-->

Dilema Solusi PP Tunas Ditengah Kehidupan Kapitalistik


Oleh : Dewi Poncowati
Aktivis Muslimah Peduli Generasi

Fenomena menyingkapi kehadiran anak di ruang digital yang semakin pesat akan menimbulkan pertanyaan, “betulkah ada kehidupan?”. Kenyataannya terkadang kita akan berfikir bahwa ada ekosistem baru di dunia ini yang mampu merubah diri seseorang. Baik dalam hal positif atau negatif, inilah dunia maya. Dengan kecanggihan teknologi apapun informasi akan mudah didapat, inilah yang menjadi bumerang ketika kehadiran Generasi Z dan Alfa di ruang digital membersamai tumbuh kembang mereka. 

Sebetulnya banyak hal hal positif yang bisa didapati keberadaan anak di ruang digital namun tidak bisa dipungkiri bahwa hal hal negatif pun lebih marak terjadi, seperti cyberbullying, konten gaya hidup bebas memunculkan aksi pornografi baik dikalangan anak, remaja dan dewasa. Berdasakan informasi dari Kompas.com, seorang remaja mendapati cyberbullying dari netizen berupa respon negatif yaitu ejekan berbagai hinaan didapati karena menyuarakan dampak buruk dan bahaya rokok bagi anak anak. Ialah Denta Mulyatama, lebih akrab panggilan Tata, remaja yang aktif di media sosial dalam Forum Anak Sukowati (Forasi) di Sragen, ini adalah salah satu contoh melakukan hal positif justru mengalami perundungan. Di ruang digital siapa pun bebas menyuarakan kebaikan atau keburukan.

Tata adalah salah satu dari banyak anak yang mengalami depresi, cemas dan rasa takut dalam menyuarakan kebenaran namun berujung perundungan. Cyberbullying yang dialami Tata menyebabkan jiwa anak rapuh, banyak dari kasus tersebut berujung pada tindakan bunuh diri ketika mendapat masalah. Menurut data UNICEF kasus Cyberbullying di Indonesia pada anak anak sebanyak 48 persen dengan penggunaan internat sehari 5-4 jam. Diperparah 50 persen dari anak anak telah terpapar konten konten dewasa, konten pornografi tercatat Oktober 2024-2025 sebanyak 596.457 konten. 

Sebetulnya pemerintah telah berusaha Menyingkapi kasus kasus yang terjadi di ruang digital secara bertahap. Melalui PP Tunas Nomor 17 Tahun 2025 upaya pemerintah melakukan pengaturan Penyelenggara Sistem Elektronik berupa penyediaan fitur teknologi yang aman untuk anak, Pembatasan Usia, Pendampingan dan pengedukasian kepada orang tua tentang keamanan digital bagi anak sesuai usia. Realisasi PP Tunas akan mengalami tantangan dari Platform digital yang semakin cepat maka mungkinkah regulasi dapat mengimbangi, konsistensi penerapan aturan digital, konten negative akan terus berkelanjutan selama filterisasi belum konsisten.

Perkembangan teknologi ruang digital merupakan kemudahan bagi siapapun untuk mengakses berbagai informasi yang kerap dibutuhkan. Kehadiran anak di ruang digital dan berbagai kasus kasus pada anak dan remaja bukanlah penyebab utama. Berbagai Sosial media yang terdapat pada ruang digital, respon atas segala sesuatu hal membuat anak kehilangan kepercayaan diri, cemas, merasa bersalah walaupun tindakannya benar. Pembatasan penggunaan media sosial adalah solusi pagmatis. Namun pemerintah harus melakukan perubahan pada konten konten yang terdapat pada media sosial. Mampukah pemerintah memiliki kewenangan memfilterisasi konten konten yang tidak bermanfaat?. Sistem kehidupan kapitalisme dan sekulerisme dimana bisnis digital bagi para pengusaha menjanjikan keuntungan sehingga para pengusaha mengabaikan dampak mental generasi. 

Jika dicermati lebih dalam memahami PP Tunas yang diupayakan pemerintah dalam menyelesaikan kasus kasus yang terjadi pada anak dan remaja akibat paparan media sosial dengan cara membatasi penggunaan media sosial adalah kurang tepat. Sebetulnya Media sosial merupakan wadah yang sangat mendukung untuk perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Penyebab anak dan remaja melakukan tindakan yang negatif karena konten konten yang hadirkan di media sosial adalah konten konten yang tidak bermanfaat. Faktor pemahaman juga menjadi penyebab anak dan remaja kehilangan arah tujuan hidup yang sesungguhnya.

Saat ini negara harus berada di garda terdepan bukan sebagai regulator bagi para pengusaha digital. Negara harus berkomitmen bahwa generasi harus diselamatkan dengan menerapkan sistem Pendidikan Islam kaffa. Saat ini kondisi mental anak dan remaja sangat rapuh. Pemahaman yang tertanam bukanlah hasil dari Pendidikan Islam. Pendidikan dalam Islam harus mampu membentuk pola pemikiran dan pemahaman bahwa dirinya adalah hamba Allah SWT. Pada sistem Pendidikan Islam, akidah Islam dijadikan konsep ideologi atau dasar pemikiran, yang bertujuan membentuk kepribadian Islam yang berpola pikir dan berpola sikap sesuai dengan aturan Allah SWT. Maka melalui Pendidikan islam akan melahirkan generasi yang memiliki jiwa kepemimpinan yang beriman dan bertakwa sehingga mampu bersikap atas segala hal yang dihadapinya.

Sistem Pendidikan Islam hanya dapat diterapkan pada negara Khilafah. Pada negara khilafah anak dan remaja adalah aset untuk menopang peradaban Islam. Negara khilafah bukan hanya menyoroti perihal Pendidikan akan tetapi Pemimpin dalam negara khilafah harus menerapkan syariat Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Adapun sumber aturan syariah Islam ialah Allah SWT melalui Al qur’an, Assunah, Ijma sahabat dan Qiyas. Negara Khilafah memposisikan pemimpin adalah Raa’in atau pelindung bagi umat yang mampu mengurus berbagai perkara umat. Rasulullah saw bersabda:
“Imam adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rakyatnya”. (HR. Bukhari dan Muslim).
 
Dalam hal kebijakan aturan sistem komunikasi dan informasi. Negara harus mampu dalam pengaturan dan penggunaan jaringan media sosial. Legitimasi aturan filterisasi informasi atas konten konten yang tidak bermanfaat dengan tegas diterapkan secara konsisten. Negara hanya mencanangkan Jaringan media sosial yang mendukung untuk sarana pendidikan, kesehatan, perkembangan perekonomian, kemajuan Industri dan politik keamanan negara serta mendukung akses dakwah Islam ke penjuru dunia. Dengan terealisasi aturan yang tegas maka jaringan media sosial yang membawa unsur kemaksiatan akan ditiadakan karena merusak akal dan sendi kehidupan manusia.