-->

Krisis Mental dan Dekadensi Kognitif Era Kapitalistik, Urgensi Solusi Islam Politik


Oleh : Siti Nurhalizah (Aliansi Penulis Rindu Islam)

Generasi muda Indonesia, sebagai penerus estafet kepemimpinan bangsa, kini menghadapi ancaman serius yang mengintai dari perangkat digital. Kita sedang menyaksikan epidemi gangguan kesehatan mental yang dipicu oleh paparan layar atau screen time yang tak terkendali. Situasi ini telah diakui oleh otoritas tertinggi, Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI, 2025) melaporkan bahwa screen time harian yang mencapai rata-rata 7,5 jam telah menjadi kontributor utama lonjakan masalah kesehatan mental pada populasi remaja. Ini bukan lagi sekadar kebiasaan buruk, melainkan krisis struktural yang memerlukan intervensi serius.

Faktanya, sebagian besar warga Indonesia menunjukkan indikasi kecanduan gadget akut. Ketergantungan yang masif pada perangkat digital ini membawa konsekuensi serius, melampaui sekadar masalah waktu. Penggunaan gadget berlebihan telah dikaitkan dengan fenomena digital dementia, yakni penurunan signifikan pada fungsi kognitif, daya ingat, dan kemampuan berpikir kritis akibat terlalu bergantung pada kemudahan digital (Journal of TSCS1Kep, 2025). Proses berpikir mendalam tergantikan oleh penerimaan informasi instan. Lebih lanjut, paparan konten yang terus menerus dan dangkal memicu apa yang disebut Brain Rot, yang secara efektif menurunkan daya analisis dan regulasi emosi pada remaja (DKIS Kota Cirebon, 2025). Akibatnya, alih-alih terhubung, mereka justru mengalami isolasi sosial dan kesepian di tengah keramaian dunia maya.

Krisis ini diperparah oleh ketiadaan implementasi pembatasan usia yang efektif dalam penggunaan media sosial di Indonesia. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 yang berupaya membatasi akses anak di bawah umur ke layanan digital berisiko tinggi (Tirto.id, 2025), pengawasan verifikasi usia pada platform global terbukti lemah. Padahal, media sosial, didukung oleh Kecerdasan Buatan (AI), telah terbukti merusak psikologi remaja. Algoritma AI dirancang untuk memaksimalkan durasi pengguna berada di platform, seringkali menyajikan konten yang memicu perbandingan sosial yang destruktif, menghasilkan kecemasan, dan meningkatkan risiko depresi (Kompasiana, 2024; AIA Financial, n.d.). Dengan demikian, teknologi yang seharusnya memajukan kini justru menjadi predator mental.

Krisis kesehatan mental yang melanda generasi muda bukanlah sekadar masalah psikologis individual, melainkan konsekuensi sistemik dari Kapitalisme Digital. Platform media beroperasi di bawah model Surveillance Capitalism (Zuboff, 2019), di mana profit diakumulasikan melalui eksploitasi atensi pengguna, yang kemudian dikomodifikasi menjadi data perilaku prediksi. Platform dirancang secara psikologis dengan fitur adiktif seperti infinite scroll dan algoritma rekomendasi untuk memaksimalkan engagement (Newport, 2019). Dalam kalkulasi bisnis yang murni berbasis laba, tekanan psikologis dan digital dementia pada remaja diperlakukan sebagai biaya eksternal (externalized cost) (Rodrik, 2020), yang dampaknya ditanggung oleh masyarakat sementara keuntungannya dinikmati oleh korporasi. Bukti internal perusahaan telah mengonfirmasi pengetahuan tentang korelasi negatif antara platform dan citra diri remaja, namun solusi mendasar diabaikan demi mempertahankan profitabilitas (The Wall Street Journal, 2021).

