tangan manusia juga diingatkan dalam Al-Qur'an surat Ar Ruum ayat 41. Sehingga demi menjaga kerusakan alam banyak hal yang bisa dilakukan sesuai kacamata Islam. Jika semata-mata murni karena pengaruh fenomena alam, maka bencana diwaspadai kapan terjadinya, diminimalisir dampaknya, dan diedukasi kesiapan manusianya. Dalam hal ini kebijakan mitigasi diaktifan secara maksimal.

Jika bencana diduga diperparah oleh kepentingan manusia kapitalis yang serakah pada alam, maka dalam hal ini kebijakan politis yang akan dijalankan. Kepemimpinan dalam Islam akan dimintai pertanggungjawaban soal menjaga nyawa dan ekologi. Islam menjadikan elemen kekuasaan memiliki tata ruang berbasis maslahat yang mengedepankan pencegahan sebelum kerusakan. 

Kekuasaan akan dibuat punya kekuatan untuk melindungi ekosistem melalui tidak diberikannya izin eksploitasi sumber daya alam yang merusak ekologi, menetapkan adanya kawasan hutan lindung tanpa bisa ditawar dan dibeli, mengelola sumber daya sesuai dasar-dasar kepemilikan tanpa tunduk pada tawaran ataupun janji korporasi. Dan semuanya dilakukan dalam paradigma sadar bahwa alam ini adalah milik Allah, sehingga harus dikelola sesuai aturan yang datangnya dari pemiliknya, yaitu Islam. Jika ada kepemimpinan seperti ini, niscaya dapat dihilangkan manusia-manusia kapitalis yang abai soal ekologis. Dan kembali hadirnya kepemimpinan ini adalah tanggung jawab bersama kita.[]