-->

Kapitalisasi Air, Bisnis Rahmat, Bencana bagi Rakyat


Oleh : Ummu Aqila

Publik kembali digegerkan oleh isu sumber air di pabrik air minum terkenal yang disebut berasal dari pengeboran sumur dalam. Fakta ini menimbulkan pertanyaan besar: sejauh mana perusahaan swasta boleh menguasai sumber air tanah yang sejatinya merupakan milik publik?

Dalam klarifikasinya, pihak perusahaan berdalih bahwa mereka mengambil air dari akuifer dalam yang terlindung secara alami dan tidak mengganggu masyarakat sekitar. Namun, laporan lapangan menunjukkan banyak sumber air masyarakat yang berkurang debitnya, bahkan mengering. Akibat eksploitasi berlebih, keseimbangan ekologis pun terganggu.

Masalah ini menyingkap persoalan yang jauh lebih besar: kapitalisasi air — ketika sumber kehidupan dijadikan ladang bisnis oleh korporasi besar.

Air, Emas Biru di Tengah Krisis

Hari ini air bukan sekadar kebutuhan dasar, tetapi komoditas ekonomi bernilai tinggi. Data dari Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (Aspadin) menunjukkan industri ini tumbuh hingga 10% per tahun dengan nilai pasar mencapai puluhan triliun rupiah. Ironisnya, bahan baku utama—air—diambil secara gratis dari bumi, hanya dibungkus dan dijual kembali dengan harga berkali lipat.

Sementara itu, warga sekitar lokasi pabrik justru harus membeli air galon untuk kebutuhan harian karena sumur mereka kering. Kondisi ini menggambarkan ketimpangan struktural yang lahir dari logika kapitalistik: keuntungan diutamakan, keadilan diabaikan.

Seorang warga pernah berujar getir, “Air diambil dari tanah kami, tapi kami harus membelinya kembali.” Sebuah kalimat sederhana yang merangkum luka ekologis dan sosial akibat kapitalisasi air.

Dhoror Ekologis dan Ketimpangan Sosial

Eksploitasi air tanah dalam skala besar tidak hanya merugikan warga, tetapi juga mengancam keseimbangan alam. Kajian hidrogeologi menunjukkan bahwa pengambilan air dari akuifer dalam dapat menurunkan permukaan air tanah, menghilangkan mata air di sekitarnya, bahkan menyebabkan amblesan tanah (land subsidence). 
Kementerian Lingkungan Hidup pernah melaporkan bahwa penurunan permukaan tanah di wilayah pesisir utara Jawa mencapai 10–20 cm per tahun—salah satu dampak dari penurunan cadangan air tanah yang masif.

Inilah yang disebut dhoror, bahaya ekologis akibat kerakusan manusia. Allah SWT telah memperingatkan:

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, supaya mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)

Kerusakan alam bukan sekadar akibat teknis industri, tetapi akibat paradigma yang salah dalam memandang sumber daya alam sebagai objek eksploitasi, bukan amanah yang harus dijaga.

Lemahnya Peran Negara

Alih-alih melindungi sumber air sebagai hak publik, negara justru memberi ruang lebar bagi korporasi melalui berbagai izin dan regulasi. UU Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air bahkan membuka peluang bagi swasta untuk ikut mengelola air melalui skema BUMN, BUMD, koperasi, maupun kemitraan bisnis.

Padahal, air adalah kebutuhan dasar yang seharusnya dijamin langsung oleh negara. Ketika fungsi negara bergeser menjadi regulator bagi kepentingan korporasi, rakyat kehilangan jaminan atas hak air bersih. Negara seolah “menjual” amanah publik demi stabilitas ekonomi semu.

Islam Menjawab: Air Milik Umat, Dikelola Negara

Islam memiliki pandangan tegas tentang kepemilikan sumber daya alam. Air termasuk dalam kategori milik umum (milkiyyah ‘ammah) — sumber daya vital yang tidak boleh dimiliki individu atau perusahaan. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Kaum Muslimin bersekutu dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Artinya, negara wajib mengelola air untuk kepentingan seluruh rakyat, bukan menyerahkannya pada pihak swasta. Pengelolaan air dalam sistem Islam dilakukan untuk maslahah ‘ammah (kemaslahatan umum), bukan keuntungan ekonomi.

Negara (Khilafah) akan mengatur distribusi air secara merata melalui sistem perpipaan dan sumber air publik yang terjangkau. Pembiayaan diambil dari baitulmal, bukan dari investasi korporasi asing. Dengan demikian, air tetap menjadi hak rakyat, bukan komoditas pasar.

Allah SWT berfirman:

“Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup.” (QS. Al-Anbiya: 30)

Ayat ini menegaskan fungsi hakiki air sebagai pemberi kehidupan, bukan alat komersialisasi.

Kapitalisasi air adalah tanda bahwa manusia telah kehilangan kesadaran spiritual dalam memandang karunia Allah. Ketika air dijadikan alat mencari laba, sesungguhnya yang kering bukan hanya tanah, tapi juga nurani.

Islam menawarkan jalan yang adil dan manusiawi: menempatkan air sebagai rahmat yang harus dijaga, dikelola oleh negara, dan didistribusikan untuk semua. Sudah saatnya kita kembali kepada sistem yang menjadikan air bukan sebagai komoditas, melainkan sebagai amanah Allah SWT untuk kehidupan.
Wallahu’alam bishowab