-->

Generasi Muda Takut Nikah, Luka Ekonomi Kapitalisme


Oleh : Aulia Ramadhani Siregar S.Pd

Fenomena meningkatnya ketakutan anak muda untuk menikah bukan lagi sekadar isu personal, tetapi telah menjadi potret kegagalan sistemik yang mengakar dalam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Kini, banyak generasi muda menilai kestabilan ekonomi jauh lebih penting daripada segera memasuki jenjang pernikahan. Di Indonesia yang sudah berusia 80 tahun dan sudah delapan kali berganti presiden, jumlah penduduk miskin negeri ini menurut Bank Dunia per 2024 masih 194,4 juta jiwa atau 68,2 persen dari total populasi. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pendapatan per kapita Indonesia tahun 2024 naik menjadi Rp 68,62 juta per tahun (Rp 6,55 juta per bulan), dimana biaya untuk memenuhi kebutuhan hidup juga tinggi.Mengambil contoh di Jakarta, BPS menyebut biaya hidup di sini paling tinggi di antara kota lain di Indonesia. Per bulan biaya hidup di Jakarta mencapai sekitar Rp 14,88 juta untuk rumah tangga yang terdiri dari dua hingga enam orang. (Kompas.com22/11/2025)

Dengan demikian mereka mempertimbangkan kemampuan finansial, kesiapan memiliki hunian, hingga ketidakpastian karier sebelum memutuskan membangun keluarga. Di tengah lonjakan harga kebutuhan hidup, biaya tempat tinggal yang makin tak terjangkau, serta persaingan kerja yang semakin ketat, pernikahan tidak lagi hadir sebagai fase natural kehidupan, melainkan keputusan besar yang penuh risiko.

Narasi “marriage is scary” pun tumbuh subur di berbagai platform media sosial. Ungkapan tersebut menggambarkan kekhawatiran bahwa menikah akan memperburuk kondisi finansial, menambah beban mental, bahkan dapat menyeret pasangan pada lingkaran kemiskinan. Ketakutan ini tidak muncul tanpa sebab; ia lahir dari kondisi struktural yang menekan, sekaligus dari pola pikir sosial yang terbentuk dari waktu ke waktu.

Ekonomi Kapitalisme yang Menyisakan Luka

Pada dasarnya, ketakutan generasi muda terhadap pernikahan tidak bisa dilepaskan dari luka yang ditimbulkan oleh sistem ekonomi kapitalisme. Dalam sistem ini, biaya hidup terus meningkat sementara kualitas pekerjaan justru stagnan. Upah minimum sering kali tidak sebanding dengan harga kebutuhan pokok dan hunian. Sistem kerja yang fleksibel tetapi tidak menentu membuat banyak anak muda hidup dalam kecemasan ekonomi berkepanjangan. Ketakutan “menjadi miskin setelah menikah” pun menjadi ketakutan kolektif yang sulit dihapus.

Negara yang seharusnya berperan sebagai regulator dan pelindung rakyat justru tampak lepas tangan. Banyak kebijakan yang lebih menguntungkan pemilik modal ketimbang masyarakat umum. Kesejahteraan dasar seperti perumahan terjangkau, lapangan kerja yang memadai, dan jaminan harga kebutuhan pokok sering kali dibiarkan mengikuti mekanisme pasar. Akibatnya, beban hidup dipikul individu, bukan menjadi tanggung jawab negara.

Di sisi lain, pola hidup materialis dan hedonistis makin tumbuh subur. Pendidikan sekuler dan pengaruh media liberal menanamkan standar kesuksesan berbasis materi, gaya hidup, dan pencapaian individual. Pernikahan yang semestinya menjadi jalan kebaikan dan ibadah justru dianggap sebagai beban yang harus dihindari. Banyak anak muda merasa belum “cukup kaya” untuk menikah, padahal standar kaya yang mereka kejar sering kali tidak realistis dan dibentuk oleh budaya konsumtif.

Pernikahan: Dari Ladang Kebaikan Menjadi Beban Finansial

Perubahan cara pandang terhadap pernikahan menjadi salah satu konsekuensi dari kondisi ekonomi dan budaya yang ada. Jika dahulu pernikahan dipandang sebagai ikatan sakral untuk membangun keluarga dan meneruskan keturunan, kini ia lebih sering dinilai berdasarkan perhitungan biaya. Mulai dari biaya resepsi, cicilan rumah, kebutuhan anak, hingga biaya pendidikan yang terus melambung.
Ketika tekanan ekonomi begitu besar, wajar jika banyak anak muda merasa pernikahan hanya akan menambah beban. Namun, pandangan ini sesungguhnya hasil konstruksi sosial yang diciptakan oleh lingkungan materialis, bukan esensi dari pernikahan itu sendiri.

Membangun Sistem yang Menguatkan Generasi

Untuk mengembalikan kepercayaan generasi muda terhadap institusi pernikahan, dibutuhkan perubahan sistemik yang menyentuh akar masalah.
Pertama, negara harus menjamin kebutuhan dasar rakyat dan membuka lapangan pekerjaan secara luas. Hal ini dapat diwujudkan melalui penerapan sistem ekonomi Islam yang menata kepemilikan, distribusi kekayaan, dan pengelolaan sumber daya secara adil.

Kedua, pengelolaan milkiyyah ammah (kepemilikan umum) harus berada di tangan negara, bukan swasta atau asing. Dengan demikian, hasil pengelolaan tersebut dapat kembali kepada masyarakat dalam bentuk harga yang stabil, layanan publik terjangkau, dan biaya hidup yang lebih rendah.
Ketiga, pendidikan berbasis aqidah perlu dikembalikan pada fungsi utamanya yaitu membentuk karakter generasi yang berakhlak, tidak terjebak hedonisme, dan memahami tujuan hidup. Generasi seperti inilah yang kelak berperan sebagai penyelamat umat, bukan korban sistem yang menindas.

Keempat, institusi keluarga harus diperkuat. Pernikahan perlu dipahami kembali sebagai ibadah, sebagai penjagaan keturunan, dan sebagai fondasi peradaban. Ketika nilai spiritual dan moral dihidupkan, pernikahan tidak lagi terlihat sebagai beban, melainkan jalan kebaikan yang membawa berkah.
Semua itu hanya bisa terwujud apabila sistem Islam kembali diterapkan dalam naungan daulah Islamiyyah.

Wallahua'lam bisshawab