Generasi Takut Nikah, Kemiskinan Membayangi
Oleh : Nur Arofah, Sahabat Literasi
Kemapanan ekonomi akhir-akhir ini dijadikan acuan utama di kalangan generasi muda. Biaya hidup yang terus melambung tinggi, harga hunian yang semakin mahal, serta kondisi kerja yang tidak menentu membentuk cara pandang mereka terhadap masa depan. Ketidakstabilan ekonomi ini menumbuhkan ketakutan untuk menikah, karena bayang-bayang kemiskinan seolah selalu menghantui.
Dahulu, anak muda menempatkan pernikahan sebagai tonggak kedewasaan yang harus dicapai. Bahkan, mereka yang sudah berumur 30-an, tetapi tak kunjung menikah kerap dikaitkan dengan ”keterlambatan” melepas masa lajang. Terlebih bagi perempuan, anggapan ”perawan tua” kerap kali melekat pada mereka yang tidak kunjung menemukan jodohnya (Kompas.Id, 27/11/2025).
Era sekarang cara pandang mereka sudah bergeser, anggapan hidup mandiri saja sudah berat, apalagi jika segera menikah. Respons ini tidak bisa disalahkan karena pada faktanya memang terjadi, akhirnya kestabilan ekonomi menjadi hal yang harus didahulukan bahkan ada juga yang tidak ingin menikah.
Luka Ekonomi Kapitalisme
Inilah cara pandang yang lahir dari luka ekonomi kapitalisme yang terus membayangi pola pikir generasi masa kini hingga mereka takut menikah. Luka ekonomi ini berakar dari krisis yang dialami sejak pandemi Covid-19, yang dampaknya masih dirasakan hingga sekarang. Saat generasi muda memasuki dunia kerja, mereka dihadapkan pada sulitnya memperoleh pekerjaan, gelombang PHK yang berulang, serta banyak usaha yang terpaksa gulung tikar. Kondisi ini menjadikan kemapanan ekonomi dipandang sebagai hal utama, sekaligus semakin menggerus pemahaman bahwa pernikahan adalah bagian dari ibadah dan fitrah naluri nau.
Media sosial pun berperan aktif membuat narasi marriage is scary, menambah beban moral ketika hendak menjalani pernikahan rawan konflik emosional, ketahanan ekonomi dan KDRT. Rasa ketakutan dan berpikir berkali-kali bagi generasi muda saat ini semakin kuat dengan narasi tersebut, pernikahan momok yang menakutkan. Ketika ekonomi rapuh hidup sendiri mengalami kesulitan, apalagi menikah beban akan semakin berat.
Alasan ini masuk akal karena kondisi ekonomi yang tidak stabil, serta kemiskinan di Indonesia telah membelenggu. Dalam catatan Bank Dunia penduduk Indonesia terkategori miskin sebanyak 194.4 juta jiwa (68.2%). Pendapatan penduduk dan pengeluaran tidak sebanding, bahkan kebutuhan melambung tinggi. Bila di cek dari Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), yang tertinggi di kota Bekasi yakni RP 5.690.752, ini upah yang tertinggi tidak mencukupi dengan biaya hidup yang sangat besar (Muslimah.News 7/12/2025).
Wajar bila kita fokuskan apa yang terjadi dalam pola pikir generasi muda bukanlah pola pikir awal. Semua ini hasil pembentukan sistematis dari sistem kapitalisme sekularisme. Tekanan ekonomi dalam sistem inilah yang membuat generasi muda ragu, ditambah biaya pendidikan, kesehatan, kebutuhan dasar melonjak tinggi yang tidak beriringan dengan upah kerja.
Sistem kapitalisme mengukur kebahagiaan dengan ukuran untung rugi, karena memisahkan agama dari kehidupan. Sistem inipula yang menciptakan persaingan bebas dalam perekonomian, menumbuhkan ukuran bahagia bagi siapa yang mampu membeli.
Hidup Konsumtif Memengaruhi Standar Kebahagiaan
Pernikahan dijadikan standar kebahagiaan jika mengumumkan segala prosesnya secara glamor, mengadakan pesta, menyiapkan hunian dan kendaraan serta kesiapan finansial setelah berumah tangga. Ketika standar konsumtif yang dijadikan syarat belum terpenuhi, kebahagiaan itu terasa jauh bahkan mereka tidak akan berani melangkah ke jenjang pernikahan.
Apabila standar bahagia itu dengan kestabilan ekonomi, generasi cenderung mengerut untuk melangkah ke pernikahan, sebab gaji Upah Minimum Regional (UMR) yang diterima hanya cukup untuk kebutuhan pribadi. Apalagi ketika ada yang mendapatkan gaji di bawah UMR ciutlah nyalinya, yang perempuan enggan dinikahi, yang laki laki takut meminang. Hal ini sangat mengancam demografi, jika bayangan kemiskinan menghantui generasi.
Mirisnya keadaan ini membuka lahan zina generasi muda semakin lebar, himpitan ekonomi membuat mereka mengambil jalan pintas. Hidup bersama lebih diminati, berpikir kebutuhan biologis terpenuhi tanpa harus mengeluarkan biaya besar bahkan bisa patungan untuk kebutuhan harian. Penyakit seksual pun merebak, kekerasan perempuan terjadi akibat tidak adanya komitmen suci dalam pernikahan. Rangkaian dampak di masa depan akan keberlangsungan hidup generasi hilang, sebab dari takut menikah mereka enggan memiliki anak. Narasi waithood juga sudah viral beberapa tahun lalu.
