-->

Dari “Brain Rot” ke Kepemimpinan Berpikir, Tantangan Negara Menyiapkan Generasi Digital Muslim


Oleh : Umma Almyra

Fenomena menurunnya kemampuan berpikir kritis generasi muda kini semakin nyata. Di tengah kemajuan teknologi digital yang masif, Generasi Z justru dihadapkan pada paradoks: akses informasi semakin luas, tetapi kedalaman berpikir kian menipis. Berbagai laporan dan kajian menunjukkan adanya penurunan fungsi kognitif, daya fokus, serta kemampuan analisis pada generasi muda akibat konsumsi konten digital yang berlebihan dan dangkal. Fenomena ini populer disebut brain rot—pembusukan kemampuan berpikir secara perlahan.

Masalah ini tidak bisa dipandang sebagai isu personal semata. Ia adalah persoalan struktural yang menyentuh sistem pendidikan, arah kebijakan negara, serta ideologi yang mendasari pengelolaan ruang digital. Bagi umat Islam, kondisi ini menjadi tantangan serius karena kualitas berpikir generasi muda sangat menentukan masa depan kepemimpinan dan kebangkitan peradaban Islam.

Generasi Digital dan Krisis Kedalaman Berpikir

Generasi muda hari ini hidup dalam arus konten yang bergerak cepat, visual, dan serba instan. Algoritma media sosial mendorong konsumsi video pendek, hiburan ringan, dan sensasi viral. Pola ini secara perlahan membentuk kebiasaan berpikir dangkal—reaktif, emosional, dan minim refleksi. Akibatnya, proses berpikir mendalam, membaca panjang, dan menganalisis persoalan kompleks menjadi semakin jarang dilakukan.

Padahal, kemampuan berpikir kritis adalah fondasi kepemimpinan. Tanpa daya analisis yang kuat, generasi muda akan mudah terombang-ambing oleh opini populer, propaganda, dan narasi dominan. Dalam konteks global yang sarat persaingan ideologi, kondisi ini sangat berbahaya. Generasi muda berisiko kehilangan arah, identitas, dan visi peradaban.

Islam sejak awal menempatkan akal sebagai instrumen utama untuk memahami wahyu dan realitas. Al-Qur’an berulang kali mengajak manusia untuk berpikir dan merenung. Teguran seperti “Apakah kamu tidak berpikir?” menjadi ciri khas dakwah Qur’ani. Bahkan Allah SWT memperingatkan bahwa seburuk-buruk makhluk adalah mereka yang tidak menggunakan akalnya untuk memahami kebenaran (QS. Al-Anfāl: 22). 
Ini menunjukkan bahwa kemerosotan berpikir bukan sekadar masalah teknis, tetapi masalah moral dan peradaban.

Algoritma, Kapitalisme, dan Hilangnya Arah Pendidikan

Fenomena brain rot tidak lahir secara alamiah. Ia adalah produk dari desain algoritma digital yang beroperasi di bawah sistem kapitalisme sekuler. Dalam sistem ini, perhatian manusia diperlakukan sebagai komoditas ekonomi. Semakin lama seseorang terpaku pada layar, semakin besar keuntungan yang dihasilkan. Maka, konten dirancang untuk memicu candu, bukan untuk mencerdaskan.

Negara, sayangnya, cenderung bersikap pasif. Regulasi ruang digital lebih banyak berfokus pada aspek teknis dan keamanan, bukan pada dampaknya terhadap pembentukan pola pikir generasi. Sementara itu, sistem pendidikan nasional masih berkutat pada capaian administratif, standar nilai, dan keterampilan pragmatis yang selaras dengan kebutuhan pasar kerja. Pendidikan gagal berfungsi sebagai ruang pembentukan manusia berpikir dan berkepribadian ideologis.

Dalam perspektif Islam, pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi proses pembentukan kepribadian (syakhshiyyah). Pendidikan seharusnya melahirkan manusia yang mampu memahami realitas, menimbang benar dan salah, serta bertindak berdasarkan nilai ilahiah. Ketika pendidikan tunduk pada logika kapitalisme, maka generasi muda hanya disiapkan sebagai tenaga kerja, bukan pemimpin peradaban.

