EFEKTIFKAH PP TUNAS LINDUNGI ANAK DI RUANG DIGITAL?
Oleh : A. Salsabila Sauma
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa 89 persen anak usia lima tahun ke atas di Indonesia sudah menggunakan internet dan mayoritas mengakses media sosial. Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid mengungkapkan bahwa data terbaru dari United Nation Childern’s Fund (UNICEF) menunjukkan sebanyak 48 persen anak-anak di Indonesia pernah mengalami cyberbullying. (kompas)
Tingginya akses digital tanpa pengawasan membuat anak berisiko terkena dampak negatif internet, Perudungan daring, terpapar konten negatif, mengakses konten dewasa, hingga penipuan merupakan akibat yang ditimbulkan apabila anak-anak menggunakan internet tanpa pengawasan.
FAKTA LAPANGAN DAN TINDAKAN OTORITAS
Komdigi mencatat telah menangani sebanyak 596.457 konten pornografi di ruang digital sepanjang 20 Oktober 2024 hingga 6 Oktober 2025. Selain itu UNICEF mencatat bahwa anak-anak di Indonesia menggunakan internet rata-rata selama 5,4 jam per hari, dan 50 persen di antaranya pernah terpapar konten dewasa. (kompas)
Kasus perudungan daring dan paparan konten pornografi yang terjadi pada anak-anak menjadi peringatan serius yang harus segera ditindak dan dilakukan pencegahan. Dalam merespon urgensi tersebut, Kementerian Komdigi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 (PP Tunas)
PP Tunas ini bertujuan melindungi anak-anak di ruang digital dari konten yang tidak sesuai usia, risiko berbahaya di ruang digital seperti ekploitasi dan kecanduan, serta mengelola sistem elektronik agar ramah anak dengan mengidentifikasi profil risiko dan memblokir akses konten berbahaya. Dengan regulasi itu, PP Tunas menjadi fondasi untuk menciptakan ekosistem digital yang sehat dan aman bagi generasi muda. (tunaspedia)
Hanya saja, beberapa pihak merasa regulasi yang tercantum dalam PP Tunas ini kurang tegas dan membingungkan. Salah satu aspek penting yang disoroti ialah mengenai klasifikasi usia dan tingkat risiko platform digital. Komdigi mengatur pembatasan akses anak terhadap internet berdasarkan risiko rendah, sedang, dan tinggi.
Dalam ketentuan PP Tunas, anak di bawah 13 tahun hanya boleh mengakses platform yang sepenuhnya aman dan bersifat edukasi. Usia 13 – 15 tahun diperbolehkan mengakses platform dengan risiko rendah hingga sedang, usia 16 – 17 tahun bisa mengakses platform berisiko tinggi dengan pendampingan orang tua, sementara 18 tahun ke atas dapat mengkases semua platform secara independen. (cncbindonesia)
Sayangnya, PP ini tidak menyebutkan secara spesifik platform mana yang tergolong rendah, sedang, atau tinggi. Malah platform digital seperti Instagram atau Youtube yang diminta melakukan evaluasi mandiri dan melaporkan hasilnya ke Komdigi. Hal ini membuat pengawasan terhadap anak-anak menjadi rancu karena ketidakjelasan rujukan mana yang dipakai. Akhirnya PP Tunas hanya bersifat utopis karena memunculkan banyak ambguitas dalam implementasinya.
PERLUNYA SOLUSI KONKRIT
Kelihatanya mungkin media sosial amat mempengaruhi perilaku manusia. Konten pornografi, bullying, gaya hidup bebas, hingga kerapuhan mental merupakan akibat terlalu sering tenggelam dalam media sosial sehingga munculah PP Tunas yang mengeluarkan peraturan pembatasan akses media sosial dengan harapan anak-anak dapat lebih terawasi dalam bermain di dalam jaringan. Sayangnya, solusi ini hanya bersifat pragmatis (sementara) dan tidak benar-benar menyentuh akar permasalahannya.
Jika mau melihat lebih dalam, media sosial bukan penyebab utama. Pemahaman yang terpasang di kepala tiap manusia yang mempengaruhi perilakunya. Anak yang kuat dan berprinsip akan otomatis menyaring konten digital yang dilihatnya. Sebaliknya, anak yang rapuh secara pemahaman dan tidak memiliki pendirian akan mudah terseret arus apa pun yang lewat di berandanya.
Di sinilah akar persoalan sebenarnya bersembunyi, yakni penerapan sistem sekularisme–kapitalisme dalam kehidupan. Sistem ini menempatkan kebebasan tanpa batas sebagai norma, mengejar keuntungan sebagai tujuan, dan membiarkan nilai moral menjadi urusan pribadi. Anak tumbuh dalam masyarakat yang menormalisasi hedonisme, menindas spiritualitas, dan mengabaikan peran aturan agama sebagai penuntun hidup. (suaraislam)
Akibatnya, ketika anak menghadapi tekanan hidup, mereka tidak memiliki fondasi yang kokoh untuk menghadapi realitas. Media sosial dijadikan alat pembenaran paling efektif untuk mengobati luka-luka mereka. Tidak jarang arus yang salah yang menuntun mereka bukan pedoman hidup yang tepat.
PP Tunas, meski niatnya baik, hadir dengan pendekatan pragmatis, yakni dengan membatasi akses, memblokir konten, dan memperketat pengawasan teknis. Namun, pembatasan semacam ini hanya bekerja di permukaan. Ia mungkin mengurangi paparan, tetapi tidak membangun ketangguhan. Ia membentengi layar, bukan membentengi jiwa. (suaraislam)
Peran seluruh generasi amat dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan ini dan kondisi individualis dalam sistem kapitalis jelas bukan pilihan yang benar. Sistem sekulerisme-kapitalisme tidak peduli pada kondisi jiwa rakyatnya, sedangkan keimanan dan pemahaman Islam yang kokoh diperlukan untuk bisa bersikap yang benar.
Oleh karena itu, Negara yang harus membentengi generasi di ruang digital dan ini jelas membutuhkan aturan yang sahih yang lahir dari sistem yang paripurna. Sistem tersebut tidak lain adalah Sistem Islam.
Wallahu'alam bi showab

Posting Komentar