MENYOAL PEMANFAATAN DANA CSR SEBAGAI DANA PEMBANGUNAN
Oleh : Irawati Tri Kurnia
(Ibu Peduli Umat)
Ada usulan pengelolaan dana CSR oleh PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) kepada pemda Bekasi. CSR adalah singkatan dari Corporate Social Responsibility, yang berarti tanggung jawab sosial perusahaan. Ini adalah komitmen perusahaan untuk memberikan kontribusi jangka panjang terhadap aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan, serta berperan aktif dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan sekitar. CSR mencakup berbagai inisiatif yang bertujuan untuk memberikan dampak positif di luar kegiatan bisnis utama perusahaan. Bentuknya biasanya berupa penyaluran dana dari Perusahaan untuk kegiatan sosial untuk Masyarakat di wilayah setempat.
Ketua PWI Bekasi Raya, Ade Muksin, S.H dan Sekretaris Michael L.L. Lengkong, beserta jajaran pengurus; menyerahkan hasil Kajian tentang Pengelolaan CSR atau TJSL (Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan) kepada Ketua DPRD Kota Bekasi, Dr. Sardi Effendi, S.Pd., M.M, di Gedung DPRD Kota Bekasi, Kamis (30/10/2025). Ini merupakan hasil dari Dialog Publik dan Diskusi Media yang diselenggarakan oleh PWI Bekasi Raya pada 9 Oktober 2025 lalu, yang bertema “Transparansi Pengelolaan CSR di Kota Bekasi : Sinergi Pemerintah, Perusahaan, dan Masyarakat”. Dokumen itu berisi sejumlah masukan, analisis, dan rekomendasi strategis hasil kajian PWI Bekasi Raya untuk menata CSR; agar pelaksanaannya transparan, terarah, dan berdampak langsung bagi masyarakat, terutama di wilayah Bekasi (www.bekasipedia.com, Jumat 31 Oktober 2025) (1).
Ketua DPRD Kota Bekasi, Dr. Sardi Effendi, S.Pd, M.M menyambut baik inisiatif PWI Bekasi Raya ini, karena menganggap penting hal ini karena CSR dapat menjadi sumber pembiayaan alternatif pembangunan daerah di luar APBD; sehingga pembangunan Kota Bekasi tidak hanya bergantung pada anggaran pemerintah. Beliau kemudian meminta Wali Kota segera menerbitkan Peraturan Wali Kota tentang Tata Kelola CSR di Kota Bekasi, agar pembangunan bisa berjalan lebih cepat dan efisien melalui sinergi antara pemerintah dan dunia usaha.
CSR sebagai dana sosial bagi perusahaan, biasanya digunakan perusahaan untuk kegiatan-kegiatan sosial demi ikut berkontribusi memberikan sumbangsih bagi rakyat setempat, selain juga untuk meningkatkan citra perusahaan. Tapi mengacu arahan di atas, CSR ini ternyata akan dimanfaatkan oleh pemda Bekasi untuk dana pembangunan daerah.
Di satu sisi, pihak perusahaan akan semakin tereksploitasi karena di tengah tekanan iklim usaha yang semakin menghimpit karena tuntutan untuk memenuhi berbagai tunjangan buruh dan kenaikan pajak; sekarang ditambah tuntutan dana CSR untuk disumbangkan bagi pembangunan. Sedangkan di sisi lain, pihak pemerintah semakin sibuk mencari pemasukan-pemasukan baru untuk pembangunan demi pelayanan pada rakyat, tapi abai pada aset rakyat yang wajib mereka kelola; seperti kekayaan SDA yang melimpah di negara ini, terutama di wilayah Bekasi; yaitu adanya tambang minyak, pertanian, dan periwisata. Padahal Bekasi kaya Sumber Daya Alam, yang utama adalah air (dari Sungai Bekasi dan air tanah), migas (minyak bumi di beberapa wilayah seperti Babelan dan Tambun), dan potensi ekowisata dari kawasan hutan mangrove di Muara Gembong. Bekasi juga memiliki sumber daya lain seperti tanah dan hutan, namun potensi ekonomi utamanya saat ini lebih banyak digerakkan oleh sektor industri dan jasa, serta pariwisata alam.