Generasi Muda: Dari Objek Pasar ke Subjek Peradaban

Dampak paling serius dari krisis berpikir ini adalah berubahnya posisi generasi muda dari subjek menjadi objek. Mereka menjadi sasaran pasar, objek algoritma, dan target propaganda. Dalam kondisi ini, sulit berharap lahirnya pemimpin yang visioner dan berprinsip.

Islam menempatkan generasi muda sebagai tulang punggung perubahan. Al-Qur’an menyebut umat Islam sebagai khairu ummah—umat terbaik yang memimpin manusia dengan amar makruf nahi mungkar (QS. Ali ‘Imran: 110). Kepemimpinan ini mensyaratkan kejernihan berpikir, keberanian moral, dan keutuhan ideologi. 
Tanpa itu, umat hanya akan menjadi pengikut, bukan penentu arah sejarah.

Sejarah Islam mencatat bahwa para sahabat muda Rasulullah SAW dibina dengan tsaqofah Islam yang kuat. Mereka tidak hanya menguasai ilmu, tetapi juga memiliki keberanian ideologis. Mereka mampu berdiri tegak menghadapi arus jahiliah karena memiliki pandangan hidup yang jelas. Ini kontras dengan kondisi generasi hari ini yang dijejali informasi, tetapi miskin orientasi.

Islam, Teknologi, dan Batasan Syariat

Islam tidak menolak teknologi. Sebaliknya, Islam mendorong pemanfaatan ilmu dan teknologi untuk kemaslahatan umat. Namun, Islam menempatkan teknologi dalam koridor syariat. Teknologi adalah alat, bukan penentu nilai. Ketika teknologi dibiarkan tanpa arah ideologis, ia justru menjadi alat perusak.

Generasi muda Muslim perlu dibekali kemampuan mengendalikan teknologi, bukan sekadar menggunakannya. Media digital seharusnya menjadi sarana dakwah, edukasi, dan penguatan umat. Untuk itu, dibutuhkan kesadaran kolektif untuk berhenti sejenak dari arus viralitas dan mulai merekonstruksi tsaqofah berpikir. Allah SWT menegaskan bahwa perubahan tidak akan terjadi tanpa perubahan internal umat itu sendiri (QS. Ar-Ra‘d: 11).

Peran Negara dan Pembinaan Ideologis Sistematis

Upaya membangun kembali kepemimpinan berpikir generasi digital tidak bisa diserahkan pada individu atau komunitas semata. Negara memiliki peran strategis melalui kebijakan pendidikan, pengelolaan media, dan arah pembangunan budaya. Dalam Islam, negara berfungsi sebagai raa‘in—pengurus urusan umat—yang bertanggung jawab memastikan generasi tumbuh dengan akal sehat dan iman yang kokoh.

Pembinaan literasi ideologis harus dilakukan secara sistematis: di keluarga, sekolah, dan masyarakat. Namun, efektivitasnya akan sangat ditentukan oleh dukungan negara. Tanpa keberpihakan kebijakan, ruang publik akan terus didominasi oleh kepentingan kapitalisme global.

Di sinilah pentingnya peran partai politik Islam ideologis. Kebangkitan berpikir saja tidak cukup jika tidak diarahkan pada ide yang sahih. Pembinaan harus berlandaskan akidah Islam dan terhubung dengan perjuangan politik yang terorganisir. Tanpa itu, kesadaran generasi muda akan berhenti pada level wacana, tidak menjelma menjadi perubahan sistemik.

Menyiapkan Kepemimpinan Masa Depan

Fenomena brain rot sejatinya adalah peringatan keras. Ia menandai krisis arah dalam pembangunan generasi. Jika dibiarkan, generasi muda akan kehilangan kemampuan memimpin dan umat akan kehilangan masa depan. Namun, krisis ini juga membuka peluang kebangkitan.

Dengan pembinaan berpikir yang benar, teknologi yang diarahkan oleh nilai Islam, serta peran negara yang bertanggung jawab, generasi digital Muslim berpotensi menjadi lokomotif kebangkitan Islam. Sejarah telah membuktikan bahwa perubahan besar selalu dimulai dari generasi muda yang berani berpikir jernih dan berpegang teguh pada kebenaran.

Pertanyaannya kini bukan lagi apakah tantangan itu ada, tetapi apakah negara dan umat bersedia mengambil peran untuk mengatasinya.

Wallahu a'lam bishawab