Kapitalisme Digital, Mesin Perusak Mental Generasi
Oleh : Alimatul Mufida (Mahasiswa)
Era digital yang secara tidak langsung memaksa penggunaan gadget oleh anak-anak, remaja, hingga dewasa sudah menjadi fenomena umum. Kegunaan gadget bisa beragam, mulai dari sebagai media informasi, alat komunikasi jarak jauh, menonton video sebagai hiburan, bermain gim, hingga belajar daring, gawai telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Namun, ketika penggunaan gadget tidak diatur dengan baik dampaknya bisa sangat serius, terutama bagi perkembangan psikologis dan sosial. Penggunaan gadget berlebihan dapat menyebabkan gangguan mental seperti kecemasan, depresi, isolasi sosial, penurunan konsentrasi, hingga kondisi serius seperti Nomofobia (takut jauh dari HP) dan Brain Rot (penurunan fungsi kognitif akibat konten remeh). Ini terjadi karena paparan konten terus-menerus, perbandingan sosial tak sehat di media sosial, siklus dopamin, hingga mengganggu pola tidur, yang semuanya mempengaruhi suasana hati, harga diri, dan kemampuan bersosialisasi.
Banyaknya generasi muda Indonesia yang mengalami gangguan kesehatan mental akibat terlalu banyak terlibat screen time. Indonesia berada di posisi keempat sebagai negara dengan pengguna ponsel pintar di dunia. Jumlah pengguna ponsel pintar 187,7 juta, dengan populasi 275,5 juta. Bisa dikata warga Indonesia kecanduan gadget akut. Padahal, penggunaan gadget yang berlebihan berdampak pada terjadinya gangguan mental, digital dementia, kemalasan berpikir, dan perasaan kesepian.
Ironisnya, yang terjadi di Indonesia adalah tidak adanya pembatasan usia dalam penggunaan medsos. Padahal, medsos berikut dengan teknologi AI terbukti memiliki dampak yang signifikan. Penggunaan medsos dan AI pada anak-anak akan berbahaya bagi kesehatan mental karena mereka bahkan belum mampu dalam menyaring informasi yang baik/buruk bagi dirinya sendiri.
Terbukti bahwa media digital dalam sistem kapitalisme menjadi alat yang digunakan untuk merusak mental generasi muda. Dalam kapitalisme, keuntungan materi adalah yang utama. Mental generasi dipertaruhkan demi keuntungan perusahaan digital, masalah mental generasi diabaikan dan dinomorduakan. Indonesia, sebagai negara berkembang hanya dijadikan pasar bagi platform digital tersebut. Negara bahkan tidak bisa tegas terhadap perusahaan digital dan tidak memiliki komitmen untuk melindungi mental generasi muda, padahal mereka adalah calon pemimpin masa depan. Mereka adalah generasi penerus yang melanjutkan tonggak kepemimpinan.
Ini semua berbeda dengan sistem Islam. Islam memiliki seperangkat aturan yang menjaga manusia baik secara fisik, jiwa, harta, dan juga mental. Negara islam yang menerapkan syariat Islam disebut Khilafah memiliki visi misi mewujudkan generasi penerus terbaik yang kelak akan menjadi pemimpin peradaban. Dengan visi tersebut, dapat dipastikan negara betul-betul berkomitmen terhadap kualitas generasi muda. Selain itu, negara juga melakukan langkah preventif untuk membentengi generasi muda dari pengaruh media digital, yaitu menerapkan sistem pendidikan Islam, optimalisasi peran orang tua sebagai madrasah ula, dan sinergi masyarakat untuk amar makruf nahi mungkar. Negara juga melakukan langkah khusus, yaitu: Mengawasi konten media (hanya boleh diakses apabila sesuai dengan Islam) dan memberi sanksi bagi yang mengunggah tayangan yang tidak islami. Membatasi medsos yang boleh ada dalam Khilafah, tidak semua medsos boleh ada dalam khilafah. Membatasi usia generasi yang boleh mengakses medsos. Mengatur penggunaan AI agar tidak berdampak buruk pada generasi.
Wallahu a'lam bisshawwab.

Posting Komentar