-->

Abainya Penguasa Negeri dalam Penanganan Bencana


Oleh : Ummu Aisyah

Pengibaran bendera putih di sejumlah wilayah Aceh terus terjadi dalam beberapa hari. Yang terbaru, bendera putih berkibar saat demonstrasi di Banda Aceh. Pengibaran bendera putih ini bukan berarti Aceh mengalah atau menyerah, tetapi ini adalah tanda SOS (minta pertolongan), untuk menarik perhatian masyarakat Indonesia dan internasional bahwa kondisi di Aceh hari ini begitu buruk.

Menurut warga, penanganan bencana oleh pemerintah pusat dinilai lamban. Hampir tiga pekan berlalu usai banjir dan longsor yang terjadi pada tanggal 25 November 2025, akses transportasi di berbagai daerah Aceh masih terputus, lumpur dan gelondongan kayu masih bertumpuk dimana-mana, listrik dan jaringan telekomunikasi sebagian besar masih mati, pasokan bantuan kebutuhan dasar tidak merata, tidak ada air bersih untuk minum dan keperluan lainnya, persediaan obat dan bahan bakar juga sangat minim. Beberapa kecamatan di Aceh seperti kota mati.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNBP) melaporkan korban meninggal dunia akibat bencana di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat sampai tgl 20 Desember 2025 telah mencapai 1.090 jiwa, korban yang hilang 186 orang dan jumlah pengungsi sebanyak 510.528 jiwa (Detiknews, 20/12/2025).

Tujuh Bupati di Aceh menyatakan tidak sanggup menangani kerusakan bencana karena kemampuan daerah sangat terbatas sementara kerusakan akibat banjir bandang dan longsor begitu besar. Mereka berharap turun bantuan dari pemerintah pusat dan menyatakan bencana Aceh dan Sumatera sebagai Bencana Nasional.

Namun, alih-alih mengirimkan bantuan berupa alat berat dan perbaikan infrastruktur, pemerintah pusat sibuk rapat koordinasi bahkan penguasa negeri sempat-sempatnya mengadakan kunjungan ke luar negeri. Lalu para pejabat sibuk pencitraan dengan bantuan simbolis sekedarnya. Warga menilai bantuan dari pemerintah lamban bahkan ada yang mengatakan, rakyat seperti tidak punya pemimpin yang mengurus mereka.

Demikianlah penanganan bencana dalam sistem kapitalisme sekuler saat ini. Pemerintah berorientasi pada untung rugi dalam mengurus rakyatnya. Namun saat datang bantuan dari luar negeri, bantuan itu ditolak dengan alasan kami mampu bangkit kembali. Padahal fakta di lapangan, rakyat sangat menderita tidak menemukan makanan dan terisolasi berminggu-minggu. Mereka minum dan mencuci pakaian dengan air banjir, hidup masih di tenda pengungsian. Berjalan berkilo-kilo meter untuk membeli keperluan hidup. Sungguh miris membayangkannya. Dan bukan waktunya penguasa menyatakan mampu bila kenyataan rakyat sangat butuh pertolongan.

Bantuan kepada para korban banyak datang dari ormas dan masyarakat yang peduli. Lewat penggalangan dana mereka mengumpulkan bantuan dan diserahkan langsung kepada para korban di Aceh dan Sumatera atas dasar kemanusiaan. Sungguh Sekularisme telah menggerus tanggung jawab dan empati penguasa kepala rakyatnya. Takutkah penguasa bila ada pengusutan internasional atas jutaan meter kubik kayu yang terbawa banjir?
Kondisi ini akan sangat berlainan dengan negara yang menerapkan syariat Islam, karena penguasa (Khalifah) ditetapkan oleh Syarak sebagai pengurus (raa’in) dan pelindung (junnah) rakyat. Kepengurusan Khalifah atas rakyatnya, kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan rakyat dan Allah SWT.

Negara Khilafah akan proaktiv mencegah bencana melalui pengelolaan lingkungan sesuai Syari’ah. Allah melarang manusia melakukan perusakan lingkungan dan eksploitasi sumber daya alam secara brutal, seperti dalam Firman Allah SWT, QS Al A’raf ayat 56. Dengan demikian, tanggung jawab pemerintah untuk menjaga hutan, daerah resapan air dan kawasan lindung. Khalifah akan melarang alih fungsi lahan hijau menjadi hutan industri atau perumahan, juga melarang pengelolaan sumber daya alam (SDA) oleh swasta atau asing, sebab hakikatnya SDA itu milik rakyat. Khilafah tidak akan menyengsarakan rakyat demi keuntungan. Kemaslahatan umat diutamakan karena amanah politik Islam, seorang penguasa adalah pelayan rakyatnya, bukan pelayan korporasi atau asing.

Pencegahan bencana dilakukan dengan analisa dampak lingkungan yang jujur. Daerah yang rawan longsor atau banjir tidak akan diijinkan untuk ditinggali manusia, pemeliharaan daerah sempadan sungai rutin dilakukan, agar saat musim hujan terhindar dari banjir.

Bila Qadarullah terjadi bencana banjir atau longsor, maka mitigasi bencana disiapkan dengan cepat dan terencana. Evakuasi korban bencana didahulukan ke tempat yang aman karena nyawa sangat berharga. Pemulihan tempat tinggal dan infrastruktur dengan cepat dipulihkan menggunakan dana dari Baitul mal, tidak usah mengadakan penggalangan dana dari masyarakat. Bantuan luar negeri selama tidak ada syarat yang mengikat, akan diterima dengan penuh syukur, karena bantuan itu hakekatnya adalah dari Allah SWT.

Demikianlah, syariat Islam membimbing manusia dalam menjalani kehidupan agar selaras dengan alam dan lingkungan masyarakat. Antara pemerintah dan rakyatnya terjalin hubungan yang erat, saling menjaga saling mengingatkan. Tepat kiranya kalau Syari’at Islam Rahmatan lil ‘alamin.
Wallahu a’lam bisshawab.