Pengelolaan Anggaran dalam Islam untuk Mewujudkan Kemaslahatan Umat
Oleh : Umi Kalsum
Belum lama ini yaitu tepatnya pada tanggal 28 September s.d 4 Oktober 2025, Pemerintah Musi Banyuasin (Muba) menyelenggarakan event tahunan bertajuk Muba Expo 2025. Acara ini adalah bagian dari perayaan hari jadi ke-69 Kabupaten Musi Banyuasin yang dikenal dengan julukan "Bumi Serasan Sekate". Event kali ini mengusung tema "Bersama Bersinergi Menuju Muba Lebih Cepat". Harapannya Muba Expo tahun ini menjadi sarana strategis untuk menampilkan capaian pembangunan daerah, mempromosikan potensi unggulan lokal, serta memperluas peluang investasi.
Selain itu juga, untuk meningkatkan pendapatan UMKM dan IKM, memperkenalkan produk-produk lokal, hingga membuka ruang kolaborasi dengan dunia usaha, BUMN, BUMD, dan perbankan. Dengan kata lain, Muba Expo juga diarahkan untuk menjadi motor penggerak ekonomi daerah yang semakin maju dan inklusif. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Nwardi Endang selaku Kepala Disperindag Muba.
Dalam laporan penyelenggaraan, Nwardi pun memaparkan bahwa Muba Expo 2025 mencatat perputaran ekonomi mencapai Rp.5,9 miliar. Selama tujuh hari pelaksanaan, jumlah pengunjung mencapai lebih dari 10 ribu orang per hari dan total 420 pedagang yang berpartisipasi. Di momen akhir penyelenggaraan, trofi dan piagam pun diberikan sebagai bentuk apresiasi kepada Stand Favorit Terbaik, Dekorasi Stand Terbaik, dan Stand UMKM Terbaik (RRI.co.id, 08/10/2025).
Namun sangat disayangkan, di tengah suka cita acara tersebut, ada satu hal yang menjadi sorotan tajam dan kontroversi. Masyarakat yang hadir merasa "tertipu" karena di panggung utama disuguhkan penampilan seorang penyanyi dangdut berbusana minim dengan aksi panggungnya yang penuh goyangan provokatif dan menggoda. Protes keras pun dilontarkan oleh warga yang turut hadir membawa anak-anak mereka, menganggap hiburan tersebut seperti di klub malam.
Terlebih lagi, publik mempertanyakan penggunaan anggaran fantastis yang disebut mencapai Rp 3,1 miliar ini karena dinilai gagal total dalam menyajikan hiburan yang mendidik dan berkelas. Ditambah juga terkait isu efisiensi anggaran, publik pun melihat ada ketidaksesuaian yang sangat jauh antara uang yang dikeluarkan dengan hasil yang didapatkan (suarasumsel.id, 06/10/25).
Apa yang menjadi keresahan masyarakat pun sepertinya bukan isapan jempol semata. Hal ini sejalan dengan informasi yang sedang berkembang. Dugaan tindak pidana korupsi mencuat ke permukaan. Kali ini menyasar ke Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata (Dispopar) Muba. Sejumlah proyek yang dijalankan dinas ini, diduga kuat menjadi ladang basah terjadinya praktik korupsi. Misalnya pembangunan fasilitas olahraga di berbagai kecamatan, perbaikan venue Porprov (pekan olahraga provinsi) dan venue Peparprov (pekan paralympic provinsi/ penyadang disabilitas) serta pelaksanaan Muba Expo 2025. Nama Kepala Dispopar Muba pun turut terseret dalam menikmati aliran fee dari beberapa proyek tersebut.
