-->

Konten Berbahaya Mengancam Generasi


Oleh: Hamnah B. Lin

Menteri Komunikasi dan Digitalisasi (Menkomdigi) Meutya Hafid mengungkap data mengkhawatirkan terkait paparan konten berbahaya pada anak di ruang digital. Berdasarkan data terbaru dari UNICEF, Meutya menyebut setengah dari anak Indonesia mengaku pernah terpapar konten dewasa saat menjelajah internet.

“Anak-anak kita itu menurut UNICEF menggunakan internet 5,4 jam per hari. Kemudian 50 persen mengaku pernah terpapar konten dewasa,” ujar Meutya dalam acara Festival Hari Anak Sedunia di Hotel Lumire, Senen, Jakarta Pusat, Kamis (20/11).

Meutya menjelaskan, temuan tersebut memperkuat urgensi perlindungan anak dari risiko digital. Selain paparan konten dewasa, ia turut menyoroti maraknya perundungan di ranah digital. Pemerintah, kata Meutya, memiliki data bahwa praktik bullying juga banyak terjadi melalui aplikasi pesan instan ( KumparanNEWS, 25/11/2025 ).

Medsos, adalah produk perkembangan teknologi. Sebagai produk perkembangan teknologi dari sistem yang berorientasi sekuler kapitalistik, kehadirannya sengaja dibuat dalam rangka menancapkan pola pikir sekuler materialistis sehingga selalu mengikuti gaya hidup Barat. Bahkan, sampai tidak memedulikan akan berdampak negatif atau malah menghancurkan generasi. Akibatnya generasi muda hancur tanpa senjata.

Digitalisasi memang menjadi sesuatu yang harus kita hadapi. Manusia harus beradaptasi dengan perkembangan teknologi yang makin canggih. Penggunaan internet sudah menjadi bagian penting dari kehidupan manusia. Dalam arus kapitalisme, kemajuan teknologi dan media sosial seperti pisau bermata dua, bisa memberi manfaat maupun membawa bahaya bagi penggunanya. Pada dasarnya, media sosial bisa memberi dampak positif jika tujuan penggunaannya dalam rangka memudahkan manusia dalam berkomunikasi, menjalin pertemanan, berbagi informasi, bahkan bisa mendakwahkan Islam secara luas dan masif.

Sayang, penggunaan media sosial justru lebih banyak memiliki dampak negatif ketimbang positifnya, khususnya bagi anak-anak dan remaja. Terlebih dengan literasi rendah, anak-anak sangat rentan menghadapi risiko penggunaan media sosial karena mereka belum memiliki kematangan proses berpikir untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan.

Kehadiran teknologi internet membuka peluang konten pornografi beredar luas. Arus digitalisasi menjadikan industri pornografi melonjak berkali lipat. Di dalam industri ini, perputaran uang tiap tahunnya mencapai miliaran dolar AS atau ratusan triliun rupiah.

Sebagai contohnya, situs OnlyFans yang terafiliasi dengan konten dewasa, meraup keuntungan dari konten pornografi sebanyak Rp71 triliun dalam setahun (periode September 2021). Menurut laporan dari American Psychological Association, pada 2019 industri film porno menghasilkan pendapatan tahunan sekitar US$97 miliar, ini adalah jumlah yang melebihi pendapatan industri musik dan olahraga profesional.

Solusinya tentu tidak cukup dengan solusi individual dengan mengimbau masyarakat membatasi waktu mengakses medsos, rutin berolahraga, bersepeda, atau bercakap-cakap dengan kerabat, atau mengimbau para orang tua untuk mendampingi anaknya. “Tidak cukup hanya dengan saran dan imbauan. 

Media sosial adalah produk teknologi digital. Sebagai sarana teknologi, Islam membolehkan memanfaatkan teknologi untuk kebaikan. Akan tetapi, jika media sosial digunakan untuk menyebarluaskan konten atau aktivitas kemaksiatan atau kejahatan, hal ini diharamkan dalam Islam.

Dalam Islam, media sosial dapat bermanfaat dalam banyak hal, selama dalam koridor yang dibenarkan syariat Islam. Apa pun teknologinya, jika menggunakan paradigma Islam, akan memberi dampak positif dan kemaslahatan bagi umat manusia. Negara akan memberikan dukungan, baik dalam bidang pendidikan dan finansial demi tercapainya kemaslahatan bagi umat manusia.

Negara Islam (Khilafah) akan menerapkan sistem pemerintahan dan politik ekonomi berdasarkan syariat Islam. Secara tidak langsung, kebijakan politik ekonomi terkait erat dengan pembentukan generasi berkualitas. 

Kunci utama adalah peran negara. Pertama, negara harus menjadi garda terdepan bertanggung jawab menyudahi perang pemikiran sekuler kapitalisme yang merusak masyarakat Indonesia. Negara mempunyai kewenangan untuk mengatur platform medsos yang beredar. Jika membahayakan, maka negara harus berani menolak dan memblokir platform tersebut.

Kedua, negara bertanggung jawab menanamkan akidah Islam, membentuk pola pikir, dan pola sikap Islam dalam diri warga negara. Hanya dengan pola pikir dan pola sikap Islam, manusia dapat menentukan tujuan dan arah hidupnya, serta mampu memilih mana perbuatan baik atau buruk dengan standart yang benar yaitu syariat Islam.

Ketiga, negara wajib melaksanakan hukum syarak di seluruh aspek kehidupan. Termasuk mengatur media informasi berdasarkan Islam, menetapkan sanksi hukum bagi pelanggarnya. Tentu saja, negara yang mampu melakukan tugas ini bukan negara pengikut, tetapi haruslah negara kuat yang berlandaskan akidah Islam, menerapkan syariat Islam bagi kehidupan bermasyarakat, yakni khilafah Islamiyah.
Wallahu a'lam bisshowab.