Fenomena waithood tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di berbagai negara seperti Jepang, Jerman, Yordania, China, Amerika Serikat, Rwanda, dan Guatemala. Perempuan Jepang melihat pernikahan sebagai beban yang dapat menghambat langkah mereka dalam meraih pendidikan lebih tinggi, dan di Jerman jumlah perempuan yang merasa lebih bahagia tanpa pasangan kian meningkat. Buruknya fenomena ini berakibat populasi manusia secara signifikan kian menurun.
Hal ini menunjukkan tren yang meningkat sejak 2005. Peningkatan jumlah kelompok muda yang memilih untuk berstatus lajang juga terjadi di Indonesia. Pada 2021, persentase lajang dewasa mencapai 61,09%. Angka ini meningkat jika dibandingkan 2011 yang jumlahnya sekitar 51,98% (Kompas.id, 2022).
Takut menikah menjadi ancaman demografi di dunia, dan lambat laun Indonesia akan mengalami hal yang sama. Sudah terlihat dengan menurunnya angka kelahiran, angka penduduk lansia lebih meningkat dibandingkan angka anak lahir, ini berbahaya bagi kelangsungan populasi manusia dan berdampak pada perekonomian. Beratnya beban generasi muda untuk menanggung ekonomi lansia, beban ini berpengaruh pada ekonomi individu juga ekonomi negara, tersebab rendahnya usia produktif yang akan menyulitkan pertumbuhan ekonomi negara.
Di Indonesia, tren angka kelahiran dalam satu dekade terakhir terus mengalami penurunan yang landai, nilai paling rendah sepanjang 10 tahun terakhir terjadi pada 2023 yang sebesar 15,94, kemudian naik menjadi 16,61 pada tahun berikutnya. Namun pada tahun 2025 ini angka kelahiran kembali mengalami penurunan menjadi 16,4 (http//goodstats.id 23/7/2025).
Kapitalisme Rusak Merusak
Sistem sekuler kapitalistik sangat rusak dan merusak, sistem yang bersandar pada liberalisme. Penguasa hanya sebagai regulator para pemilik modal, rakyat mayoritas tidak menikmati hasil ekonomi dari kekayaan Sumber Daya Alam yang melimpah. SDA dikuasai swasta dan rakyat hanya mendapatkan kerusakan dari eksploitasi alam, sangat minim kemanfaatan untuk rakyat dan kekayaan dimiliki oleh para penguasa dan pengusaha.
Sistem ekonomi kapitalisme sering mengalami krisis berulang, akibat ekonomi nonriil ditambah praktek ribawi memunculkan inflasi yang tidak menentu memberatkan rakyat dalam memperoleh kebutuhan hidup. Abainya penguasa dalam mensejahterakan rakyat, apalagi dalam memenuhi kebutuhan rakyat termasuk lapangan pekerjaan. Swastalah yang mengambil peran untuk memenuhi kebutuhan rakyat namun dengan harga mahal, apalagi dalam urusan layanan umum seperti kesehatan dan pendidikan, ditambah nominal besarnya pungutan pajak semakin menjerat rakyat.
Pendidikan saat ini tidak disandarkan pada akidah, sudahlah mudah menangkap informasi yang salah tentang pernikahan, pola sekuler liberalisme merambah sistem pendidikan di Indonesia. Pendidikan yang orientasinya materi, hasilnya mencetak generasi muda untuk menjadi tenaga kerja, maka akan menumbuhkan kehidupam hedonistik pada generasi muda. Jauh dari pemahaman bahwa menikah adalah tuntunan agama untuk peradaban gemilang dalam meraih ridha Allah, namun bergeser hanya untuk pemenuhan biologis, status sosial dan stabilitas ekonomi.
Islam Mudah dan Memudahkan
Islam agama sempurna dan paripurna, dalam aturannya mudah dan memudahkan. Pernikahan adalah aktivitas ibadah seumur hidup, semua urusan kebutuhan rakyat diurus negara termasuk proses pernikahan. Pemimpin adalah pengurus rakyat, Rasulullah SAW bersabda, "Imam (khalifah/kepala negara adalah pengurus rakyat dan ia akan diminta pertanggungjawabannya atas rakyat yang diurusnya" (HR Bukhari dan Muslim).
Negara wajib mengurusi rakyat dengan benar agar sejahtera dan terpenuhi, dimulai dengan pendidikan berstandar ketaqwaan, sandang, pangan bahkan membuka fasilitas lapangan pekerjaan yang luas bagi rakyat untuk hidup dan menghidupi diri dan keluarga. Terpenuhinya kepengurusan urusan rakyat, maka tidak ada lagi generasi muda yang berpikir takut menikah karena bayang kemiskinan. Konsep rizki dari Allah semata dan pernikahan adalah wujud dari taat untuk ibadah demi kelangsungan peradaban manusia menuju kegemilangan.[]

Posting Komentar