Kondisi ini menarik perhatian PJS (Pro Jurnalismedia Siber) Muba yang diketuai oleh Riyansyah Putra SH CMSP. Menurutnya, Musi Banyuasin saat ini sedang berada di fase defisit anggaran. Ketika ada oknum yang melakukan korupsi, negara mengalami kerugian dan Masyarakat pun ikut terdampak. Begitu juga dengan Muba Expo 2025. Riyan berpendapat bahwa acara ini hanya menghamburkan anggaran dan kegiatan yang mubazir. Seharusnya, anggaran bernilai miliaran rupiah itu bisa dipergunakan untuk kepentingan masyarakat berupa pembangunan infrastruktur dan melalui program lain yang lebih berdampak.
Selanjutnya, Riyan menantang aparat penegak hukum (APH) agar berani dan tegas menegakkan keadilan dalam mengusut kasus ini dengan cara memeriksa Kepala Dinasnya juga. Pada akhirnya muncul pertanyaan. Apakah APH akan bergerak cepat menindaklanjuti laporan ini, atau justru membiarkannya berlalu tanpa penyelesaian (bidiksumsel.com, 29/09/25).
Sebagaimana kita ketahui bahwa di awal tahun ini yaitu pada 22 Januari lalu, Presiden Prabowo telah menerbitkan instruksi presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025. Instruksi ini mengarahkan pemerintah untuk melakukan efisiensi belanja dalam APBN dan APBD demi mengoptimalkan anggaran untuk program prioritas dan menjaga kesehatan fiskal negara. Inpres ini pun ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 56 Tahun 2025 yang mengatur tata cara pelaksanaan efisiensi belanja APBN. Target pelaksanaan dari kebijakan ini harapannya dapat memangkas biaya sebesar Rp 306,69 triliun untuk tahun 2025.
Hal ini merupakan bentuk kecemasan dikarenakan kondisi pengelolaan APBN Indonesia terus mengalami defisit anggaran. Ditambah dengan adanya praktik korupsi dan pemborosan, tingginya belanja pegawai, subsidi yang tidak tepat sasaran, dan lain sebagainya yang turut memperparah kondisi keuangan negara. Bahkan tanggungan utang yang harus dibayarkan tahun ini sebesar Rp 800,33 triliun dan itu belum termasuk bunganya. Maka benarlah pepatah mengatakan bahwa anggaran Indonesia ibarat besar pasak daripada tiang.
Kendati demikian, kebijakan efisiensi anggaran tidak memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian negara. Bahkan, beberapa sektor vital seperti pendidikan, kesehatan, kementerian pekerjaan umum, dan kementerian perindustrian mengurangi pelayanannya serta membuat pembangunan terhambat. Tentu saja masyarakat lah korban dari ketimpangan yang merupakan ambisi politik dari penguasa dan para kapital di belakangnya.
Pada hakikatnya, pengalihan anggaran demi program prioritas hanya difokuskan pada satu kebijakan populis semata, yakni di mana ini adalah janji politik yang sudah terlanjur dilontarkan saat masa-masa kampanye dahulu. Muara dari penghematan anggaran belanja yang dimulai tahun ini tidak lain tidak bukan demi memuluskan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Alih-alih untuk menanggulangi stunting, program ini justru rawan korupsi karena alokasi dananya yang fantastis. Pelaksanaan di lapangan pun terus menuai polemik, namun penguasa tak bergeming karena program MBG telah dijadikan sebagai "anak emas" dari program prioritas.
Inilah pola kepemimpinan sekuler kapitalisme yang sarat akan pencitraan. Hal itu dilakukan demi kursi kekuasaan periode mendatang. Urusan rakyat individu per individu tidak dianggap sebagai program prioritas. Kemiskinan, minimnya lapangan pekerjaan, harga kebutuhan pokok yang terus melambung, persoalan kesehatan, pendidikan dan masih banyak contoh lainnya, tidak menjadi urusan yang mendesak, penting lagi genting. Lantas, masih pantaskah sistem seperti ini dipertahankan? Mari kita menengok bagaimana sistem yang sudah terjamin keberhasilan dan kesuksesannya dalam menciptakan kesejahteraan manusia melalui APBN syariah.
