-->

Sudan Membara, Jejak Tangan Barat di Balik Perang

Oleh : Ummu Anjaly, S.K.M

Sudan kembali dilanda kobaran konflik yang semakin brutal. Negeri mayoritas muslim di Afrika Timur itu kini menjadi saksi kekejaman perang yang tak kunjung padam. Ribuan warga sipil terpaksa mengungsi, ratusan terbunuh, dan aksi pemerkosaan masal pun kembali mencoreng kemanusiaan. Menurut laporan Republika (30/10/2025), kekerasan meningkat tajam di wilayah Darfur dan Al-Fashir. Dalam empat hari saja, lebih dari 60 ribu orang meninggalkan rumahnya (Minanews.net, 2 November 2025).

Sudan sejatinya negeri yang kaya. Ia memiliki sungai Nil yang panjang, piramida lebih banyak daripada Mesir, serta menjadi produsen emas terbesar di dunia Arab. Namun, di tengah limpahan sumber daya alam itu, rakyat Sudan hidup dalam penderitaan panjang akibat perang saudara dan krisis kemanusiaan yang terus berulang.

Kejatuhan Al-Fashir dan Rencana Amerika

Puncak eskalasi terjadi setelah kota Al-Fashir jatuh ke tangan Rapid Support Forces (RSF) pada 26 Oktober 2025. Kota yang telah bertahan dari 266 serangan sejak Mei 2024 akhirnya luluh lantak setelah diserbu dari lima arah menggunakan kendaraan lapis baja, pesawat nirawak, dan pasukan bayaran dari Kolombia, Chad, Sudan Selatan, dan Republik Afrika Tengah.

Menurut Hizbut Tahrir Wilayah Sudan, kejatuhan Al-Fashir bukan sekadar kegagalan militer, melainkan bagian dari skenario Amerika Serikat untuk memisahkan wilayah Darfur dan memusatkan pengaruhnya di Sudan. Masad Boulos, penasihat Presiden AS untuk urusan Afrika dan Timur Tengah, bahkan menyebut penguasaan RSF atas Darfur sebagai “langkah positif menuju negosiasi damai” (Al Jazeera Mubasher, 27/10/2025).

Namun di balik diplomasi itu, tersimpan niat busuk. Amerika disebut sengaja menyalakan bara perang selama dua setengah tahun terakhir, menggerakkan agen dan negara sekutunya seperti Chad, Kenya, Libya, dan Uni Emirat Arab (UEA) demi mengokohkan kendali atas Sudan. UEA sendiri dituding menjadi pemasok utama senjata bagi RSF. Beberapa jam setelah jatuhnya Al-Fashir, bahkan dilaporkan ada pertemuan rahasia antara Menteri Luar Negeri Sudan Muhyiddin Salim dan Menteri Negara UEA Shakhbut Al Nahyan di Washington, bukti bahwa krisis ini dikelola langsung di bawah pengaruh Amerika.

Hegemoni Barat dan Wajah Kapitalisme

Krisis Sudan sejatinya bukan konflik etnis semata. Di baliknya berlangsung pertarungan dua kekuatan besar (Amerika Serikat dan Inggris), beserta sekutunya zionis Israel dan UEA. Mereka berebut pengaruh atas kekayaan emas dan minyak Sudan.

Amerika berusaha memusnahkan pengaruh Inggris yang telah lama bercokol di wilayah itu. Melalui RSF, Washington menargetkan penghancuran kelompok militer pro-Inggris dan memanfaatkan kekejaman RSF untuk memecah dukungan rakyat terhadap mereka. Tujuan akhirnya jelas yaitu memisahkan Darfur, membentuk pemerintahan paralel, dan menormalisasi hubungan dengan entitas zionis agar Israel dapat menguasai sumber daya dan menebar pengaruh di kawasan.

Semua ini memperlihatkan wajah asli kapitalisme global, yakni sistem yang menuhankan materi dan menjadikan darah manusia lebih murah daripada sebutir emas. Aturan internasional pun mandul. PBB, lembaga HAM, bahkan organisasi dunia Islam tak berdaya menghadapi kekuatan adidaya yang terus menjarah kekayaan negeri-negeri muslim.

Sudan hanyalah satu dari sekian banyak korban hegemoni Barat, sebagaimana Palestina, Suriah, dan Yaman. Semua menunjukkan pola serupa, yaitu negara-negara muslim dipecah dan dilemahkan agar kekayaan mereka dapat dikuasai lewat kedok investasi, bantuan, atau perundingan damai yang menipu.

Seruan Hizbut Tahrir: Sadar dan Bangkit

Hizbut Tahrir Wilayah Sudan menegaskan bahwa tidak ada keselamatan bagi rakyat Sudan selama mereka menyerahkan urusan kepada Amerika, Inggris, atau para agen lokalnya. Perang ini hanyalah alat untuk mempertahankan dominasi penjajahan modern di bumi Islam.

Karena itu, Hizbut Tahrir menyeru umat agar: pertama, menyadari hakikat rencana jahat Barat dan sekutunya di negeri-negeri muslim.
Kedua, meyakini bahwa Islam adalah sistem hidup yang sempurna dan satu-satunya jalan keluar dari krisis.

Ketiga, berjuang menegakkan Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah sebagai pelindung umat dan pengelola kekayaan secara adil.

Sebagaimana firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul jika ia menyeru kamu kepada sesuatu yang menghidupkan kamu.”
(QS. Al-Anfal: 24)

Penutup

Islam memandang konflik di Sudan dan negeri-negeri muslim lain sebagai bagian dari perang ideologi global antara Islam dan sistem kufur Barat. Karena itu, solusi hakiki bukan diplomasi semu atau gencatan senjata yang dikendalikan asing, melainkan penyatuan umat dalam satu kepemimpinan Islam yang menegakkan syariat secara kaffah.

Hanya dengan Khilafah Islamiyah, sumber daya alam dikelola untuk kemaslahatan umat, penjajahan ekonomi ditolak, dan intervensi militer asing dihentikan. Sudan bukan sekadar medan perang, tetapi cermin penderitaan dunia Islam yang tercerai-berai.

Selama kapitalisme masih menjadi sistem dunia, darah kaum muslimin akan terus mengalir demi kepentingan penjajah. Maka sudah saatnya umat Islam kembali bersatu di bawah panji Islam agar kemuliaan, keamanan, dan kesejahteraan sejati kembali menaungi negeri-negeri muslim, termasuk Sudan yang kini tengah membara.