Duka Sumatra, Bencana Alam atau Krisis Ekologi?
Oleh : Mommy Hulya
Sumatra berduka banjir bandang dan tanah longsor melanda. Daerah yang terdampak antara lain Aceh, Sumatra Utara, serta Sumatra Barat. Hujan ekstrim mulai terjadi pada tanggal 25 November 2025 kemudian di susul dengan banjir dan tanah longsor di Sumatra Barat dan Sumatra Utara sejak 26 hingga 28 November memutus jalan nasional. Dikutip dari https://www.kompas.tv/nasional/636664/update-korban-bencana-sumatera-per-10-desember-2025-bnpb-969-orang-meninggal-252-masih-hilang 10 Desember 2025, BNPB mencatat 969 orang meninggal, 252 hilang, serta lebih dari 200 ribu mengungsi.
Begitu banyak korban terdampak BNPN dan TNI sudah menurunkan tim evakuasi namun terhalang oleh akses jalan yang terputus.Ironi nya pemerintah tak kunjung menetapkan status. Sehingga bantuan internasional pun belum bisa masuk karena status yang belum jelas. Skala bencana sudah melampaui kapasitas daerah semestinya Pemerintah pusat segera turun tangan dan menetapkan status bencana menjadi bencana Nasional sehingga koordinasi antar lintas kementrian tidak tehambat.
Ini bencana alam atau krisis ekologi?
Siklon Tropis Senyar disebut-sebut menjadi salah satu pemicu langsung hujan ekstrim. Namun jika di teliti lebih dalam akar permasalahan nya adalah deforestasi, lemahnya tata ruang dan minimnya kesiapsiagaan memperparah dampak hujan.
Deforestasi merupakan pemicu utama dari bencana alam ini. Hutan sebagai penahan air hilang menyebabkan sungai meluap lebih cepat, bukit yang gundul akan menyebabkan tanah lebih mudah longsor, dan desa-desa yang berada di daerah rawan akhirnya tergerus arus banjir. Deforestasi bukan hanya menjadi penyebab hilangnya habitat satwa dan berkurangnya keragaman hayati, tetapi juga meningkatnya emisi karbon yang memperparah perubahan iklim.
Bencana Sumatra adalah ujian sekaligus alarm ekologi. Sumatra kehilangan jutaan hektar hutan karena ekspansi sawit dan tambang. Daerah aliran sungai (DAS) kian kritis, sehingga hujan ekstrem langsung berubah menjadi banjir besar. Jika tata ruang tidak diperbaiki, tragedi serupa akan terulang kembali.
Solidaritas Rakyat vs Lambannya Negara
Pemerintah terkesan sangat lamban dalam menanggapi status bencana alam, disisi lain masyarakat dengan bergerak cepat mengumpulkan donasi melalui sosial media dalam sehari mencapai milyaran rupiah. Relawan terjun langsung ke lokasi terdampak membuka dapur umum , mengevakuasi korban menjadi garda terdepan disaat negara sibuk dengan birokrasi.
Ironisnya, ada anggota DPR yang mencibir gerakan warga, seolah-olah bantuan masyarakat tidak berarti dibandingkan klaim negara yang “sudah memberi triliunan”. Pernyataan ini bukan hanya melukai hati rakyat, tetapi juga menunjukkan betapa jauhnya sebagian elit dari realitas lapangan. Padahal, di saat bencana, sekecil apapun kontribusi adalah nyawa yang diselamatkan.
Solusi Terefektif Duka Sumatra
1.Darurat
Tetapkan status bencana menjadi bencana nasional agar koordinasi atas kementrian ,TNI , POLRI berjalan serentak.
Distribusi logistik cepat meliputi makanan air bersih selimut obat obatan pakaian dan layanan kesehatan.
Evakuasi dan pengungsian aman akses jalan dibuka komunikasi di pulihkan dan adanya posko trauma bencana alam.
2.Solusi Jangka Menengah (pemulihan masyarakat)
Rehabilitasi rumah & infrastruktur → membangun kembali dengan standar aman bencana.
Pemulihan psikososial → layanan konseling, dukungan komunitas, dan pendidikan anak-anak pengungsi.
Audit tata ruang daerah → meninjau kembali izin tambang, perkebunan, dan pemukiman di kawasan rawan.
3.Solusi Jangka Panjang (pencegahan berulang)
Rehabilitasi hutan & ekosistem → reboisasi, perlindungan daerah aliran sungai, dan penegakan hukum terhadap deforestasi.
Sistem peringatan dini → teknologi sensor hujan, sirine banjir, dan edukasi masyarakat.
Integrasi kebijakan ekologi → pembangunan berkelanjutan yang menyeimbangkan ekonomi dengan kelestarian alam.
Teladan kepemimpinan Islami → seperti Khalifah Umar bin Khattab yang hadir penuh saat rakyat lemah, pemerintah harus menjadikan perlindungan jiwa sebagai amanah utama.
Solusi terefektif bukan hanya menangani dampak, tetapi mengubah akar masalah: deforestasi, tata ruang yang lemah, dan absennya negara di saat rakyat paling membutuhkan.
Pandangan Islam tentang Bencana Alam
Dalam Al-Qur’an di telah disebutkan ketika Allah berfirman “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155) itu artinya bencana bukan hanya tragedi, akan tetapi bencana alam adalah ujian sekaligus alarm ekologi.
Islam menuntun kita untuk sabar, tolong-menolong, dan menjaga bumi sebagai amanah Allah. Teladan Khalifah Umar bin Khattab menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati adalah melindungi jiwa rakyat di atas segalanya. Kesempatan untuk manusia lebih memperkuat iman, sabar, dan Keperdulian terhadap sesama.
Telah dijelaskan pula dalam Al-Qur'an “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.” (QS. Al-A’raf: 56). Deforestasi dan eksploitasi alam adalah bentuk kerusakan yang dilarang. Menjaga bumi adalah amanah dan mengabaikan nya sama artinya mengundang bencana.
Bencana Sumatra merupakan ujian kepemimpinan, dan panggilan hati. Apakah kita akan terus menutup mata? Saatnya kembali pada Islam kaffah—hadir penuh melindungi jiwa, memperbaiki tata ruang, dan menjaga bumi sebagai amanah Allah.

Posting Komentar