Inilah dampak menjadikan sekuler kapitalistik menjadi paradigma di negeri ini, termasuk menjadikan kapitalisme sebagai standar dalam mengatur ekonomi. SDA yang melimpah di negeri ini yang merupakan milik umum alias milik rakyat secara bersama-sama, akhirnya diserahkan pengelolaannya pada pihak kapitalis (pemilik modal) alias pihak swasta; entah itu asing maupun lokal. Akhirnya menjadikan SDA hanya dikuasai swasta yang orientasinya keuntungan semata, bukan untuk melayani rakyat. Rakyat dipaksa mengeluarkan sejumlah uang untuk mendapatkan kebutuhan dasarnya baik sandang, pangan, papan, Kesehatan, Pendidikan dan keamanan. Negara hanya sebatas regulator alias membuat undang-undang, tidak mengelola secara langsung SDA tersebut. Akhirnya hilanglah fungsi utama negara sebagai pelayan rakyat, jadilah mereka menjadi pelayan para kapitalis.
Dalam pengelolaan CSR ini, akhirnya negara mengeksploitasinya menjadi salah satu pemasukan kas negara. Terjadi pengabaian negara terhadap kewajibannya memenuhi kebutuhan rakyatnya. Padahal ini bukan menjadi tanggung jawab Perusahaan untuk ikut menyumbang pengadaan kebutuhan rakyat, tapi ini menjadi tanggung jawab negara. Tentu ini akan memberikaan tambahan tekanan yang besar pada pihak Perusahaan. Dampaknya iklim usaha semakin lesu. Padahal tanpa hal ini saja, akibat buruknya penerapan system ekonomi kapitalisme di negeri ini mengakibatkanj terjadi PHK masal dari dunia industry; apalagi ada eksploitasi dana CSR ini akan lebih parah kondisinya.
Berbeda dengan Islam dalam mengatur masalah ekonomi, termasuk mengatur sumber pemasukan kas negara. Islam adalah sistem kehidupan, bukan sebatas mengatur ritual; yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, sebagai upaya manusia untuk beribadah pada-Nya sebagai tujuan hidupnya. Allah berfirman :
“Tidak Kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah pada-Ku” (Az-Zariyat : 59).
Aturan Islam pasti pas untuk manusia, karena berasal dari Allah SWT Sang Pencipta manusia, sehingga Dialah Yang Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya; sehingga aturan-Nya jika diterapkan pasti solutif alias bisa menyelesaikan masalah secara tuntas dan tidak akan menimbulkan masalah baru seperti saat ini. Tapi Islam harus diterapkan secara menyeluruh alias kafah, yang hanya bisa diwujudkan oleh Khilafah sebagai satu-satunya institusi negara khas Islam yang bisa menjaga penerapannya secara sempurna. Karena ini berkaitan dengan konsekuensi keimanan seorang muslim pada Allah SWT. Ini berdasarkan firman-Nya :
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah pada Islam secara keseluruhan dan jangan ikuti Langkah-langkah setan..” (Al-Baqarah : 208).
Dalam Islam, dana pembangunan diambil sepenuhnya dari Baitul Mal (kas negara). Baitul Mal mempunyai banyak sumber pemasukan, yang terbesar adalah dari SDA yang merupakan kepemilikan umum alias aset rakyat. Ini sesuai sabda Nabi :
“Kaum Muslimin berserikat atas tiga hal : air, tanah, dan api” (Hadis Riwayat Abu Dawud).
Indonesia kaya kaya akan bahan tambang. Tambang minyak, emas, nikel, Batubara, panas bumi, gas bumi, uranium, dan lain-lain; berterbaran di seantero wilayah Indonesia. Semua wajib dikelola oleh negara yaitu Khilafah. Tapi Khilafah hanya mempunyai hak untuk mengelola, sedangkan hasilnya sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat.
Sedangkan CSR bersifat "sumbangan" semata dari pihak perusahaan, mau disumbang untuk pembangunan, atau untuk hal lain; itu sepenuhnya hak dari perusahaan. Pemerintah tidak berhak mengaturnya, karena pembangunan sebagai bentuk pelayanan pada rakyat adalah kewajiban negara, yaitu Khilafah; bukan malah diserahkan pada pihak swasta/Perusahaan dalam pemanfaatan dana CSR milik mereka, atau dialihkan pada rakyat dalam bentuk pemerasan uang rakyat dengan beraneka macam pajak.
Maka hanya dengan Khilafah akan menerapkan sistem Islam secara kafah, yang salah satunya sistem ekonomi Islam; akan bisa memaksimalkan aset rakyat yaitu kepemilikan umum yang luar biasa berlimpah, untuk dikelola Khilafah dn dimanfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Dengan demikian negara tak perlu lagi mengais-ngais sumber dana dari Perusahaan dan rakyat lagi, karena Baitul Mal telah mencukupi semua kebutuhan rakyat.
Catatan Kaki :
(1) https://bekasipedia.com/berita-terkini/ketua-dprd-kota-bekasi-tegaskan-segera-terbitkan-peraturan-wali-kota-tentang-tata-kelola-csr/

Posting Komentar