APBN dalam sistem ekonomi Islam dikelola oleh satu lembaga bernama Baitul Mal. Lembaga ini akan menghimpun sumber-sumber pemasukan dan mengalokasikan pengeluarannya sesuai dengan pos masing-masing berdasarkan pandangan syariah Islam. Sumber pemasukan yang dimaksud adalah harta rampasan perang, pungutan dari tanah kharaj dan jizyah, harta milik umum, harta milik negara, harta yang ditarik dari perdagangan luar negeri ('usyr), zakat, dan penyitaan harta pejabat dari jalan haram (korupsi, suap, judi, gratifikasi,dll).
Selanjutnya pos-pos pengeluarannya adalah harta zakat diberikan kepada delapan golongan yaitu fakir, miskin, Amil, mualaf, riqab, gharim, ibnu sabil, para mujahid fi sabilillah. Menggaji para pegawai negara misalnya tentara, polisi, ASN, guru, dokter, dll. Membiayai kondisi darurat seperti bencana banjir, tanah longsor, tsunami, gunung meletus, kebakaran, dll. Lalu membangun infrastruktur yang sifatnya vital karena belum tersedia, contohnya seperti jalan raya, gedung sekolah, rumah sakit, jalan penghubung satu pulau dengan pulau lainnya, dll. Ini semua adalah pengeluaran yang bersifat wajib.
Proses penyusunan APBN Islam dimulai dari menghitung pos pengeluaran terlebih dahulu. Landasannya didasarkan pada asumsi-asumsi kebutuhan pokok atau vital kemudian disusul kebutuhan pelengkap. Hal Ini bisa merujuk kepada data-data wilayah, jumlah penduduk, dan harga pasar rata-rata saat ini. Ditambah lagi acuan APBN Islam menggunakan mata uang dinar dan dirham yang menihilkan terjadinya inflasi karena tidak bergantung pada mata uang asing.
Jumlah kebutuhan negara bisa diperhitungkan secara matang oleh Khalifah dibantu para aparaturnya. Program-program yang sifatnya tidak mendesak seperti MBG, pameran dan hiburan (sebagaimana Muba Expo dan lain sebagainya) bisa ditinjau kembali untuk dipangkas pengeluarannya demi efisiensi anggaran. Namun, untuk sektor-sektor vital dan kebutuhan pokok masyarakat, negara tidak boleh memangkas anggaran dengan alasan apapun. Alternatif solusi yang diambil yakni dengan menarik pajak dari kalangan orang-orang kaya saja sebatas keperluan saat itu dan bersifat sementara.
APBN Islam menganut prinsip sentralisasi. Dana dari seluruh wilayah diserahkan ke Pusat. Jika ada daerah yang sedang membangun dan membutuhkan dana besar, Pusat akan memberikan subsidi sekalipun pemasukan daerah tersebut tergolong minim. Dari sini dapat dicegah penggelembungan dana dan alokasi yang tidak tepat sasaran. Pemerataan pembangunan pun adalah sebuah keniscayaan dan menghilangkan ketimpangan antar daerah. Kemaslahatan masyarakat akan terwujud karena prinsip efisiensi dan efektivitas dipegang kuat oleh individu yang amanah menjalankan tanggung jawab kenegaraan berdasarkan akidah Islam.
Pada akhirnya, pengelolaan APBN berdasarkan syariah Islam hanya mampu direalisasikan oleh negara yang berideologi Islam. Lalu ditopang oleh individu yang bertakwa, amanah dan berintegritas tinggi. Seluruh rakyat merasakan ketenangan karena ada kepastian jaminan kesejahteraan dan kelayakan hidup. Begitu pun prinsip efisiensi bisa saja diterapkan, asalkan tidak mengorbankan hak-hak asasi rakyat dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Pembangunan ekonomi stabil, masyarakat aman sentosa, keberkahan dari langit senantiasa menaungi dan rahmat dari Allah swt kita miliki.
Wallahu a'lam bishowab.

Posting Komentar