Generasi Muda Takut Nikah, Ada Apa?
Oleh : Khusnul
Banyak anak muda menilai kestabilan ekonomi lebih penting daripada segera menikah. Fenomena generasi muda yang lebih takut miskin daripada takut tidak menikah dapat diartikan juga sebagai alarm bagi pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi. Jika generasi muda semakin sulit mencapai stabilitas hidup, mereka akan semakin pragmatis dalam memilih prioritas. Pernikahan bisa jadi hanya akan menjadi opsi, bukan keharusan. Dalam jangka panjang, hal ini memiliki konsekueni yang sangat kompleks.
Dari sisi demografi, keputusan menunda pernikahan dan menurunnya angka fertilitas dapat mempercepat penuaan populasi jika tidak diimbangi kebijakan pro-fertilitas yang efektif. Hal itu terjadi di Jepang saat ini, di mana generasi usia produktif Jepang terus menurun.(kompas.id, 27/11/2025).
Lonjakan harga kebutuhan, biaya hunian, dan ketatnya persaingan kerja menjadi alasan utama. "Luka ekonomi” itu merupakan kondisi yang merujuk pada kerusakan sistem perekonomian dalam jangka menengah ataupun jangka panjang sebagai akibat dari krisis ekonomi. Salah satunya krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19. ”Luka” tersebut berdampak pada potensi pertumbuhan ekonomi di masa depan yang terhambat, bahkan setelah krisis itu selesai. Selain itu, masalah ekonomi seperti sulitnya mendapatkan pekerjaan, upah yang relatif stagnan, hingga biaya hidup yang terus melonjak memberikan kecemasan akan kemiskinan semakin nyata. (kompas.id, 27/11/2025)
Narasi “marriage is scary” memperkuat ketakutan akan pernikahan. Jika ditarik mundur ke belakang, fenomena tersebut sebetulnya masih erat kaitannya dengan narasi ”ketakutan seseorang untuk menikah” atau dikenal dengan istilah marriage is scarry. Salah satu yang ditakutkan setelah pernikahan ialah tuntutan ekonomi yang semakin besar. Secara garis besar fenomena-fenomena tersebut dapat dimaknai bahwa generasi muda, terutama generasi Z, menempatkan pernikahan bukan lagi prioritas utama yang harus segera dicapai. Perubahan orientasi ini bukan sekadar tren yang mewarnai ruang narasi di media sosial, melainkan refleksi dari adaptasi mendalam terhadap realitas ekonomi dan sosial yang semakin kompleks. (kompas.id, 27/11/2025)
Ketakutan miskin yang terjadi hari ini buah dari sistem Kapitalisme yang membuat biaya hidup semakin tinggi, lapangan pekerjaan semakin sulit, dan upah yang di dapat semakin rendah. Kondisi inilah yang menyebabkan generasi muda saat ini sangat khawatir dirinya menjadi miskin. Belum lagi sulitnya mencari pekerjaan, meski sudah memiliki kemampuan sesuai kulaifikasi karena jumlah lowongan yang ada semakin sedikit apalagi dengan diterapkannya sistem tenaga kontrak. Alih-alih setelah mendapat pekerjaan kemudian tenang untuk mencukupi kebutuhannya ternyata biaya hidup yang tinggi menghantui, sehingga pemenuhan kebutuhanpun sulit tercukupi. Sedangkan dalam siatem kapitalis negara hanya sebagai regulator, dan disini cenderung nampak lepas tangan dalam menjamin kesejahteraan rakyat sehingga beban hidup dipikul perindividu. Padahal negara seharusnya berperan penuh menjaga agar rakyat bisa tercukupi segala kebutuhannya, entah dengan ditanggung sendiri tapi negara menjamin ketersediaan barang dan harga yang sangat terjangkau. Atau memberikan lapangan pekerjaan dan gaji yang memadahi agar rakyat bisa membeli dengan hasil usahanya tanpa meminta-minta.
Belum lagi dalam sistem ini, gaya hidup materialis dan hedon tumbuh dari pendidikan sekuler dan pengaruh media liberal. Sehingga masyarakat cenderung menilai segala sesuatu dengan materi, hal ini berdampak pada daya beli masyarakat terhadap barang semakin meningkat. Dalam dunia pendidikan pun juga demikian, anak sekolah adalah untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dengan gaji yang lebih tinggi. Bukan untuk mendalami ilmu lalu mengamalkan agar kehidupan lebih baik. Sehingga dengan adanya pengarih media sosial hal ini menjadi sangat kompleks pengaruhnya dimasyarakat, masyarakat mengikuti gaya hidup hedonis dan materialistis.
