Remaja Korban Bullying Semakin Membahayakan
Oleh : Neni Moerdia
Dua insiden tragis baru-baru ini mengguncang dunia pendidikan Indonesia: seorang santri di Aceh Besar membakar asrama pondok pesantren (ponpes) karena sakit hati akibat bullying berulang, dan seorang siswa SMA Negeri 72 di Jakarta diduga meledakkan bom rakitan di sekolah sebagai bentuk balas dendam atas perundungan yang dialaminya. Kedua pelaku, yang masih remaja, mengalami tekanan sosial berat berupa ejekan, pelecehan, dan pengucilan hingga mendorong mereka ke tindakan ekstrem yang membahayakan nyawa orang lain. Fakta ini bukan sekadar kasus isolasi, melainkan alarm darurat bahwa korban bullying kini berpotensi menjadi pelaku kejahatan berbahaya.
Fakta ini Mengkhawatirkan
1. Santri Pembakar Asrama: Pada 31 Oktober 2025, asrama putra Dayah Babul Maghfirah di Kuta Baro, Aceh Besar, hangus terbakar. Pelaku, seorang santri di bawah umur, mengaku sengaja membakar lantai dua menggunakan korek api karena sering dibully teman-temannya. Kerugian mencapai Rp2 miliar, dan ini adalah kebakaran ketiga di ponpes tersebut dalam dua tahun.
2. Siswa SMA Pelaku Ledakan: Pada 7 November 2025, ledakan terjadi di SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara, saat salat Jumat. Pelaku, siswa kelas 12, diduga korban bullying kronis—dikenal pendiam, suka menggambar tema ekstrem, dan sering menonton video perang. Ia luka parah dan mencoba bunuh diri; 10 orang lainnya terluka.
3. Tekanan Sosial yang Berat: Kedua pelaku mengalami pengucilan, ejekan, dan pelecehan yang memicu dendam. Santri ingin barang teman musuhnya ikut terbakar, sementara siswa SMA belajar merakit bom dari internet sebagai pelampiasan.
Bullying bukan hanya fenomena lokal, melainkan gejala sistemik di berbagai daerah dari ponpes tradisional hingga sekolah negeri modern. Ini menunjukkan kegagalan institusi pendidikan dalam mencegah dan menangani perundungan. Pengaruh media sosial memperburuk situasi. Bullying sering direkam dan disebarkan sebagai “candaan”, menciptakan krisis adab di mana empati hilang.
Korban, yang tertekan, justru menjadikan platform digital sebagai rujukan untuk aksi balas dendam—seperti belajar merakit bom atau membakar bangunan. Akar masalahnya adalah sistem pendidikan sekuler-kapitalistik yang hanya mengejar nilai materi (IPK, ranking), mengabaikan pembentukan akhlak. Pendidikan hanya menjadi pabrik prestasi, bukan pembentuk manusia beradab, sehingga remaja rentan terhadap pengaruh negatif dan mudah terjerumus ke tindakan destruktif yang membahayakan.
Pendidikan dalam Islam bukan sekadar transfer ilmu pengetahuan, melainkan membentuk kepribadian Islam (syakhshiyah Islamiyah) yang kuat, berlandaskan tauhid, adab, dan akhlak mulia. Prosesnya melalui pembinaan intensif: membentuk pola pikir (aqliyah Islamiyah) yang kritis terhadap kezaliman, serta pola sikap (nafsiyah Islamiyah) yang sabar, pemaaf, tapi tegas melawan ketidakadilan, bukan dengan kekerasan.
Kurikulum harus berbasis aqidah Islam, menjadikan adab sebagai fondasi utama. Misalnya, pelajaran tentang sabar seperti dalam QS. Al-Baqarah: 153,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِۗ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ ١٥٣
yâ ayyuhalladzîna âmanusta‘înû bish-shabri wash-shalâh, innallâha ma‘ash-shâbirîn
Wahai orang-orang yang beriman, mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
atau larangan mengolok-olok (QS. Al-Hujurat: 11),
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ ١١
yâ ayyuhalladzîna âmanû lâ yaskhar qaumum ming qaumin ‘asâ ay yakûnû khairam min-hum wa lâ nisâ'um min nisâ'in ‘asâ ay yakunna khairam min-hunn, wa lâ talmizû anfusakum wa lâ tanâbazû bil-alqâb, bi'sa lismul-fusûqu ba‘dal-îmân, wa mal lam yatub fa ulâ'ika humudh-dhâlimûn
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan itu) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok itu) lebih baik daripada perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) fasik setelah beriman. Siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang zalim.
bukan hanya teori tapi diterapkan dalam kehidupan sehari-hari ponpes atau sekolah.
Negara dalam sistem Khilafah wajib menjadi penjamin utama, yaitu menyediakan pendidikan gratis berkualitas, pembinaan moral umat melalui dai dan pengawas, serta perlindungan generasi dari kezaliman sosial seperti bullying. Khilafah akan menerapkan hukum syariah untuk pelaku bullying (ta’zir) dan korban (dukungan psikologis Islami), mencegah eskalasi.
Tanpa ini, remaja korban bullying akan terus menjadi “bom waktu”. Saatnya kembali ke pendidikan Islam sejati: bukan sekuler yang materialistis, tapi yang membentuk manusia bertakwa. Hanya dengan Khilafah, generasi aman dari krisis adab ini.

Posting Komentar