Kegagalan tata kelola (governance failure) di Indonesia memperparah situasi ini. Negara berada dalam asimetri kekuatan negosiasi melawan Big Tech dan sering bertindak reaktif. Regulasi yang ada, seperti PP 17 Tahun 2025, rentan terhadap celah regulasi (regulatory gap) dalam implementasi verifikasi usia dan standar konten (Hukumonline, 2025), menjadikan Indonesia pasar yang rentan terhadap eksploitasi. Krisis mental ini adalah manifestasi empiris dari kegagalan sistem yang mengutamakan laba finansial di atas kualitas manusia dan kesejahteraan psikologis. Oleh karena itu, diperlukan arsitektur kebijakan negara yang berani menempatkan perlindungan generasi sebagai aset strategis di atas imperatif keuntungan materi.

Untuk menanggulangi krisis sistemik yang diakibatkan oleh Kapitalisme Digital, dibutuhkan kerangka negara yang tegak di atas pondasi ideologi, bukan sekadar kepentingan pasar. Konsep negara berbasis syariat, seperti Khilafah, menawarkan visi peradaban yang fundamental dan menyeluruh. Visi utamanya adalah mewujudkan generasi terbaik (Khairu Ummah) dan pemimpin peradaban, menjadikan kualitas dan perlindungan generasi muda sebagai prioritas kebijakan yang tak terbantahkan. Komitmen ini berakar pada perintah Allah SWT, sebagaimana firman-Nya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali 'Imran: 110). Negara dibebankan tanggung jawab penuh untuk mencetak generasi yang memenuhi kriteria Khairu Ummah ini.

Oleh karena itu, Negara Khilafah akan segera mengambil langkah preventif pembentengan komprehensif yang dijamin oleh syariat. Hal ini mencakup penerapan Sistem Pendidikan Islam yang bertujuan membentuk kepribadian Islam (syakhshiyyah islamiyyah) yang tangguh, yang imun terhadap godaan hedonisme dan materialisme digital. Pendidikan ini wajib difokuskan pada pembinaan akal dan ruhani, sebagaimana ditekankan dalam hadis Rasulullah SAW: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ini menuntut agar negara menjamin generasi terdidik secara kaffah.

Secara sosial, negara akan mengoptimalkan peran orang tua sebagai madrasah ula, sesuai sabda Nabi SAW: “Perintahkanlah anak-anakmu melaksanakan salat ketika mereka berusia tujuh tahun...” (HR. Abu Dawud). Serta, membangun sinergi masyarakat untuk amar ma’ruf nahi mungkar, menciptakan lingkungan yang saling mengawasi dan menasihati, bukan saling mengabaikan, merujuk pada prinsip gotong royong dalam kebaikan yang diwajibkan syariat.

Di samping langkah preventif tersebut, negara juga akan memberlakukan regulasi khusus media digital yang tegas sebagai bentuk pelaksanaan kewajiban ri’ayah syu’un al-ummah (pengurusan urusan umat). Kebijakan digital ini mencakup pengawasan konten dan sanksi yang ketat, karena segala sesuatu yang merusak moral (mafsadah) wajib dihilangkan. Hanya konten Islami yang diizinkan, sementara sanksi berat diterapkan bagi pihak yang mengunggah tayangan merusak moral dan akidah, sesuai dengan prinsip ta’zir (sanksi yang ditentukan oleh penguasa untuk kemaslahatan umum). 

Lebih lanjut, negara akan membatasi jenis media sosial yang boleh beroperasi dan menerapkan pembatasan usia yang ketat bagi generasi muda untuk mengaksesnya. Hal ini merupakan aplikasi dari kaidah fikih menolak kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat (dar'ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih), mengingat kerusakan mental akibat media digital yang eksploitatif jauh lebih besar daripada manfaatnya bagi anak-anak.

Terakhir, pengaturan pemanfaatan Kecerdasan Buatan (AI) akan diatur ketat, memastikan teknologi hanya digunakan untuk kemaslahatan umat dan dilarang keras untuk manipulasi psikologis atau penciptaan adiksi, sesuai larangan Rasulullah SAW dari segala bentuk dharar (bahaya) dan idhrar (membahayakan orang lain). Hanya dengan sistem yang berorientasi pada kualitas manusia dan berlandaskan komitmen syariat yang teguh, masa depan umat dan bangsa dapat diselamatkan dari ancaman digital yang mendalam.