Sistem Kapitalis Penyebab Fenomena Fatherless Makin Meningkat
Oleh : Aktif Suhartini, S.Pd.I., Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok
Indonesia kini tengah menjadi sorotan karena meningkatnya kasus fatherless yakni fenomena ketiadaan peran ayah, baik secara biologis maupun psikis. Jutaan anak di negeri ini tumbuh tanpa kehadiran sosok ayah yang seharusnya menjadi teladan, pelindung, dan pembimbing dalam hidup mereka. Akibatnya, banyak anak kehilangan figur yang berperan penting membentuk karakter, ketangguhan, dan jiwa kepemimpinan. Isu fatherless bahkan sempat menjadi trending di media sosial setelah sebuah penelitian mengungkap Indonesia menempati peringkat ketiga tertinggi di dunia dalam kasus kehilangan peran ayah.
Fenomena ini jelas bukan sekadar persoalan keluarga, melainkan ancaman bagi masa depan generasi bangsa. Anak yang tumbuh tanpa figur ayah berisiko mengalami krisis identitas, gangguan orientasi seksual, hingga kesulitan berinteraksi sosial. Jika hal ini terus dibiarkan, maka bukan hanya individu yang terluka, tetapi juga bangsa yang perlahan kehilangan kekuatan moral, keteguhan, dan karakter kepemimpinannya.
Apalagi, menurut data UNICEF pada 2021, sebanyak 20,9 persen anak Indonesia fatherless. Menurut analisis Tim Jurnalisme Data Harian Kompas, (8/10/2025), sebanyak 15,9 juta anak di Indonesia berpotensi tumbuh tanpa pengasuhan ayah. Angka ini setara dengan 20,1 persen dari total 79,4 juta anak berusia kurang dari 18 tahun, temuan ini merujuk pada olahan data Mikro Survei Sosial Ekonomi Nasional badan Pusat Statistik Maret 2024.
Jika dilihat, masalah fatherless di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya karena kesibukan ayah dalam mencari nafkah sehingga kehadirannya sebagai pendidik dalam keluarga menjadi terbatas. Banyak ayah harus berjauhan dengan anak karena tuntutan pekerjaan, membuat peran pengasuhan lebih banyak dibebankan kepada ibu. Padahal, peran ayah dalam mendidik anak sama pentingnya dengan peran ibu, karena keduanya memiliki kontribusi yang saling melengkapi dalam membentuk karakter dan perkembangan emosional anak.
Ironisnya, di Indonesia sekitar seperlima anak tumbuh dalam kondisi fatherless. Kondisi ini diperparah oleh budaya patriarki yang masih kuat, di mana pengasuhan anak sering dianggap sebagai tanggung jawab ibu semata, sementara kewajiban ayah dianggap selesai ketika ia menafkahi keluarga.
Mungkin saja, kesadaran akan pengasuhan anak sebagai tanggung jawab bersama antara ayah dan ibu sebenarnya mulai tumbuh, namun tuntutan ekonomi sering memaksa ayah bekerja lebih keras hingga menyita waktu untuk keluarga. Banyak ayah menghabiskan lebih dari 60 jam kerja per minggu, jauh melebihi ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang membatasi jam kerja maksimal 40 jam per minggu. Akibatnya, meski tinggal serumah, ayah dan anak jarang berinteraksi. Tak sedikit pula ayah yang harus merantau karena terbatasnya lapangan kerja di daerah asal. Padahal, kehadiran ayah sangat penting sebagai sosok pemimpin, pembimbing, dan teladan yang membentuk karakter serta ketangguhan anak.
Oleh karena itu, pemerintah berusaha mengatasi fenomena fatherless dengan meluncurkan Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI) pada 21 April 2025. Dengan harapan dapat membentuk komunitas yang menular dan menjadi percontohan yang baik lewat gerakan ini. Sebelum juga ada gerakan ayah mengantar anak. Di hari pertama sekolah diantar ayah, yang kemudian diikuti sekolah bersama ayah. Pemerintah menyadari, institusi yang paling dasar itu adalah keluarga, dan meyakini baik tidaknya negara tergantng juga dari baik tidaknya keluarga.
Namun, upaya pemerintah tersebut jauh dari efektif, jika tidak bisa dikatakan seremonial belaka. Gerakan yang lebih bersifat anjuran, tidak komprehensif, dan tidak berkesinambungan ini terbentur tembok tebal, yaitu persoalan sistemis yang menyebabkan maraknya fatherless. Fatherless tidak lahir tiba-tiba. Ia adalah hasil dari serangkaian kebijakan dan regulasi multisektor yang secara sistemis meminggirkan peran ayah dalam pendidikan dan pengasuhan anak.
Miris, kebijakan dan regulasi penyebab fatherless itu justru bersumber dari pemerintah, pihak yang seharusnya berdiri tegak sebagai pemberi solusi bagi persoalan masyarakat. Fenomena fatherless berpengaruh pada kemampuan orang tua memahami maksud hati anak-anaknya. Minimnya komunikasi ayah dengan Gen Z berpengaruh pada terwujudnya gap generasi.
Jadilah Gen Z merasa sunyi. Mereka dituntut sempurna di media sosial, tetapi minim ruang untuk ‘pulang’ karena orang tua tidak berperan lengkap. Akibatnya, mereka rentan mengalami stres, depresi, bahkan bunuh diri. Dengan kondisi generasi yang demikian lemah secara mental, tentu sulit bagi kita mengharapkan Indonesia akan baik-baik saja pada masa depan.
Masalah fatherless juga tidak lepas dari lemahnya pemahaman Islam yang menempatkan ayah sebagai pemimpin (qawwam) dalam keluarga. Akibat sekularisasi, banyak orang tua menjauh dari nilai-nilai Islam sehingga peran pengasuhan dan pendidikan anak diserahkan sepenuhnya kepada ibu. Krisis teladan kepemimpinan pun tak terelakkan.
Di sisi lain, sistem kapitalisme yang diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan mendorong orang tua lebih fokus mengejar materi dan jabatan daripada hadir untuk anak. Gempuran teknologi digital turut memperparah keadaanayah memang ada, tetapi terasa tiada. Kesibukan dengan pekerjaan dan gadget membuat waktu bersama anak semakin tersisih, bahkan tak jarang ayah harus mengambil pekerjaan ganda demi memenuhi tuntutan hidup. Oleh karenanya, menyelesaikan masalah fatherless harus satu paket dengan mencabut sistem kapitalisme hingga akarnya.
Sistem Islam yang sahih dan mumpuni harus diterapkan sebagai solusi tuntas fatherless. Pasalnya, dalam Islam, ayah dan ibu sama-sama memiliki peran penting, ayah sebagai pemberi nafkah dan teladan dalam pendidikan anak, sedangkan ibu mengasuh, menyusui, mendidik, dan mengatur rumah tangga.
Sistem Islam menyediakan lingkungan yang ideal bagi ayah untuk menjalankan perannya, karena negara menjamin layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, energi, dan transportasi secara murah atau gratis. Dengan pengelolaan sumber daya alam yang adil, lapangan kerja yang layak, dan jaminan kehidupan, ayah dapat fokus memberi nafkah dan waktu yang cukup untuk anak. Sistem perwalian dan santunan bagi ayah yang lemah memastikan setiap anak tetap memiliki figur ayah.
Inilah alasan mengapa penerapan sistem Islam (Khilafah) lebih menjamin kesejahteraan keluarga dibanding kapitalisme, karena negara berperan sebagai raa’in atau pengurus rakyat yang melindungi dan mendukung peran ayah.[]

Posting Komentar