Carut Marut MBG, Kualitas Pendidikan dipertaruhkan
Oleh : Dinda Kusuma W T
MBG (Makan Bergizi Gratis) adalah program kampanye presiden terpilih Prabowo Subianto yang digadang-gadang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Kendati banyak yang berpendapat bahwa MBG tidak realistis, buang waktu dan buang tenaga, namun program ini tetap dijalankan dengan segala problematikanya. Dan benarlah, setelah berjalan kurang lebih setahun, persoalan dan kritik demi kritik menerpa progam ini tiada habisnya.
Tentang dugaan korupsi jangan ditanya lagi. MBG jelas menjadi lahan basah para koruptor. Mirisnya, pelakunya terang-terangan dan masyarakat pun sudah maklum sebab sudah sangat apatis terhadap pemberantasan korupsi. Dugaan menu MBG jauh dibawah biaya yang dianggarkan ditemukan dimana-mana.
Persoalan yang tak kalah mengkhawatirkan adalah banyaknya kasus keracunan. Proses pembuatan makanan yang sangat banyak sekaligus diduga menyebabkan banyak makanan akhirnya basi saat didistribusikan ke sekolah. Sebagaimana diketahui, program makan gratis bagi siswa ini tidak diserahkan pada dapur sekolah masing-masing, melainkan diserahkan kepada dapur khusus bekerjasama dengan swasta pemenang tender. Sekali lagi, sistem tender ini selain tidak efektif juga rawan terhadap korupsi.
Pemerataan sekolah penerima MBG juga ternyata bukan hal yang mudah. Tercatat hingga November 2025, distribusi MBG masih terpusat di wilayah perkotaan, sementara sekolah-sekolah di daerah perbatasan atau pelosok belum merasakan program ini secara optimal. Bahkan dari segi menu, sekolah daerah perkotaan cenderung jauh lebih baik dan sesuai anggaran. Padahal, semua siswa dan sekolah memiliki hak yang sama.
Kemudian, satu persoalan yang cukup serius adalah dana pelaksanaan program MBG tahun 2026 ternyata diambil dari APBN dengan mengambil sebagian besar jatah anggaran pendidikan. Bayangkan, dari anggaran pendidikan tahun 2026, program MBG memakan dana Rp 223 triliun dari total anggaran pendidikan Rp 769,1 triliun. Adapun total anggaran MBG mencapai Rp 335 triliun. Sebanyak Rp 223 triliun dari anggaran MBG diambil dari sektor pendidikan, setara 66% alias nyaris 70%. Selebihnya, anggaran MBG Rp 24,7 triliun dari sektor kesehatan, dan Rp 19,7 triliun dari sektor ekonomi. Artinya, dana MBG paling banyak mengambil anggaran pendidikan (detik.com, 30/12/2025).
Pengalihan anggaran ini jelas berpotensi memperburuk kualitas pendidikan nasional yang sejak lama masih bergulat dengan berbagai persoalan mendasar. Masuknya anggaran MBG dalam postur anggaran pendidikan ini selayaknya mendapat kritik dari berbagai pihak. Turunnya anggaran pendidikan pada RAPBN 2025 menunjukkan tidak adanya komitmen pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Penuntasan program wajib belajar yang dalam UU Sisdiknas disebut 9 tahun dan pemerintah menjanjikan untuk menaikkan menjadi 13 tahun akan makin sulit tercapai. Pada kondisi ini, menjadi pertanyaan mengapa pemerintah justru menambah beban anggaran pendidikan untuk program yang tak secara langsung menjawab kebutuhan pendidikan dasar?
Sebelumnya, pemerintah telah mengidentifikasi beberapa tantangan pendidikan, diantaranya rendahnya skor yang berkaitan kualitas intelektual siswa, rendahnya kompetensi guru, dan tingginya pengangguran lulusan perguruan tinggi. Harusnya, anggaran pendidikan yang sebelumnya sudah tercerai berai untuk berbagai kepentingan, kali ini benar-benar diprioritaskan untuk memenuhi hutang negara atas kewajiban konstitusional pendidikan dasar. Lebih dari itu, untuk menjawab tantangan masa depan dan mimpi Indonesia Emas 2045, pemerintah juga seharusnya mulai menunjukkan komitmen yang nyata memperluas akses pendidikan menengah hingga tinggi.
Pada dasarnya, target penerima MBG tak relevan dengan pelayanan pendidikan. Selain peserta didik, program ini diperuntukkan untuk anak balita dan ibu hamil atau menyusui beresiko anak stunting. Kuat dugaan, dimasukkannya anggaran MBG ke anggaran pendidikan semata dikarenakan pendidikan merupakan sektor dengan porsi anggaran besar. Pemerintah mengabaikan banyak hal dan secara serampangan asal memasukkan anggaran MBG dalam anggaran pendidikan.
Sungguh carut marut negeri ini tidak ada habisnya. Berbagai program yang katanya ditujukan untuk perbaikan, faktanya justru menambah masalah dan kerusakan. Benar bahwa, bukan hanya personal pengelola negaranya yang harus diperbaiki, namun sistem tata cara pengelolaan negara pun harus diperbaiki. Bahkan dirombak sepenuhnya. Kapitalisme tidak akan mampu memberikan solusi atas semua persoalan kehidupan manusia. Harus dicabut hingga ke akarnya.
Wallahu a'lam bishawab.

Posting Komentar