Segala sesuati dipermudah dengan adanya media sosial, bahkan akses berita juga semakin cepat dan mudah. Akhirnya hal ini menjadikan pernikahan dipandang menjadi beban, bukan sebagai ladang kebaikan dan jalan melanjutkan keturunan. Pernikahan hanya sebagai sarana untuk melepas masa lajang dan bukan bagian dari ibadah. Sehingga disini masalah yang muncul setelah menikah, dianggap sebagai beban hidup yang menghimpit bukan bagian dari cara menggapai ridho Allah. Apalagi bertujuan untuk mencetak generasi unggulan, bahkan pernikahan dianggap sebagai beban yang lebih baik di nomorduakan setelah mereka benar-benar merasa mapan. Konsep keimanan dalam menikah dan juga tujuan menikah sudah sangat jauh dari nilai Islam.
Maka seharusnya negara menjamin kebutuhan dasar rakyat dan membuka lapangan kerja yang luas melalui penerapan sistem ekonomi Islam. Karena hanya dengan negara berperan penuh, maka rakyat akan mudah dalam memperoleh kesejahteraan. Mulai dari menyiapkan ketrampilan kerja untuk rakyat yang kurang dari sisi keahlian dan supaya layak bekerja di bidang yang di kuasai bukan hanya sebagai buruh tapi sampai tataran menjadi ahli. Kemudian lapangan pekerjaan disediakan yang mampu menampung para pencari kerja kalau mereka tidak mamapu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Kemudian penghargaan terhadap jasa dan usaha seseorang yang layak bukan untuk mendapatkan keuntungan dan merugikan orang lain, regulasi juga dipermudah untuk pekerja sehingga gaji yang di dapat dari kerja sangat layak. Dari sini maka pemenuhan terhapat barang dan jasa akan mudah dijangkau dan dipenuhi, karena semua itu dijamain oleh negara. Negara bukan sebgaai regulator tetapi memfasilitasi dan memastikan rkayt mendapat dan bisa mencapai kesejahteraan tanpa harus berpangku tangan.
Kemudian pengelolaan milkiyyah ammah ditangani sepenuhnya oleh negara, bukan oleh swasta/asing, sehingga hasilnya kembali untuk kesejahteraan masyarakat dan mampu menekan biaya hidup. Karena ketika negara berperan penuh maka targetnya bukan untuk mencari keuntungan tapi semata-mata untuk mensejahterakan rakyat. Sumberdaya dikelola untuk mencukupi kebutuhan rakyat bisa secara gratis atau membeli dengan harga yang sangat terjangkau. Kalau swasta yang mengelola, rakyat tidak dapat merasakan hasilnya dan kalau beli dengan harga ynag mahal, karena mereka berorientasi mencari keuntungan dalam setiap usahanya. Maka ketika negara menggunakan sistem islam, sumberdaya alam benar-benar akan dikelola dengan sebaik-baiknya dan dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan rakyat, baru kalau ada kelebihan dari itu setelah rakyat tercukupi bisa dijual ke luar negeri.
Ditambah lagi pendidikan yang ditetapkan berbasis aqidah, akhirnya bisa membentuk generasi berkarakter dan tidak terjebak hedonisme serta materialisme. Karena pendidikan bertujuan untuk mencerdaskna dan mencetak generasi unggulan. Atas dasar keimanan yang kuat terbentuklah generasi yang berkarakter yang mampu menjadi generasi penerus bangsa. Dan merekalah yang nantinya menjadi penyelamat umat. Sehingga disini penguatan institusi keluarga, mulai dari pembekalan pranikah serta pemahmaan yang kuat dari pemahaman agama dengna dorongan keimanan. Sehingga generasi muda menikah terdorong menikah sebagai sebuah ibadah dan untuk menggapai ridho Allah bukan untuk mengejar kenikmatan jasadi saja. Disempurnakan juga untuk penjagaan keturunan, agar generasi ynag lahir benar-benar generasi unggulan yang diridhoi Allah karena dimulai dengna jalan ynag benar sesuai tutunan dalam agama dan keimanannya. Maka dari sini akan dapat terwujud kesejahteraan, negara mensuahsanakan segalanya untuk mencapai hal itu. Negara berperan penuh bersinergi dengan institusi keluarga dalam memajukan, mensejahterakan rakyat dan memakmurkan negara. Insyaallah.

Posting Komentar