Ketika Kata Cerai Menjadi Tren
Oleh : Yaurinda
Angka perceraian semakin tinggi di tingkat nasional dan daerah namun dari lain sisi angka pernikahan justru menurun. Perceraian menjadi tren di semua kalangan baik di usia pernikahan muda dan usia senja (grey divorce). Adanya perceraian dipicu berbagai faktor mulai dari pertengkaran, ekonomi, KDRT, perselingkuhan, Judol, dll),
Seperti yang diketahui data Badan Pusat Statistik (BPS) terdapat 399.921 kasus perceraian sepanjang 2024. Angka ini sedikit menurun dibandingkan tahun 2023 yang mencapai 408.347 kasus. Meski begitu, jumlah tersebut masih jauh lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi COVID-19 yang hanya 291.677 kasus.
Sedangkan jumlah pernikahan di Indonesia malah terus menurun. Pada 2020 misalhnya, tercatat sekitar 1,78 juta pernikahan, sementara pada 2024 jumlahnya menyusut menjadi hanya 1,47 juta. Dikutip dari Voi.id 9 November 2025
Dari banyaknya perceraian sampai membuat kata kunci “cerai” menjadi pencarian tertinggi di mesin pencarian Google sepanjang tahun. Bukan sekedar ingin tahu terhadap kisah rumah tangga orang lain, namun di era digital saat ini, membuat masyarakat nyaman menyampaikan di media karena mereka menganggap perceraian mereka bukan lagi menjadi urusan pribadi, melainkan ruang empati dan refleksi kolektif.
Dari sisi lain kasus cerai yang semakin tinggi menunjukkan betapa lemahnya pemahaman masyarakat tentang pernikahan itu sendiri. Terlebih perceraian bisa menyebabkan ketahanan keluarga runtuh yang akan berimbas dengan generasi yang rapuh. Mengingat dampak perceraian yang begitu luas, maka pemerintahpun melakukan upaya untuk menekan angka perceraian, seperti penyuluhan, pelatihan pengantin dan mencanangkan 11 langkah strategis mediasi, mulai dari mediasi rumah tangga, penyelesaian konflik, deteksi dini kekerasan dalam rumah tangga, edukasi pranikah, hingga bimbingan perkawinan berkelanjutan.
Banyaknya upaya yang dilakukan pemerintah ternyata hasilnya perceraian tetap meningkat. Namun hal ini wajar terjadi karena solusi yang diambil tidak berpusat pada akar masalahnya. Sesungguhnya akar masalah tingginya perceraian adalah diterapkannya sistem kapitalisme yang selalu mementingkan segelintir orang pemilik uang. Sehingga sistem ekonomi negara sangat kacau, belum lagi sistem pendidikan juga tak luput dari komersialisasi sehingga sulit untuk dijangkau masyarakat biasa.
Pergaulan sosial pun bebas yang menyebabkan berbagai masalah lainnya seperti penyakit menular. Tidak ada kebijakan yang diambil dalam sistem ini yang memihak rakyat, sudah menjadi hal lumrah jika perceraian juga tidak diperhatikan secara detail.
Jika sistem sekarang membuat cerai menjadi tren, tentu hal ini jauh berbeda dengan sikap yang akan diambil oleh negara dengan sistem Islam. Sistem ini sangat memihak rakyat karena sistem ini memiliki pemimpin yang bertanggung jawab penuh terhadap kemakmuran rakyat dan selalu mengurusi urusan rakyat secara detail.
Saya kira perceraian akan jarang terjadi dalam negara dengan sistem Islam, alasannya sistem pendidikan dalam Islam mengantarkan pada pembinaan kepribadian Islam yang kokoh dan siap membangun keluarga yang sakinah mawadah dan warohmah. Dari sini setiap calon pengantin akan diberikan wawasan tentang apa sebenarnya arti dari sebuah pernikahan.
Setelah dipersiapkan dari segi pemahaman negara juga mengatur sistem pergaulan dengan menjaga hubungan bermedia sosial agar tidak kebablasan selain itu juga menjaga keluarga dan sosial masyarakat tetap harmonis berlandaskan pada ketakwaan. Masalah terakhir kesejahteraan keluarga dan masyarakat dijamin oleh sistem politik ekonomi Islam.
Disaat pendidikan murah dan mengajarkan pentingnya pernikahan. Keadaan keluarga sosial dan masyarakat stabil serta didukung oleh sistem ekonomi yang kuat yang membuat beban kebutuhan kehidupan pernikahan lebih mudah dijangkau maka apalagi alasan yang bisa dilakukan untuk bercerai.

Posting Komentar